Sabtu, 20 November 2010

68 Unit Motor untuk Petugas Lapangan KB Banyumas

PURWOKERTO--Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) di Kabupaten Banyumas kembali menerima bantuan fasilitas. Setelah beberapa saat yang lalu mereka menerima bantuan laptop untuk memperlancar tugas-tugas di lapangan, kali ini 68 orang PLKB masing-masing menerima 1 unit sepeda motor. Penyerahan sepeda motor dilakukan secara simbolis kepada 8 orang PLKB, Sabtu (6/11) lalu di Pendopo Sipanji Kabupaten Banyumas, bersamaan dengan kegiatan Pencanangan Kesatuan Gerak PKK KB-Kesehatan Tingkat Kabupaten Banyumas Tahun 2010 oleh Wakil Bupati Banyumas, Ir. Achmad Husein. Hadir dalam acara tersebut antara lain Kepala BKKBN Provinsi Jawa Tengah, Kepala BP3AKB Provinsi Jawa Tengah, Ketua DPRD Kabupaten Banyumas, Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto, para pejabat di lingkungan Pemkab Banyumas, dan Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Banyumas.

Bersamaan dengan pencanangan tersebut juga dilakukan beberapa kegiatan, antara lain: penandatangan Nota Kesepahaman (MoU) PIK Mahasiswa antara Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) dengan Kepala BKKBN Provinsi Jawa Tengah; penyerahan bantuan komputer untuk PIK Mahasiswa Youth Center UMP; penyerahan bantuan composter untuk Kelompok Bina Lingkungan Keluarga Desa Kembaran Kecamatan Kembaran; penyerahan bantuan mesin jahit untuk Kelompok Bina Keluarga Balita (BKB) Desa Somagede Kecamatan Somagede; display kegiatan PIK Remaja “Gibita” dan PIK Remaja “Berkibar” dari Kecamatan Baturraden, dan PIK Mahasiswa Youth Center UMP. Disamping itu, di tempat terpisah juga dilaksanakan pelayanan KB tubektomi/MOW kepada 22 akseptor dan KB implant kepada 250 akseptor di Rumah Sakit Wijayakusuma (DKT) Purwokerto, serta pelayanan KB implant kepada 150 akseptor di Rumah Sakit Amanah Wangon, bekerjasama dengan Pengurus Aisyiyah Cabang dan Ranting Banyumas.

Bupati Banyumas dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Wakil Bupati berharap, rangkaian kegiatan ini dapat mendorong peningkatan kinerja para petugas KB dan seluruh elemen masyarakat di Kabupaten Banyumas dalam mensukseskan program KB. Bupati menjelaskan, pembangunan bidang kependudukan di Kabupaten Banyumas secara umum diarahkan pada pengembangan penduduk sebagai sumber daya manusia agar menjadi kekuatan pembangunan bangsa yang berkualitas dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan merata, karena dengan terciptanya penduduk yang berkualitas, sumber daya yang bermutu, maka agenda-agenda pembangunan, pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat akan meningkat. Salah satu upaya yang dilakukan Pemkab Banyumas adalah melalui program KB.

Sementara itu, Kepala Bapermas PKB Kabupaten Banyumas, Tjutjun Sunarti R. secara terpisah menjelaskan, pencapaian kinerja program pembangunan kependudukan, khususnya di bidang KB di Kabupaten Banyumas secara signifikan menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Hal ini tampak pada pencapaian peserta KB aktif yang sampai dengan akhir Bulan September 2010 telah mencapai 74,99 %, menunjukkan bahwa sebagian besar pasangan usia subur (PUS) di Kabupaten Banyumas sudah ber-KB.

Tentang keberhasilan program KB, Tjutjun juga menginformasikan, Kabupaten Banyumas telah berhasil meraih beberapa prestasi. Untuk tahun 2010 ini saja telah diraih beberapa prestasi dan penghargaan, antara lain : Juara I Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja Tahap Tegak Tingkat Nasional atas nama PIK Remaja “Gibita” Desa Rempoah Kecamatan Baturraden, Juara I Bina Keluarga Balita Tingkat Provinsi Jawa Tengah, Juara I Akseptor Lestari 20 Tahun Tingkat Provinsi Jawa Tengah, Juara II PPKBD Terbaik Tingkat Provinsi Jateng, Juara Ketiga Lomba PHB Kategori Desa, serta nominasi ke-4 Lomba Balita Sehat Tingkat Provinsi Jawa Tengah.

*****


Sumber: http://www.jatengprov.go.id/?document_srl=12517

Sisi Timur Gunung Slamet Kaya Peninggalan Megalitikum

Wilayah sisi Timur Gunung Slamet tepatnya di Kabupaten Purbalingga ternyata menyimpan kekayaan peninggalan budaya megalitikum. Namun selama ini, warisan budaya asli nenek moyang Indonesia itu belum dikonservasi dengan baik dan optimal. Ketika identifikasi awal yang dilakukan pada tahun 1981 dan 1983 di Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari ditemukan sedikitnya 18 situs bersejarah. Identifikasi dilanjutkan pada 1984 dan 1986 di wilayah Tipar Ponjen dan ditemukan lebih dari 20 situs bersejarah. Hal tersebut diungkapkan Prof Dr Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional dalam perbincangan dengan jawatengahgoid, Senin (24/8).

Dikatakan Truman, selain banyak ditemukan kebudayaan megalitikum setidaknya ada 22 situs bengkel batu prasejarah pada beberapa daerah aliran sungai di Purbalingga. Dari artefak yang ditemukan, seluruhnya adalah peninggalan kebudayaan masa neolitikum. Salah satunya yang cukup menarik adalah ditemukannya gelang batu.

Dilihat dari artefak yang ditemukan, lanjut Truman, teknologi yang digunakan manusia pada masa itu sudah cukup maju dan menerapkan teknologi pasti karena tak ditemukan bentuk artefak yang janggal. Bahkan ada beberapa artefak yang menunjukkan hasil adopsi budaya perunggu berupa prototype kapak perunggu. "Ini menunjukkan, manusia pada masa itu telah memasuki periode baru, proto sejarah," kata Truman.

Pada umumnya masyarakat pada masa proto sejarah itu, lanjut Truman, banyak mengembangkan ide keagamaan dengan mendirikan bangunan batu berukuran besar atau megalitik. Budaya megal itik inilah yang menjadi ciri khas asli nenek moyang Indonesia, sebelum menerima pengaruh Hindu, Islam, dan kolonial.

Meskipun cukup mudah menemukan artefak neolitikum maupun megalitikum di Purbalingga, namun sejauh ini belum ada arkeolog yang dapat menemukan fosil hewan maupun manusia. Truman memperkirakan kesulitan itu dikarenakan sifat tanah yang asam sehingga menghancurkan fosil hewan maupun manusia yang ada di daerah itu.

Oleh karenanya, Truman menyampaikan saran kepada Pemerintah Kabupaten Purbalingga, agar mengonservasi peninggalan megalitikum yang banyak ditemukan di Purbalingga. Langkah-langkah konservasi itu dapat dilakukan dengan penelitian lebih lanjut, hasil penelitian disosialisasikan kepada masyarakat.

Kemudian melindungi situ-situs yang telah teridentifikasi, dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan itu bisa untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, kepentingan akademik, maupun memperkuat jati diri masyarakat akan daerahnya. "Masyarakat bisa lebih mengenal asal usulnya sehingga dapat membangun peradaban lebih baik," kata Truman.

Secara terpisah Bupati Purbalingga Drs H Triyono Budi Sasongko, M.Si mengakui pihaknya terlambat menangani potensi geologi dan arkeologi yang menjadi kekayaan benda cagar budaya. Namun, Bupati Triyono menyatakan, dengan sisa waktu masa kepemimpinannya yang tinggal 10 bulan akan mengembangkan potensi ini demi peningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama melalui pengembangan geo-wisata.

’’Saya akui terlambat, hal ini karena keterbatasan pemahaman kami dalam hal geologi dan arkeologi. Namun, saya akan memanfaatkan potensi tersebut dengan tetap menjaga kelestariannya,” kata Bupati Triyono sembari menambahkan pada tahun ini pula pihaknya akan membangun sebuah museum artefak sebagai sarana wisata edukasi, keunikan sekaligus wahana hiburan. (Pra-Humas Pbg - TG)

*****


Sumber: http://www.jatengprov.go.id/?mid=wartadaera&sort_index=readed_count&order_type=desc&document_srl=366

Banyumas Bangun Industri Bio-Ethanol Pabrik Berkapasitas 400 Liter/hari

Banyumas Bangun Industri Bio-Ethanol Pabrik Berkapasitas 400 Liter/hari

Banyumas, JTNR

Pembangunan industri bio-ethanol ini merupakan sebuah bukti keseriusan pemerintah daerah dalam mewujudkan Misi Pembangunan Daerah yaitu ‘Menyejahterakan Rakyat Banyumas’ sekaligus upaya pemberdayaan potensi rakyat dan sumber daya alam di Kabupaten Banyumas guna mendukung program-program pengembangan Bio-Energi sebagai sumber energi alternatif. Demikian sambutan Bupati Banyumas, Drs. H. Mardjoko, M.M. saat melakukan Peletakan Batu Pertama Pembangunan Industri Bio-Ethanol, yang berlokasi di Desa Randegan Kecamatan Wangon, Rabu (2/9).

Pembangunan industri bio-ethanol ini merupakan kegiatan dari Pemerintah Pusat melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam bentuk Stimulus Fiskal Tahun Anggaran 2009, dalam rangka menyukseskan program Desa Mandiri Energi. ''Lahan yang disiapkan Pemerintah Kabupaten Banyumas seluas sekitar 20 Ha, sementara yang dimanfaatkan saat ini hanya sekitar 10 Ha'', tandasnya.

Selanjutnya dikatakan, kapasitas pabrik yang diperkirakan akan mencapai 400 liter/hari. Pengelolaan yang diserahkan lewat koperasi ini diharapkan dapat memberi banyak manfaat untuk sektor rumah tangga, transportasi, industri dan pembangkit listrik bagi masyarakat Kabupaten Banyumas dan menjadi sumbangan yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam bidang pengembangan pedesaan yakni menciptakan lapangan kerja, mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kemandirian energi di Kabupaten Banyumas.

Mardjoko mengakui, sejak awal pencalonannya sebagai Bupati Banyumas memang sudah gencar mengusung program pengembangan Industri Bio-Energi. Namun dengan alasannya, diantaranya karena tersedianya Sumber Daya Manusia dan lahan pertanian yang kurang memadai untuk dimanfaatkan dan dikembangkan guna menghasilkan bahan dasar bio-ethanol, misalnya singkong.
Dimulainya pembangunan Industri Bio-Ethanol di Desa Randegan Kecamatan Wangon ini adalah wujud nyata dari langkah Bupati untuk memenuhi janjinya kepada rakyat Banyumas. (adi - TG)

*****


Sumber: http://www.jatengprov.go.id/?mid=wartadaera&sort_index=readed_count&order_type=desc&document_srl=795

Selasa, 16 November 2010

PLESETAN JAWA

Bahasa Plésétan jawa


Di daerah Jogja ada basa yang diplesetkan dari aksara jawa "hanacaraka" , kalau anda pernah dengar atau lihat tulisan DAGADU ini berarti MATAMU,..

Plesetan ini merupakan kombinasi dari mengutak-atik aksara jawa.

Aksara jawa baris 1 ditukar karo baris 3, baris 2 ditukar baris 4, dan sebaliknya baris 3 dengan 1, baris 4 dengan 2.


Sedangkan kolom dan sandangannya sama.


Kayakiyé rumusé :

1. ha na ca ra ka =======> pa dha ja ya nya
2. da ta sa wa la =======> ma ga ba tha nga
3. pa dha ja ya nya =====> ha na ca ra ka
4. ma ga ba tha nga =====> da ta sa wa la


Tuladha (contoh) :

matamu ============> dagadu
kowé ==============> nyothé
turu ==============> gunyu
mangan ============> daladh
ayu ===============> paru
mas ===============> dab

lan seterusé... dst...


*****

P A R I B A S A N

Pari basané Pantun, heheheee...


Adigang, adigung, adiguna - Ngandelaké kakuwatané, kaluhurané, lan kapinterané.

Bathok bolu isi madu - Wong asor nanging sugih kapinteran.

Becik ketitik ala ketara - becik lan ala bakalan ketara ing mburiné

Dhemit ora ndulit, setan ora doyan - Tansah diparingi slamet ora ana kang ngrusuhi

Emban cindhé emban siladan - Pilih kasih ora adil

Enggon welut didoli udhet - Panggoné wong pinter dipameri kapinteran sing ora sepirowa

Gupak puluté ora mangan nangkané - Mélu rekasa nanging ora mélu ngarakaké kepénaké

Jer Basuki mawa béa - Samubarang gegayuhan mbutuhaké wragat

Kacang ora ninggal lanjaran - Anak niru wong tuwané

Kaya banyu karo lenga - Wong kang ora bisa rukun

Kebo nusu gudél - wong tuwa njaluk wuruk marang wong enom

Kegedhen empyak kurang cagak - Kegedhén kakarepan nanging kurang sembada

Kuthuk marani sunduk - Ula marani gepuk - Marani bebaya

Maju tatu mundur ajur - Prakara kang sarwa pakéwuh

Nabok Nyilih tangan - Tumindak ala kanthi kongkonan wong liya

Pupur sakdurungé benjut - Ngati ati mumpung durung cilaka

Sapa Sing salah bakal séléh - Sapa sing salah bakal konangan

Tumbak cucukan - Wong kang seneng adu-adu

Tulung Menthung - ditulungi malah ngrusuhi

Wiwit kuncung nganti gelung - Wiwit cilik nganti tuwa

Yuyu rumpung mbarong rongé - Omahé magrong2 nanging sejatiné mlarat

Anak polah bapa kepradhah : Wong tuwo nemu ribed amarga polahe anak

Andhang andhang tetesing embun : Njagakake barang mung saolehe bae

Ancik ancik pucuking eri : Wong kang tansah sumelang yen kaluputan

Bathok bolu isi madu : Wong asor nanging sugih kapinteran

Bebek mungsuh mliwis : Wong pinter mungsuh wong pinter

Bubuk oleh leng : Duwe niyat ala oleh dalan

Cebol nggayuh lintang : Duwe kekarepan sing mokal bakal kelakon

Cecak nguntal empyak : Gegayuhan sing ora timbang karo kekuatane

Cedhak celeng boloten : Cedhak karo wong ala njalari katut ala

Desa mawa cara,negara mawa tata : Saben panggonan duweni pengadatan dhewe dhewe

Diwenehi ati ngrogoh rempela : Diwenehi sathithik nyuwun sing akeh

Dudu berase ditempurake : Nyambung guneme liyan nanging ora gathuk

Emprit ambuntut bedhug : Prakara sepele dadi gedhe

Endhas gundhul dikepeti : Wis kepenak ditambahi luwih kepenak maneh

Esuk dhele sore tempe : Ora manteban ati ( mencla mencle )

Gajah alingan suket teki : Lair karo batine beda banget,mesti bakal ketara

Golek uceng kelangan dheleg : Golek sathithik malah kelangan sing akeh

Gupak pulute ora mangan nangkane : Melu rekasane ora melu kepenake

Iwak klebu ing wuwu : Kena apus kanthi gampang banget

Idu didilat maneh : Njabel gunem sing wis kawetu

Jarit luwas ing sampiran : Wong duwe kapinteran nanging ora digunakake

Jati ketlusuban ruyung : Golongane wong becik kelebon wong ala

Jer basuki mawa beya : Kabeh gegayuhan butuh wragad

Kakehan gludhug kurang udan : Kakehan omong tanpa bukti

Kebo bule mati setra : Wong pinter nanging ora ana sing mbutuhake

Kebo nusu gudel : Wong tuwo njaluk wuruk wong enom

Keplok ora tombok : Melu seneng ora wragad

Kriwikan dadi grojogan : Prakara sepele dadi gedhe

Lahang koroban manis : Rupa bagus/ayu tur luhur budine

Lambe satumang kari samerang : Aweh pitutur bola bali ora digape

Legan golek momongan : Wong kepenak golek rekasa

Madu balung tanpa isi : Parapadu jalaran barang sepele

Mikul dhuwur mendhem jero : Njunjung drajade wong tuwa

Milih milih tebu oleh boleng : Jalaran kakehan pilihan wusanane oleh sing ala

Nabok nyilih tangan : Nindakake tumindak ala kanthi kongkonan

Nututi layangan pedhot : Ngupaya barang sepele sing wis ilang

Ngemut legining gula : Bareng kerasa kepenak lali asale

Nglungguhi klasa gumelar : Nemu kepenak tanpa melu rekasa

Othak athik didudut angel : Rembuge sajak kepenak bareng ditandangi jebule angel

Ora mambu enthong irus : Dudu sanak dudu kadang

Ora uwur ora sembur : Ora gelem cawe cawe babar pisan

Palang mangan tanduran : Dipercaya malah ngrusak

Pitik trondhol diumbar ing padaringan : Wong ala dipasrahi tunggu barang aji

Pupur sawise benjut : Ngati ngati sawise kebacut

Rawe rawe rantas malang malang putung : Kabeh sing ngalang ngalangi disingkirake

Rindik asu digitik : Dikongkon nglakoni gaweyan sing cocok karo karepe

Sedhakep ngawe ngawe : Mareni tumindak ala nanging isih kepingin tumindak maneh

Sembur sembur adas,siram siram bayem : Bisa kaleksanan jalaran pandungane wong akeh

Sumur lumaku tinimba : Nawakake ilmu supaya diangsu

Timun wungkuk jaga imbuh : Kanggo jagan yen ana kurange

Tinggal glanggang colong playu : Keplayu saka tanggung jawab

Tumbu oleh tutup : Wong kekancan sing cocok banget

Ula marani gepuk : Njarag marang bebaya

Ungak ungak pager arang : Ngisin ngisinke pokal gawene

Wis kebak sundukane : Wong sing akeh banget kaluputane

Yuyu rumpung mbarong ronge : Omahe katon njenggarong nanging mlarat

Yiyidan mungging rampadan : Wong durjana dadi alim

Yoga anyanggo yogi : Murid nirokake piwulange guru


Mbokan ana sing arep nambaih nggih mangga... :)

*****

Senin, 15 November 2010

Wisatawan Belanda Bernostalgia ke Purbalingga

PURBALINGGA – Sebanyak 20 orang wisatawan dari Nederland, Belanda, Kamis (23/9) melakukan kunjungan ke Purbalingga. Selain mengunjungi obyek wisata, para wisatasan juga bernostalgia ke sejumlah tempat seperti di pendopo Dipokusumo dan ke pabrik permen Davos. Pendopo Kabupaten itu konon merupakan peninggalan Belanda. Begitu pula dengan pabrik permen Davos sudah berdiri sejak tahun 1931 ketika Belanda masih menjajah Indonesia.

Wisatawan yang tergabung dalam Yayasan ‘Pikulan’, selain melakukan perjalanan wisata juga memantau bantuan beasiswa yang diberikannya kepada 300 anak di tiga pulau masing-masing Jawa, Bali dan Sulawesi. Yayasan yang berdiri 25 tahun silam bergerak dalam membantu pendidikan anak-anak dari keluarga kurang mampu.

“Bantuan biaya pendidikan yang kami berikan masing-masing berada di pulau Jawa di delapan Kabupaten, di Bali dan Sulawesi masing-masing satu kabupaten,” kata Ketua Yayasan Pikulan Baoke Baron, Kamis (23/9).

Menurut Baron, Yayasan yang didirikan kini beranggotakan para dermawan di Nederlan. Mereka merupakan generasi ke tiga dari para veteran perang Belanda yang pernah bertugas di Indonesia.

“Para pendahulu kami yang pernah berperang di Indonesia, ingin membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu dalam membiayai sekolah. Kami tahu ketika perang dahulu, masih banyak anak-anak Indonesia yang di desa sangat perlu bantuan untuk pendidikan. Oleh karenanya, kami ingin membantu mereka untuk bersekolah mulai SD hingga SMA,” kata Baoke Baron.

Diungkapkan Baoke Baron, yayasan yang didirikan para pendahulunya mengambil nama Pikulan. Nama ini merupakan alat pemikul warga pedesaan di Indoensia. Konon, yang memikul itu kebanyakan orang-orang yang tidak mampu. Filosofinya memikul beban baik beban di depan maupun di belakang. “Oleh karenanya kami menamai yayasan dengan nama ‘Pikulan’ yang dimaksudkan untuk ikut mengurangi beban masyarakat yang berat menopang hidupnya,” kata Baoke Baron yang didampingi pengurus perwakilan Indonesia Maria Sumarti.


Kunjungan Wisata

Rombongan wisatawan setelah menginap di Owabong, melakukan kunjungan ke Pendopo Dipokusumo. Rombongan diterima oleh Bupati Heru Sudjatmoko, Wakil Bupati Drs Sukento Ridho Marhaendrianto, masing-masing beserta istri, dan sejumlah pejabat di jajaran Pemkab. Di pendopo Dipokusumo, para wisatawan bernostalgia melihat-lihat pendopo peninggalan jaman Belanda yang kini sudah banyak berubah.

“Kabupaten Purbalingga mulai berdiri tahun 1830. Cikal bakal bangunan pendopo ini merupakan peninggalan jaman Belanda,” kata Bupati Heru Sudjatmoko.

Dikatakan heru Sudjatmoko, pemerintah Belanda yang datang ke Indonesia, selain menjajah, ternyata juga memberikan sisa peninggalan bangunan, serta pendidikan, penyebaran agama, culture, dan perdagangan internasional. “Kini Indonesia dan Belanda sudah merupakan bangsa yang sejajar, dan sedikit banyak peninggalannya juga mempengaruhi kehidupan masyarakat di Purbalingga dulu,” kata Heru Sudjatmoko.

Para wisatawan Belanda ini juga menikmati sajian makanan yang pernah dinikmatinya yakni buntil dan sate ayam. Makanan buntil konon pernah menjadi makanan favorit Belanda beberapa tahun silam ketika menduduki wilayah Purbalingga. Selain itu juga disuguhi jajanan mendoan dan es dawet.


Pabrik Permen Tertua

Usai berkunjung ke Pendopo kabupaten, rombongan menggunakan dokar (andong kuda) menuju pabrik permen Davos di Kelurahan Kandanggampang. Pabrik permen Davos merupakan pabrik peninggalan jaman Belanda. Pabrik permen Davos merupakan satu-satunya di Indonesia dan berada di Purbalingga. Di negeri Belanda, menurut para wisman juga ada pabrik permen Davos yang bergambar Ratu Belanda Wilhelmina.

Di lokasi pabrik, wisatawan selain menikmati suguhan lagu-lagu keroncong dan menikmati jajanan nasi goreng ala Belanda. Suasanapun menjadi makin meriah ketika beberapa wisatawan ikut mendendangkan lagu ‘Sungai Serayu’ dan Nina Bobo’. Mereka sedikit banyak hafal dengan syair-syair lagu itu.

Setelah mengunjungi proses produksi dan packing, para wisatawan kembali melanjutkan perjalanan menggunakan dokar ke Desa Wisata Karangbanjar, Kecamatan Bojongsari. Di desa Karangbanjar, para wisatawan disuguhi musik khas desa thek-thek dan gejog lesung. (BNC/tgr)

*****


Sumber: http://banyumasnews.com/2010/09/23/wisatawan-belanda-bernostalgia-ke-purbalingga/

Memahami sejarah melalui Museum Uang Purbalingga

SIAPA yang tak mengenal uang ? Uang sepertinya sudah merasuki kehidupan manusia. Apalagi dalam dunia modern saat ini. Uang pula seolah-olah sudah menjadi segala-galanya. Semua lini kehidupan yang diburu seolah hanya uang. Uang untuk kehidupan. Dan untuk mencari uangpun, orang melakukan segala perbuatan apa yang bisa dilakukannya. Sebagian orang beranggapan, melalui uang segala sesuatu dapat diraih. Uang bisa menjadikan sesuatu hal, baik dan juga buruk. Hanya beda tipis seperti dua sisi mata uang yang mudah dibolak-balik.

Gedung Museum Uang Purbalingga (foto:yit/BNC)


Terlepas dari itu semua, sejatinya uang bukan sekadar alat tukar, tetapi juga cermin dari puncak-puncak peradaban dari suatu entitas politik dan budaya tertentu yang hidup pada kurun waktu tertentu pula. Dengan demikian, uang sangatlah multifungsi. Ketika cara memperoleh dan menggunakan uang sudah melanggar semua norma, orang pun mengatakan uang bukan segalanya.

Can’t buy me love, kata band legendaris asal Inggris The Beatles. Namun, seperti tersirat dalam keseluruhan lirik lagu tadi, uang mempermudah semua urusan, termasuk urusan bercinta. Ketika peradaban ekonomi sudah memasuki tahap virtual (virtual economy), uang pun menjadi komoditas bisnis.

Ruangan Museum Uang (foto:yit/BNC)


Sejarah Sebuah Bangsa


Sebagaimana disebutkan, berbagai jenis uang juga menjadi cerminan perkembangan peradaban dari bangsa. Dengan membaca perkembangan mata uang, kita dapat menceritakan bagaimana kondisi sebuah bangsa dan seluruh perjalanan peradabannya. Perjalanan sejarah Indonesia pun dapat dilihat pada uang. Kini, kita dapat mempelajari sejarah itu di sebuah gedung yang asri di tengah taman buah Kutasari, Purbalingga.

Adalah Museum Uang Purbalingga yang berlokasi di kompleks wisata Reptil & Insect Park Kutasari. Di tempat ini berbagai mata uang mulai dari jaman kerajaan-kerajaan di Nusantara hingga mata uang jaman kini tersimpan dengan rapi. Tak hanya itu, koleksi mata uang negara-negara di dunia juga ada disini. Tercatat, ada sedikitnya mata uang 183 negara ada di Museum Uang Purbalingga.


Ide & Gagasan


Siapa yang memiliki ide brilian berdirinya sebuah museum uang yang boleh dibilang paling lengkap di Jateng ini.? Ide pendirian dan koleksi Museum Uang Purbalingga merupakan sumbangan dari keluarga Triyono Budi Sasongko yang juga Bupati Purbalingga dua periode 2000 – 2005 dan 2005 – 2010. Triyono mengaku mendapat dukungan penuh dari Bank Indonesia untuk mendirikan sebuah museum ini. Sejumlah pejabat Bank Indonesia baik dari pusat, maupun dari Purwokerto serta dari Jawa Barat, secara bertahap mengunjunginya sebelum museum resmi dibuka pada 18 Desember 2008.

Para pejabat tersebut dan beberapa kurator mata uang memberikan bimbingan bagaimana merawat sebuah uang agar tetap terjaga dengan baik. Mulai dari hal yang paling kecil, seperti membersihkan mata uang logam jaman VOC yang boleh dibilang sudah kotor dan hitam, untuk disulap menjadi mengkilap, atau paling tidak bisa dibaca.

Bupati Triyono Budi Sasongko mengungkapkan, keberadaan museum Uang Purbalingga diharapkan dapat seiring dan sejalan dalam mendorong perkembangan sektor pariwisata di Purbalingga. Selain sebagai wahana pendidikan bagi masyarakat di samping merupakan wahana rekreasi, Museum Uang Purbalingga juga berfungsi mengumpulkan, menyimpan, dan merawat benda-benda maupun dokumen bersejarah yang saat ini dimiliki khususnya dalam hal mata uang, sehingga menjadi suatu sosok yang mempunyai nilai dan arti penting bagi masyarakat.

“Saya ingin melestarikan benda-benda kuno khususnya mata uang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” ungkap Bupati Triyono.

Triyono menambahkan, misi Museum Uang Purbalingga yakni menjaga benda-benda bersejarah yang bernilai tinggi dari kepunahan. Kemudian sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran tentang perkembangan sejarah dan budaya; dan mendukung daya tarik wisata, utamanya di kawasan wilayah Purbalingga.

Bupati Purbalingga menunjukan salah satu koleksi Musem Uang (foto:yit/BNC)


Koleksi


Tidak berlebihan jika kiranya Museum Uang Purbalingga disebut memiliki koleksi terlengkap. Setidaknya, hal ini diakui oleh sejumlah pejabat Bank Indonesia dari pusat yang telah datang ke tempat ini. Bahkan, pejabat BI pusat tak segan-segan menambahkan sejumlah koleksi mata uang untuk melengkapinya.

Ada banyak ribuan koleksi mata uang di tempat ini. Simak saja, pada koleksi jaman kerajaan, tersimpan pula mata uang di jaman kerajaan Majapahit, Banten, Bali, uang jaman Kerajaan Hindu Budha (800/850 – 1300 Masehi) dan mata uang yang beredar di sebuah perkebunan yang kemudian disebut Uang Perkebunan.

Koleksi mata uang di jaman perdagangan internasional tersimpan mata uang masa perdagangan China (850 – 1.900), dan perdagangan dengan VOC (1602 – 1799). Kemudian jaman Pemerintahan Hindia Belanda (1800 – 1945), pendudukan Perancis (1806 – 1811), pendudukan Inggris (1811 – 1816), jaman pendudukan Jepang (1942 – 1945). Koleksi berikutnya yang ditata secara berurutan juga tersimpan mata uang semasa pemerintahan Soekarno (1945 – 1967), Soeharto (1967 – 1998), BJ Habibie (1998 – 1999), Abdurachman Wahid (1999 – 2001), Megawati Soekarnoputri (2001 – 2004), dan Susilo Bambang Yudhoyono (2004 – 2009).

Koleksi lainnya, ada mata uang negara-negara di dunia (183 negara), perangko Indonesia sejak tahun 1951 hingga sekarang, perangko-perangko dunia, bendera negara-negara dunia, alat perkantoran kuno (mesin ketik, mesin hitung, brangkas dll), alat komunikasi tempo doeloe (telepon kuno), miniatur perahu layar jaman Majapahit, dan perahu Pinisi Nusantara. Kemudian miniatur prajurit Kraton Yogyakarta.(Prajurit Bugis, Baheng, Nyutro, Ketanggung, Wirobrojo, Jogokaryo, dan prajurit Mantrijero), dan buku-buku tentang Indonesia, dan dunia.

Untuk koleksi mata uang negara-negara di dunia, Museum Uang Purbalingga merupakan yang terlengkap saat ini. Sehingga tidak mengherankan jika Museum Rekor Indonesia (MURI) pimpinan Jaya Suprana memberikan sertifikat MURI untuk Museum Uang Purbalingga.

Selain koleksi mata uang, pengunjung khususnya para pelajar dapat pula menambahk khasanah ilmu pengetahuan dengan hal-hal unik dan menarik yang terpasang dengan rapi di dinding Museum.

Tak hanya itu, berbagai filosofi sebuah kehidupan yang kita alami saat sekarang ini, terpampang pada dinding-ding ruangan museum. (banyumasnews.com/Prayitno)

*****


Sumber: http://banyumasnews.com/2009/09/06/memahami-sejarah-melalui-museum-uang-purbalingga/#comment-2374

Saingi Dagadu, ‘Dablongan’ Angkat Ciri Khas Banyumasan

Banyumas – Berbekal awal dari keinginan untuk mengangkat budaya lokal Banyumasan, sekelompok anak muda asal Ajibarang, Banyumas (Jateng) menciptakan kaos yang menggunakan bahasa khas Banyumas. Kaos produksi ‘Dablongan’ ini mulai dikenal dikalangan masyarakat Banyumas. Tulisan-tulisan bernada kocak dan menggelitik khas Banyumas sedikit banyak menarik perhatian para calon pembeli. Arti kata Dablongan sendiri berarti ‘seenaknya’ atau ‘kelakar yang berlebihan’.


Direktur Dablongan Soten CV, Amin Nurohman, mengatakan, kaos ‘Dablongan’ sudah mulai diproduksi dua tahun lalu. Tetapi selama ini pemasarannya masih dari mulut ke mulut. Baru dalam event pameran di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) ini, mereka menjangkau pasar yang lebih luas.

kaos dablongan2“Kami baru kali ini mengikuti pameran, ternyata antusias masyarakat terhadap kaos yang mengangkat bahasa khas Banyumasan ini sangat bagus. Baru hari pertama pameran saja, penjualan kaos sudah cukup bagus, artinya sebenarnya masyarakat Banyumas haus akan kreasi-kreasi asli Banyumas yang selama ini memang belum tergarap dengan maksimal,” kata Amin disela-sela event pameran di kompleks kampus Unsoed Purwokerto, Kamis (14/10)

Saat disinggung apakah produk kaos Dablongan ini ingin menyaingi produk Dagadu yang menjadi ciri khas Jogja, Amin mengiyakan. Menurutnya, sudah saatnya Banyumas memiliki kaos lokal yang bisa dibanggakan dan mengangkat budaya serta bahasa khas Banyumas. Sebab, Banyumas merupakan kota kabupaten yang sangat kaya dengan budaya dan bahasa lokal.


“Tentu saja kami ingin menjadi sebesar Dagadu Jogja ataupun Joger Bali, karena bukan hal yang sulit bagi Banyumas untuk memiliki produk khas, termasuk kaos,” tutur Amin.

Dalam ajang pameran di kompleks rektorat Unsoed kemarin, stand ‘Dablongan’ memang menjadi salah satu pusat perhatian para pengunjung. Para pengunjung yang melihat-lihat kaos selalu tertawa ataupun tersenyum sesudah membaca tulisan yang tertera di kaos. Tidak hanya anak muda, bahkan orang tua juga banyak yang ‘ngumpul’ di stand ‘Dablongan’.

Beberapa kalimmat dalam kaos tersebut seperti ‘Bali Domeih Ora Bali Degoleti (pulang dimarahi, tidak pulang dicari)’, Nandur Jae nang Galengan, Nganggur Bae Nggo Omongan (Menanam jahe di pematang, mengganggur lama jadi omongan)’, ‘Nandur Pelem neng Mburitan Angger Gelem Ora Duwitan (menanam mangga di belakang, kalau mau jangan pakai uang).

Ungkapan-ungkapan bahasa seperti itu memang sudah menjadi keseharian pada masyarakat Banyumas. Namun, jika ungkapan tersebut tertuang dalam wujud kaos, tampaknya baru ada pada produk-produk ‘Dablongan’. (BNC/t)

*****


Sumber: http://banyumasnews.com/2010/10/14/saingi-dagadu-dablongan-angkat-ciri-khas-banyumasan/

Atraksi Slalom Becak dan Kolaborasi Barongsai Memukau Penonton

SLALOM BECAK: Inlah aksi salah seorang pengendara becak saat ber slalom ria di komplek Perumahan Limas Agung Purwokerto,Minggu (17/10) (foto:vit/BNC)


PURWOKERTO-Slalom atau atraksi ketangkasan tak hanya menarik dilakuan dengan menggunakan mobil. Di Banyumas Jawa Tengah, pada hari Minggu (17/10) digelar atraksi kemahiran mengendarai becak yang ternyata tak kalah menariknya. Bahkan dalam acara itu, seni mengendarai becak dikolaborasikan dengan aksi barongsai. Tontonan menarik ini mendapat perhatian warga dan menjadi hiburan di akhir pekan.
DIATAS BECAK: Penari barongsai beraksi datas becak (foto:vit/BNC)


DIATAS BECAK: Penari barongsai beraksi datas becak (foto:vit/BNC)


Seperti yang dilakukan Agus (39), seorang pengendara becak yang beraksi di Komplek Perumahan Limas Agung Kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas. Slalom becak ini memang berbahaya bagi yang tak terampil. Namun pengendara becak ini dengan tangkas meliuk liukan tanpa terjatuh.
NAIK BECAK: Singa barongsai ini naik becak sat pentas di komlek Perum Limas Agung Purwokerto, Minggu (17/10) (foto:vit/BNC)

NAIK BECAK: Singa barongsai ini naik becak sat pentas di komlek Perum Limas Agung Purwokerto, Minggu (17/10) (foto:vit/BNC)


Aksi dilanjutkan dengan satu becak yang diniaki oleh sepuluh orang. meski berat, namun ternyata angkutan tradisional ini mampu dan berhasil membawa seluruh penumpangnya.

Tak hanya itu, sebanyak 32 pengemudi becak yang tergabung dengan Komunitas Becak Limas (KBL) Purwokerto ini juga melakukan aksi pawai dengan menggandeng satu sama lain becak mereka layaknya kereta api. Tontonan ini menjadi semakin menarik saat sejumlah penari barongsai naik diatas becak sambil memainkan ular naga. Tarian naga diatas becak ini membuat penonton bedecak kagum.

Selain tarian, anak barongsai yang dimainan olah kelompok barongsai dari Klenteng Ho Tek Bio Purwokerto ini meloncat menaiki becak. Tingkah polah lucu anak singa ini menjadi tontonan menarik tersendiri bagi warga yang tengah libur akhir pekan.

Menurut Ketua Pantia, Arif Budi Cahyono, kolaborasi angkutan tradisional becak dengan kesenian etnis Tionghoa ini sengaja dilakuan sebagai upaya menyatukan perbedaan etnis. Pengayuh becak yang dikenal sebagai kaum Jawa dan seni barongsai yang berlatar belakang etnis Tionghoa. Diharapkan bisa meminimalsir terjadinya perpecahan antar anak bangsa yang belakangan ini banyak terjadi disejumlah daerah (BNC/vit).

*****


Sumber: http://banyumasnews.com/2010/10/17/atraksi-slalom-becak-dan-kolaborasi-barongsai-memukau-penonton/

Gunung Slamet Gemluthuk,Warga Bambangan ‘Kabur’


PURBALINGGA- Warga lereng Gunung Slamet di Desa Bambangan, Minggu (07/11) bersiap kabur, menyusul suara gemuruh dari arah gunung ertinggi di pulau jawa tesebut. Mereka siap mengungsi dengan menggunakan kendaraan roda empat dan sepedamotor ke lokasi yang aman.

” Kami sudah siap ngungsi, tapi saat siangnya suasana terlihat aman, jadi kami kembali lagi,” ujar Taryono (49) warga Desa Bambangan Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga .

Menurut warga dalam empat hari terakhir gunung ersebut kerap mengeluarkan suara gemuruh. Warga cemas, karena trauma dengan kejadian Merapi yang menewaskan ratusan warga.

” Barang barang yang akan kami bawa sudah kami sapkan. Pokoknya kalau ada tanda tanda itu langsung kami kabur,” ujar Sarti (40) warga lainnya.

Pemantauan BanyumasNews.Com (BNC) di Bambangan, kepula asap tebal sejak pagi sudah terlihat. Kondsi ini memang tidak seperti hari biasanya. Meski begitu hingga Minggu masih banyak warga yang melakukan aktivitas seperti biasanya (puh/BNC).

*****


sumber: http://banyumasnews.com/2010/11/07/gunung-slamet-gemludukwarga-bambangan-kabur/

GEGURITAN WEDHUS GEMBEL

oleh: Fajar ‘Doyok’ Praptono


Langit biru wera tur padhang

Merga lamuk desapu silire angin

Ningen kenangapa selot suwe gremeng – gremeng

Banjur terus peteng ?

Sekang kadohan keprungu wong – wong

Lanang wadon bocah wong tuwa kaki lan nini

Padha mlayu pating mbesasat

Karo nggawa apa sing teyeng decandhak

Nyaut apa sing teyeng desaut

Lan nyamber apa sing teyeng desamber

Mlayu sipat kuping seporete

Motor trek becak pit grobag lan dhokar

Ngalor ngidul ngetan ngulon pating sliwer

Semrawut ora nggenah paran sing detuju

Mung merga wedi aring wedhus gembel

Sing agi nguwel ngamuk metu sekang kandhange

Watu kewan tanduran mbangkan umah lan apa baen

Sing ketrajang tumpes mati palastro

Astaghfirullah hal’adzim……..

O…….Allah Gusti…….

Dosa napa sing mpun sami delakoni ?

Dosane sinten ?

Deneng tiyang – tiyang sing sami tekun ngibadah

Sing sregep sodakoh lan eling Gusti Allah

Malahen kathah sing sami dadi korban lan tumbal ?

Sewetara wedhus gembel terus mulek

Saya nguwel ngglibed turut lidhigan desa

Ngingus – ingus grumbul lan nyaponi kampung – kampung

Nyamber ntrajang sing keliwatan

O……Allah Gusti………….

Niki lupute sinten ?

Siksa, kiamat, mala

Napa ganjaran, kaca benggala, utawa ngelingena ?

Pwt,02112010

*****

PEPATAH JAWA

KEMLADHEYAN NGAJAK SEMPAL

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti benalu mengajak patah. Pepatah ini dalam masyarakat Jawa dimaksudkan sebagai bentuk petuah atau sindiran bagi orang yang menumpang pada seseorang, namun orang yang menumpang itu justru menimbulkan gangguan, kerugian, dan bahkan kebangkrutan bagi yang ditumpanginya.

Benalu adalah jenis tanaman parasit yang menghisap sari-sari makanan dari pohon yang ditumpanginya. Dalam pepatah di atas benalu tersebut tidak saja digambarkan menghisap sari-sari makanan dari induk tanaman yang ditumpanginya, namun benalu tersebut justru mengajak dahan yang ditumpanginya untuk patah.

Hal ini bisa terjadi pada sebuah keluarga yang menampung seseorang (atau semacam indekosan) akan tetapi orang yang menumpang itu dari hari ke hari justru menimbulkan kerugian pada yang induk semangnya. Kerugian itu bisa berupa materiil maupun spirituil. Mula-mula orang yang indekos ini hanya menempati sebuah kamar. Akan tetapi karena kelicikan dan keculasannya bisa saja kemudian ia melakukan rekayasa sehingga orang yang punya rumah induk justru terusir karenanya.

Contoh lain dari pepatah itu dapat dilihat juga pada berbagai peristiwa sosial yang kerap terjadi di tempat-tempat indekosan. Oleh karena sebuah keluarga menyediakan kamar-kamar indekosan, tidak jarang orang yang indekos akhirnya terlibat percintaan dengan bapak atau ibu kosnya sendiri sehingga keluarga yang semula menyediakan indekosan itu hancur urusan rumah tangganya.

Persoalan semacam itu juga dapat terjadi pada sebuah perusahaan. Orang yang mendapat kepercayaan pada sebuah perusahaan oleh karena jiwa tamak dan rakusnya sering kemudian memanfaatkan kekayaan atau dana perusahaan untuk memperkaya diri sendiri. Akibatnya perusahaan mengalami kebangkrutan atauy bahkan tutup usaha atau kegiatan karenanya,


SAPA NANDUR BAKAL NGUNDHUH

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti siapa menanam akan menuai. Secara luas pepatah ini berarti bahwa apa pun yang kita perbuat di dunia ini akan ada hasilnya sesuai dengan apa yang kita perbuat. Ibarat orang menanam pohon pisang, ia pun akan menuai pisang di kemudian hari. Jika ia menanam salak ia pun akan menuai salak di kemudian hari.

Secara lebih jauh pepatah ini ingin mengajarkan kepada kita bahwa jika kita melakukan perbuatan yang tidak baik, maka di kemudian hari kita pun akan mendapatkan sesuatu yang tidak baik. Entah itu dari datangnya atau bagaimanapun caranya. Intinya, pepatah ini ingin mengajarkan hukum keseimbangan yang dalam bahasa Indionesia mungkin sama maknanya dengan pepatah, siapa menabur angin akan menuai badai.

Jika Anda merasa berbuat buruk, lebih-lebih perbuatan buruk tersebut merugikan, melemahkan, mengecilkan, bahkan "mematikan" orang lain, bersiap-siaplah Anda untuk menerima balasannya kelak di kemudian hari. Balasan itu mungkin sekali tidak langsung mengenai Anda, tetapi bisa juga mengenai anak keturunan Anda, saudara, atau famili Anda.

Apabila Anda merasa telah berbuat kebajikan, Anda boleh merasa tenteram sebab Anda pun akan menuai hasilnya kelak di kemudian hari. Hasil itu mungkin tidak langsung Anda terima, namun bisa jadi yang menerima adalah anak keturunan Anda, saudara, atau famili Anda. Hasil itu belum tentu sama seperti yang Anda perbuat, namun bobot, makna, atau nilainya barangkali bisa sama.

Demikian makna pepatah yang masih banyak diyakini kebenarannya oleh masyarakat Jawa ini.


AMEMAYU HAYUNING BUWANA

Pepatah Jawa ini secara harfiah berati mempercantik kecantikan dunia. Pepatah ini menyarankan agar setiap insan manusia dapat menjadi agen bagi tujuan itu. Bukan hanya mempercantik atau membuat indah kondisi dunia dalam pengertian lahir batin, namun juga bisa membuat hayu dalam pengertian rahayu 'selamat' dan sejahtera.

Dengan demikian pepatah ini sebenarnya ingin menyatakan bahwa alangkah indah, selamat, cantik, dan eloknya kehidupan di dunia ini jika manusia yang menghuninya bisa menjadi agen bagi hamemayu hayuning buwana itu. Untuk itu setiap manusia disarankan untuk tidak merusakkan dunia dengan perilaku-perilaku buruk dan busuk. Perilaku yang demikian ini akan berbalik pada si pelaku sendiri dan juga lingkungannya. Hal inilah yang merusakkan dunia. Untuk itu pengekangan diri untuk tidak berlaku jahat, licik, culas, curang, serakah, menang sendiri, benar sendiri, dan seterusnya perlu diwujudkan untuk mencapai hayuning buwana.

Tentu saja makna yang dimaksudkan oleh pepatah ini adalah makna dalam pengertian lahir batin. Keduanya harus seimbang. Tanpa itu apa yang dimaksud dari hamemayu hayuning buwana itu akan gagal. Sebab tindakan yang tidak didasari ketulusan dan kesucian hati hanya akan menumbuhkan pamrih di luar kewajaran atau tendensi yang barangkali justru menjadi bumerang bagi tujuan pepatah itu. Sebab hamemayu hayuning buwana mendasarkan diri pada niat yang suci atau tulus dalam mendarmabaktikan karya (kerjanya) bagi dunia.


WANI NGALAH LUHUR WEKASANE

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti berani mengalah akan mulia di kemudian hari.

Orang boleh saja mencemooh pepatah yang sekilas memperlihatkan makna tidak mau berkompetisi, pasrah, penakut, lemah, dan sebagainya. Namun bukan itu sesungguhnya yang dimaksudkan. Wani ngalah sesungguhnya dimaksudkan agar setiap terjadi persoalan yang menegangkan orang berani mengendorkan syarafnya sendiri atau bahkan undur diri. Lebih-lebih jika persoalan itu tidak berkenaan dengan persoalan yang sangat penting.

Pada persoalan yang sangat penting pun jika orang berani mengalah (sekalipun ia jelas-jelas berada pada posisi benar dan jujur), kelak di kemudian hari ia akan memperoleh kemuliaan itu. Bagaimana kok bisa begitu ? Ya, karena jika orang sudah mengetahui semua seluk beluk, putih-hitam, jahat-mulia, culas-jujur, maka orang akan dapat menilai siapa sesunggunya yang mulia itu dan siapa pula yang tercela itu. Orang akan dapat menilai, menimbang: mana loyang, mana emas.

Memang, tidak mudah bahkan teramat sulit dan nyaris mustahil untuk bersikap wani ngalah itu. Lebih-lebih di zaman yang semuanya diukur serba uang, serba material, hedonis, dan wadag semata seperti zaman ini. Namun jika kita berani memulai dari diri sendiri untuk bersikap seperti itu, dapat dipastikan kita akan beroleh kemuliaan di kemudian hari sekalipun sungguh-sungguh kita tidak mengharapkannya, karena kemuliaan itu sendiri tidak bisa diburu-buru atau diincar-incar seperti orang berburu burung. Kemuliaan didapatkan dengan laku serta keikhlasan. Jika kita mengharap-harapkannya, maka semuanya justru akan musnah. Kemuliaan itu sekalipun berasal dari diri kita sendiri namun orang lain lah yang menilainya. Bukan kita. Kita tidak pernah tahu apakah kita ini mulia atau tidak. Orang lain lah yang bisa menilai itu atas diri kita.


GUSTI ALLAHE DHUWIT, NABINE JARIT

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti Gusti Allahnya uang, nabinya kain. Pepatah ini sebenarnya ingin menggambarkan orang yang hidupnya hanya memburu uang atau harta benda, kemewahan, dan kenikmatan. Sehingga yang ada di dalam otak dan hatinya hanyalah bagaimana mendapatkan uang, kemewahan, dan kenikmatan hidup itu. Bahkan untuk mendapatkan itu semua ia rela melupakan segalanya. Baik itu etika, moral, kebajikan, dan seterusnya. Tidak ada halangan apa pun sejauh itu semua ditujukan untuk mendapatkan uang, kemewahan, dan kenikmatan. Artinya, uang, kemewahan, dan kenikmatan adalah segala-galanya.

Orang boleh saja menampik pepatah itu. Akan tetapi di balik itu semua orang juga sangat sering tidak sadar bahwa seluruh daya hidup yang ada pada dirinya hanya ditujukan untuk tujuan duniawiah tersebut.
KEBO NYUSU GUDEL

Pepatah tersebut di atas secara harfiah berarti kerbau menyusu gudel. Gudel adalah nama anak kerbau. Jadi pepatah itu menunjukkan sebuah logika yang terbalik atau dibalik.

Maksud dari pepatah itu adalah bahwa orang tua atau dewasa yang meminta pengetahuan, pelajaran, atau bahkan meminta jatah hidup kepada anaknya. Secara logika semestinya orang tua itu lebih dulu tahu, pintar, dan punya uang daripada anaknya. Akan tetapi pada banyak kasus logika semacam itu justru terbalik. Ada banyak orang tua yang minta pengetahuan atau pelajaran serta bahan untuk kelangsungan hidupnya pada anaknya.


KESRIMPET BEBED KESANDHUNG GELUNG

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti terjerat bebed (kain jarit) tersandung gelung.

Secara luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang terjeratnya seorang pria pada wanita. Bebed dan gelung dalam masyarakat Jawa adalah identik dengan wanita itu sendiri. Jadi, yang dikatakan sebagai kesrimpet bebed kesandung gelung adalah peristiwa terjeratnya seorang pria (biasanya yang telah berkeluarga) pada wanita wanita lain (bisa gadis, janda, atau ibu rumah tangga).

Dalam peristiwa semacam itu si pria bisa tidak berkutik sama sekali (karena telah terjerat dan tersandung) oleh wanita tersebut sehingga kehidupannya menjadi kacau dan serba tunduk pada wanita tersebut. Apa pun yang dimaui wanita itu akan dituruti oleh pria yang terlanjur kesrimpet tersebut.

Pepatah ini ingin mengajarkan agar kita semua tidak mudah terjerat oleh hal-hal yang nempaknya memang indah dan nikmat, namun di balik itu hal demikian justru mengancam ketenteraman, keselamatan, dan kenyamanan hidup kita sendiri dan orang lain (keluarga, saudara, tetangga, dan sebagainya).


GUPAK PULUTE ORA MANGAN NANGKANE

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti tidak makan nangkanya tetapi terkena getahnya. Secara luas pepatah Jawa ini ingin menunjukkan sebuah peristiwa atau kiasan yang menggambarkan akan kesialan seseorang karena ia tidak menikmati hasilnya tetapi justru menerima resiko buruknya.

Hal semacam ini dapat dicontohkan misalnya ada dua atau lebih orang melakukan pencurian, namun hanya salah seorang yang kena tangkap. Orang yang kena tangkap itu kemudian dipukuli dan dihukum sedangkan temannya yang lolos berhasil membawa kabur hasil curiannya. Orang yang apes itulah yang dikatakan sebagai terkena getahnya. Sedangkan temannya yang kabur sambil menggondol curiannya itulah yang memakan nangkanya.
Dapat juga dicontohkan, ada seorang yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan yang sedang terjadi di lingkungannya, namun tiba-tiba ia dikorbankan. Mungkin sekali ia dikorbankan karena ketidaktahuannya itu. Sementara orang yang mengambil manfaat dari perkara itu bisa melenggang dengan merdeka seperti tanpa dosa.


GELEM JAMURE EMOH WATANGE

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti mau jamurnya tidak mau bangkainya.

Pepatah tersebut secara luas ingin menggambarkan keadaan (seseorang) yang hanya mau enaknya tetapi tidak mau jerih payahnya. Hal ini bisa dicontohkan dengan misalnya sebuah perhelatan besar di sebuah dusun atau organisasi. Ketika persiapan, kerja bakti, dan lain-lain sedang dilakukan ada orang yang tidak mau terlibat karena mungkin takut kotor, takut capai, takut dianggap pekerja kasar, takut dianggap sebagi buruh yang tidak berkelas, dan sebagainya.

Akan tetapi ketika perhelatan itu sukses, maka orang yang tadinya tidak mau bekerja kasar itu tiba-tiba mengaku-aku bahwa dialah perancang atau arsiteknya. Jadi dialah yang patut diberi aplaus atau pujian. Bukan yang lain.

Contoh lain dari pepatah ini bisa juga dilihat misalnya dalam sebuah kerja bareng masak-memasak. Ketika semua orang terlibat urusn memasak, ada satu dua orang yang hanya berlaku atau berlagak seperti mandor. Akan tetapi begitu masakan itu matang orang yang berlagak seperti mandor itu justru yang makan pertama kali bahkan tidak memikirkan cukup tidaknya makanan tersebut bagi orang lain yang telah mempersiapkannya.


KAYA KODHOK KETUTUPAN BATHOK

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti seperti katak di dalam tempurung. Apa yang dilihat, diketahui, dan dirasakan katak di dalam tempurung tentunya hanyalah dunia di dalam tempurung itu. Katak tidak akan melihat suasana atau dunia di luar tempurung itu.

Secara luas pepatah ini ingin mengatakan bahwa orang yang pikiran, referensi, pengetahuan, dan pengalamannya tidak banyak tentu tidak akan tahu banyak hal. Orang yang tidak meluaskan pengalamannya hanya akan berbicara hal-hal yang sempit, sebatas yang dia ketahui. Orang yang pengetahuannya masih sedikit sebaiknya tidak berlaku seperti katak dalam tempurung. Karena katak di dalam tempurung itu yang dia ketahui hanya sebatas dunia tempurung itu. Ia tidak tahu ada dunia yang lebih luas di luar sana. Untuk itu orang diharapkan untuk meluaskan pengetahuannya agar tidak bersikap seperti katak dalam tempurung.


Orang yang seperti katak dalam tempurung, biasanya akan bersikap sombong atau angkuh dan sok tahu padahal dia sebenarnya belum tahu apa-apa atau pengetahuannya masih sedikit/dangkal.


SAPA GAWE BAKAL NGANGGO


Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti siapa membuat bakal memakai. Secara luas pepatah tersebut bermakna bahwa siapa pun yang membuat sesuatu dia sendirilah yang akan memakainya. Artinya, bahwa apa pun yang dilakukan seseorang, dia sendirilah yang akan bertanggung jawab.

Jika seseorang berbuat baik, maka ia pulalah yang akan memakai kebaikan itu. Demikian juga jika ia berbuat sebaliknya. Pepatah ini sesungguhnya merupakan representasi dari kepercayaan akan adanya hukum karma atau hukum keseimbangan alam. Oleh karena itu bagi masyarakat yang mempercayai hal itu mereka akan sangat hati-hati untuk berbuat karena mereka sadar bahwa perbuatannya akan berdampak pada dirinya sendiri dan mungkin kepada famili dan keturunannya.

Hal seperti dapat dicontohkan misalnya apabila kita merusak alam, maka alam akan hancur dan kehancuran alam itu akan berdampak menghancurkan hidup kita. Dapat juga dicontohkan misalnya apabila kita selalu berbuat jahat kepada orang lain, entah disengaja atau tidak kita pun kelak akan dijahati atau dirugikan oleh tindakan orang lain atau oleh alam. Mungkin juga akibat perbuatan kita itu maka keturunan kitalah yang akan menerima akibat atau resikonya.


TUNGGAK JARAK MRAJAK TUNGGAK JATI MATI

Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti tunggak (pohon) jarak menjadi banyak tunggak jati mati. Mrajak dalam khasanah bahasa Jawa dapat diartikan sebagai berkembang biak. Dalam realitasnya pohon jarak memang akan bertunas kembali meskipun batangnya dipatahkan. Sedangkan tanaman jati bila dipotong batangnya biasanya akan mati. Jikalau tumbuh tunas baru, biasanya tunas baru ini tidak akan tumbuh sesempurna batang induknya.

Pepatah ini ingin menggambarkan tentang keadaan orang dari kalangan kebanyakan yang bisa berkembang (mrajak) dan sebaliknya, orang dari kalangan/trah bangsawan/berkedudukan tinggi yang tidak punya generasi penerus (mati). Keadaan semacam ini kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ada begitu banyak orang yang memiliki kedudukan tinggi, namun ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Artinya, orang tuanya adalah orang biasa-biasa saja. Tidak kaya, tiak berpangkat, dan tidak memiliki garis keturunan bangsawan (jati).


Sebaliknya pula banyak anak-anak atau keturunan orang-orang besar/berkedudukan/berdarah bangsawan yang keturunannya tidak mengikuti atau tidak bisa meniru atau melebihi kedudukan leluhurnya.


ADIGANG, ADIGUNG, ADIGUNA, ADIWICARA


Pepatah Jawa ini dapat diterjemahkan sebagai mengunggul-unggulkan atau menyombongkan keelokan badan atau wajah, menyombongkan besarnya tubuh atau garus keturunan, menyombongkan ilmu atau pengetahuannya, dan menyombongkan kelihaian bicara atau merdunya suara.

Pepatah tersebut digunakan untuk menasihati orang agar tidak menyombongkan apa pun yang dimilikinya. Orang yang merasa diri mempunyai sesuatu, apa pun itu, kadang-kadang memang menjadi lupa bahwa semua itu hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa. Kesombongan karena merasa diri lebih dari orang lain ini sangat sering mengakibatkan orang yang bersangkutan berlaku semena-mena terhadap orang lain.

Orang yang merasa diri elok rupawan, punya kecenderungan menganggap orang lain tidak seelok dirinya. Orang yang menganggap dirinya besar dan kuat akan menganggap orang lain lemah. Orang yang merasa dirinya keturunan orang hebat berkecenderungan menganggap orang lain adalah keturunan orang rendahan atau tidak punya kelas sosial. Orang yang menganggap dirinya pintar cenderung menggurui dan menganggap orang lain tidak tahu apa-apa. Orang yang merasa dirinya pandai bicara akan berkecenderungan mempengaruhi orang lain dengan kelihaiannya berbicara.

Hal seperti itu dalam masyarakat Jawa dicontohkan dalam perilaku kijang atau menjangan (adigang). Kijang menganggap bahwa tanduknya adalah benda yang paling elok di dunia. Namun ia mati juga karena tanduknya itu. Entah karena diburu, entah karena tanduknya tersangkut belukar.

Perilaku adigung dicontohkan oleh binatang gajah yang tubuhnya demikian besar dan kuat. Ia merasa bahwa segalanya bisa diatasi dengan kekuatannya. Namun ia mati karena bobot tubuhnya itu karena ketika terperosok ke dalam lubang ia tidak bisa mengangkat tubuhnya keluar (saking beratnya).

Perilaku adiguna dicontohkan dengan perilaku ular yang berbisa. Ia menyombongkan bisanya yang hebat, namun mati di tangan anak gembala hanya dengan satu sabetan ranting kecil.

Perilaku adiwicara dicontohkan dalam perilaku burung yang merdu dan lihai berkicau. Ia merasa bahwa kicauannya tidak ada tandingannya di seluruh hutan, namun ia mati oleh karena melalui kicauannya itu pemburu menjadi tahu tempat bersembunyi atau tempat bertenggernya.


ADOH TANPA WANGENAN CEDHAK DATAN SENGGOLAN


Pepatah Jawa tersebut secara harfiah berarti jauh tanpa ukuran dekat tidak senggolan. Pepatah ini dalam masyarakat Jawa biasanya digunakan untuk menggambarkan keberadaan kekasih atau Tuhan.

Orang yang tengah dilanda cinta biasanya akan merasa kangen terus dengan orang yang dijatuhcintainya. Jika kekasih tersebut tidak berada di sisinya, memang terasa begitu jauh keberadaannya. Namun di balik itu sesungguhnya sang kekasih juga sangat dekat dengan dirinya, yakni berada di dalam hatinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekasih itu berada jauh namun sesungguhnya jua sangat dekat. Sekalipun kedekatan (di hati) itu menyebabkannya tidak bisa bersentuhan atau bersenggolan.

Hal yang sama juga sering digunakan untuk menggambarkan keberadaan Tuhan bagi manusia. Kadang orang merasa bahwa Tuhan demikian jauh, seolah-olah berada di atas langit lais ke tujuh yang jaraknya tidak dapat diukur. Namun sesungguhnya Tuhan juga begitu dekat terasa di hati masing-masing orang. Sekalipun begitu manusia tidak bisa memegangnya.


SADUMUK BATHUK SANYARI BUMI DITOHI PATI


Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti satu sentuhan dahi, satu jari (lebar)-nya bumi bertaruh kematian. Secara luas pepatah tersebut berarti satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati).

Pepatah di atas sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa tanah dan kehormatan atau harga diri bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan orang pun sanggup membela semuanya itu dengan taruhan nyawanya. Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas kepemilikan tanah walapun luasnya hanya selebar satu jari tangan. Sadumuk bathuk juga dapat diartikan sebagai wanita/pria yang telah syah mempunyai pasangan hidup pantang dicolek atau disentuh oleh orang lain. Bukan masalah rugi secara fisik, tetapi itu semua adalah lambang kehormatan atau harga diri.

Artinya, keduanya itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang lahiriah atau tampak mata semata, tetapi lebih dalam maknanya dari itu. Keduanya itu identik dengan harga diri atau kehormatan. Jika keduanya itu dilanggar boleh jadi mereka akan mempertaruhkannya dengan nyawa mereka.


NABOK NYILIH TANGAN

Pepatah di atas secara harfiah berarti memukul meminjam tangan. Secara luas pepatah ini berarti memukul dengan meminjam tangan orang lain.

Pepatah ini ingin menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial sering ada orang yang bertindak tidak ksatria. Artinya, ketika dia ingin menjatuhkan, menyakiti, menyingkirkan, membunuh, dan melenyapkan orang lain ia tidak bertindak sendiri. Tidak menghadapinya sendiri. Namun dengan menggunakan (meminjam) tangan orang lain sehingga seolah-olah dirinya adalah orang yang bersih, baik, dan suci. Seringkali perkara demikian dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang meminjam tangan itu sepertinya tidak terkait dengan persoalan yang tengah terjadi, yang menimpa orang yang kena "pukul" itu.

Ketika orang yang "dituju" dengan meminjam tangan orang lain itu berhasil disingkirkan, maka ia pun akan merasa lega. Puas. Konyolnya pula ia akan tetap merasa sebagai Mr. Clean, sekalipun segala persoalan dan kolusi jahat itu bersumber dari orang yang bersangkutan.


AJINING RAGA DUMUNUNG ANA ING BUSANA


Secara harfiah pepatah tersebut di atas berarti harga diri dari fisik (tubuh) terletak pada pakaian.

Pepatah ini ingin menyatakan bahwa jika seseorang berbusana dengan sembarangan di sembarang tempat, maka ketubuhan (dan jati dirinya) tidak akan dihargai oleh orang lain.

Suatu contoh misalnya, kita mengenakan pakaian renang kemudian menemui tamu yang berkunjung ke kita atau sebaliknya. Dapat dibayangkan bagaimana respon atau tanggapan orang lain terhadap kita. Sungguhpun pakaian renang yang kita kenakan berharga jutaan rupiah misalnya, orang tetap tidak akan menghargai kita karena apa yang kita kenakan tidak tepat penempatannya.

Bisa juga diambil contoh kita datang ke sebuah pelayatan, namun kita datang ke sana dengan mengenakan pakaian pesta yang dilengkapi dengan perhiasan. Orang pun bisa menanggapi kita sebagai orang yang tidak bisa menempatkan diri.

Pada intinya pepatah di atas ingin menegaskan kepada kita agar kita mampu menghargai diri sendiri dengan berbusana yang pantas, tempat yang tepat, serta waktu yang sesuai. Dengan begitu kita tidak akan jadi bahan tertawaan, juga tidak akan mengganggu keselarasan hubungan sosial.


ANCIK-ANCIK PUCUKING ERI

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti bertumpu pada ujung duri. Secara lebih luas pepatah ini ingin menyatakan keadaan yang begitu gawat, kritis, dan nyaris tidak tertolong lagi. Bisa dibayangkan bagaimana keadaan seseorang yang bertumpu pada ujung duri. Tentu saja sakit dan khawatir. Ibaratnya keberlangsungan hidupnya tinggal menunggu ajal belaka.

Hal seperti itu dapat juga dicontohkan dengan keadaan seseorang yang menerima sebuah surat pemberitahuan bahwa sebentar lagi rumahnya akan digusur. Entah dalam waktu dekat atau jauh, orang tersebut tentu sudah merasakan kekhawatirannya. Kekhawatiran dan ketiadaan harapan ini ibaratnya ancik-ancik pucuking eri.


TUNA SATAK BATHI SANAK


Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti rugi satu tak (satu ukuran uang /segepok uang) untung saudara.

Pepatah ini ingin mengajarkan bahwa sekalipun dalam dunia dagang yang pertimbangan utamanya hanyalah mencari untung dan untung, bagi orang Jawa kerugian sekian uang tidak mengapa asal (masih) bisa mendapatkan sedulur 'saudara' atau teman. Teman (dalam arti sesungguhnya) tampaknya memang menjadi pilihan yang lebih mempunyai makna daripada sekadar uang (material).

Pada sisi lain pepatah ini juga mengajarkan bahwa sedulur (sanak) jauh lebih menguntungkan daripada seukuran uang dalam kesesaatan. Jika diulur, maka teman atau sedulur itu di kemudian hari dapat memberikan keuntungan yang jauh lebih besar daripada seukuran uang pada saat transaksi jual beli terjadi. Jika memang sedulur itu menyedulur 'menyaudara' dengan kita, dapat dipastikan bahwa ia (mereka) akan membantu kita jika kita mendapatkan kesulitan. Bantuan dari orang yang demikian itu tanpa kita sadari nilainya jauh lebih besar dibandingkan ketika kita mendapatkan uang satak pada saat kita melaksanakan transaksi jual beli di masa lalu.

Dengan adanya rasa menyedulur itu, orang yang bersangkutan tidak akan owel 'sungkan/enggan' memberikan bantuannya dalam bentuk apa pun yang sesungguhnya tidak bisa kita ukur dengan sekadar hanya uang atau material. Dalam kali lain, orang yang bersangkutan bisa jadi akan membeli produk atau dagangan yang kita jual tanpa perlu lagi menawar karena di masa lalu ia pernah mendapatkan kemurahan dari kita yang berupa satak (satu ukuran uang).

Pepatah ini sesungguhnya menunjukkan betapa optimisnya orang Jawa dalam menyikapi hidup.


ASU BELANG KALUNG WANG


Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti anjing belang berkalung uang.

Secara lebih jauh pepatah ini inginmenggambarkan keadaan orang yang secara visual buruk atau secara social tidak mempunyai peringkat yang tinggi (tidak berpangkat atau berjabatan) namun ia memiliki kekayaan yang berlimpah.

Asu (anjing) dalam masyarakat Jawa termasuk binatang yang sering digunakan sebagai bahan misuh (memaki). Dengan demikian, ia memiliki derajat yang buruk sekalipun dalam praktek anjing memang banyak digunakan untuk membantu orang terutama dalam soal keamanan. Bukan hanya itu. Asu belang (anjing bercorak/berbulu belang) dalam masyarakat Jawa masa lalu termasuk kategori anjing yang bernilai paling rendah.

Jadi, pepatah di atas ingin menggambarkan orang yang di masyarakat tidak dianggap, namun ia memiliki uang (kekayaan) yang berlimpah sehingga pada akhirnya ia juga didatangi orang (karena yang datang menghendaki uangnya).


NGUNDHUH WOHING PAKARTI


Peribahasa di atas secara harfiah berarti memanen buah pekerjaan/tindakan. Secara luas peribahasa ini ingin mengajarkan tentang orang yang menuai dari buah tindakannya sendiri. Hal ini dapat dicontohkan misalnya karena seseorang selalu mencelakai atau merugikan orang lain, maka pada suatu ketika ia pun akan diperlakukan demikian pula oleh orang lain.

Peribahasa ini sesungguhnya merupakan representasi dari paham kepercayaan akan hukum karma yang sampai sekarang masing dianut oleh banyak orang Jawa (Indonesia). Peribahasa tersebut menjadi penanda akan adanya keyakinan hukum harmonium alam raya. Hal ini bisa dicontohkan pula misalnya karena manusia menebangi hutan semaunya, maka bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan pun mengancam. Dapat saja terjadi bahwa undhuh-undhuhan atau panen dari pakarti itu tidak mengenai orang yang berbuat namun mengenai saudara, anak, cucu, pasangan hidup, dan keturunannya. Oleh karena itu, bagi orang yang percaya pada paham ini mereka akan takut berbuat negatif karena mereka percaya bahwa hal yang negatif itu nantinya akan mengenai dirinya sendiri, saudara, dan keturunannya.


NULUNG MENTHUNG


Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti menolong mementhung. Secara luas pepatah ini ingin menggambarkan tentang perilaku orang yang kelihatannya nulung (menolong), namun sesungguhnya ia mementung (memukul/mencelakai) orang yang ditolongnya itu.

Hal seperti ini dapat dicontohkan misalnya ada orang yang kesulitan uang. Tiba-tiba datang orang yang menawarkan pinjaman uang. Tentu hal ini disambut dengan gembira. Akan tetapi selang beberapa saat kemudian orang yang dipinjami uang itu akan merasa kecewa karena ia harus mengembalikannya berikut bunganya yang mencekik. Alih-alih ditolong, dia malah justru dicelakakan. Dalam banyak kasus orang yang terlanjur meminjam uang itu terpaksa melepaskan rumah, tanah, dan seluruh harta bendanya karena tidak mampu mengembalikan pinjaman berikut bunganya.

Dapat juga dicontohkan, ada orang yang kelihatannya getol menolong temannya dalam bekerja. Akan tetapi ketika pekerjaan itu berjalan lancar dan sukses dengan tiba-tiba orang yang menolong itu mengklaim bahwa itu semua adalah hasil kerjanya (peran temannya dihapuskan). Sehingga orang yang ditolong bekerja itu tidak pernah dianggap (dihargai) oleh atasan dan bahkan oleh teman yang lainnya.

Hal ini biasa terjadi juga dengan penyerobotan ide atau gagasan. Misalnya A memmpunyai ide. Lalu B berusaha membantu menyelenggarakan ide itu akan tetapi di tengah jalan ide itu diklaim B sebagai idenya belaka.


ILANG-ILANGAN ENDHOG SIJI


Pepatah Jawa di atas berarti kehilangan satu telur. Pepatah Jawa ini secara luas ingin menyatakan tentang kepasrahan atau keputusasaan seseorang (biasanya orang tua) atas perilaku anaknya yang dianggap sudah di luar batas.

Hal ini dapat dicontohkan misalnya dengan perilaku seorang anak yang demikian durhaka, jahat, brengsek, dan tidak bisa dinasihati lagi. Apa pun nasihat dan oleh siapa pun nasihat itu diberikan seolah memang sudah tidak mempan lagi. Menghadapi hal yang demikian ini biasanya orang tua akan menyerah atau putus asa. Harapan tentang hal-hal yang baik pada anaknya bisa pupus seketika. Dalam kondisi semacam ini orang tua bisa pasrah atau melepaskan harapannya atas anaknya. Dalam hal seperti ini orang tua bisa merasa ikhlas atau melupakan anaknya yang sudah bisa ditolong lagi tersebut.

Harapan orang tua akan ditambatkan pada anak-anaknya yang lain. Ibarat induk mengerami telur dalam jumlah lebih dari satu, sebuah telur telah direlakannya hilang.


NAPAKAKE ANAK PUTU


Pepatah Jawa di atas secar harfiah berarti bertapa untuk anak cucu. Napakake berasal dari kata tapa atau bertapa. Napakake berarti bertapa untuk.

Secara luas pepatah ini mengajarkan atau memberikan nasihat agar orang hidup di dunia ini tidak hanya mengejar kepuasan, kepopuleran, dan kesejahteraan dirinya sendiri. Ia harus ingat bahwa ia akan mempunyai keturunan. Keturunan inilah yang perlu dibantu agar hidupnya kelak lancar, sejahtera, dan bahagia. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan bertapa (laku prihatin).

Bertapa dapat disamakan dengan tekun berdoa kepada Tuhan, memohon keridhaanNya agar Tuhan bersedia melimpahkan rahamtNya kepada keturunan yang didoakannya itu. Kecuali berdoa, bertapa juga selalu diikuti dengan pengekangan hawa nafsu, memperbanyak amal kebaikan dengan tanpa pamrih. Semuanya dilakukan dengan keikhlasan hati yang tulus.

Tidak mengherankan jika di lingkungan masyarakat Jawa masa lalu sekalipun ada banyak keluarga hidup dalam kemiskinan mereka tetap menjalaninya dengan tabah dan ikhlas. Mereka menganggap bahwa hal semacam itu merupakan bagian dari perjalanan hidup yang mesti dijalani sekalian sebagai latihan bertapa demi anak cucunya kelak. Tidak mengherankan juga di masa lalu sangat jarang ada orang mengemis dan bertindak kriminal sekalipun masyarakatnya hidup serba kekurangan. Mereka menjalani hidup dengan keikhlasan, apa pun kesulitan yang mereka hadapi. Mereka menyikapi semuanya itu sebagai ganjaran (hadiah) belaka dari Tuhan. Bukan cobaan, tetapi hadiah. Mereka menganggap hal itu sebagai hadiah karena di balik ketidaknimatan hidup itu mereka percaya bahwa mereka sedang diajak untuk memperkaya hati, memperkuat batin, dan lebih dekat kepada Sang Khalik. Itu adalah ganjaran.

Mungkin pepatah semacam di atas masih menjadi pegangan bagi laku hidup mereka di kala itu.


KAYA NGENTENI THUKULE JAMUR ING MANGSA KETIGA


Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti seperti menunggui tumbuhnya jamur di musim kemarau.

Secara luas pepatah tersebut ingin menunjukkan sebuah aktivitas (mengharap sesuatu) yang sia-sia. Jamur identik dengan kelembaban. Kelembaban tidak berkait erat dengan air.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sudah bisa mengidentifikasi/memperkirakan bahwa jika musim hujan tiba, maka akan ada banyak jamur bertumbuhan di sembarang tempat. Akan tetapi jika musim kemarau tiba, jamur hampir tidak mungkin didapatkan di mana pun. Berdasarkan ilmu titen inilah kemudian muncul pepatah itu.

Jadi, sangat tidak mungkin mengharapkan tumbuhnya jamur di musim kemarau. Jika kita mempunyai pengharapan yang dinanti namun tidak pernah terwujud itu ibaratnya menunggui tumbuhnya jamur di musim kemarau. Bisa juga pepatah ini digunakan untuk aktivitas menunggu yang amat lama sehingga seperti menunggui sesuatu yang tidak jelas atau tidak berjuntrung.


WIT GEDHANG AWOH PAKEL


Pepatah Jawa di atas secara harfiah diartikan 'pohon pisang berbuah pakel' (sejenis mangga yang sangat harum aromanya jika matang namun agak asam rasanya).

Dalam kehidupan nyata jelaslah amat mustahil terjadi ada pohon pisang yang berbuah pakel. Dari sisi jenis pohon, marga, kelas, dan ordonya saja sudah amat jauh berbeda. Demikian juga sifat-sifat yang dibawanya.

Pepatah ini dalam masyarakat Jawa digunakan untuk menggambarkan betapa mudahnya berbicara atau ngomong. Namun begitu sulitnya melaksanakan, mengerjakan, atau mewujudkannya. Pepatah itu dapat juga digunakan untuk menggambarkan betapa sebuah teori begitu mudah diomongkan atau dituliskan namun tidak mudah untuk dipraktekkan. Begitu mudah nasihat, petuah, pepatah, bahkan kotbah diucapkan, namun untuk pelaksanaannya sungguh tidak mudah. Dibutuhkan perjuangan keras untuk mengendalikan semua pancaindra dalam diri manusia untuk dapat mengarah ke pelaksanaan yang dipandang baik dan benar itu.

Kalimat dalam pepatah tersebut dalam masyarakat Jawa sering kemudian disambung dengan anak kalimat yang berbunyi, omong gampang nglakoni angel 'omong mudah melaksanakan sulit'.


KAYA NGENTENI KEREME PRAU GABUS, KUMAMBANGE WATU ITEM


Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti seperti menantikan tenggelamnya perahu gabus, mengapungnya batu hitam (batu kali).

Perahu yang terbuat dari bahan gabus (semacam stereofoam) tentu sangat muskil untuk tenggelam. Demikian pun batu kali (batu andesit) sangak muskil untuk muncul ke permukaan air.

Secara lebih luas pepatah ini ingin menyatakan akan sebuah usaha yang sia-sia. Usaha yang tingkat keberhasilannya adalah nol persen. Mungkin saja pepatah ini sama artinya dengan pepatah Ibarat menunggu Godod yang sebenarnya diadopsi dari lakon drama karya Samuel Beckett. Drama ini juga menggambarkan akan sebuah penantian yang sia-sia. Penantian pada sesuatu yang tidak akan datang atau terjadi.

Jika kita mengharapkan pada sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi, maka apa yang kita lakukan ini sama dengan ngenteni kereme prau gabus, kumambange watu item.

Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti di depan memberi teladan, di tengah membangun kehendak/karya, mengikuti dari belakang memberikan daya.

Pepatah ini telah menjadi pepatah atau semboyan yang digunakan di dunia pendidikan Indonesia. Maksudnya, tentu sangat mulia agar murid atau siswa-siswa Indonesia bisa berpedoman pada semboyan yang dipopulerkan oleh Ki Hadjar Dewantara itu.

Maksud dari kalimat pertama dari pepatah ini yakni di depan (maksudnya sebagai pemimpin) hendaknya seseorang dapat memberikan teladan atau contoh. Jika seorang pemimpin tidak dapat memberikan keteladanan baik dalam sikap profesionalnya, maupun dalam sikap hidup secara keseluruhannya. Memang manusia tidaklah pernah akan sempurna. Akan tetapi seorang pimpinan hendaknya selalu berusaha menjaga dirinya agar ia benar-benar dapat menjadi teladan bagi bawahan, anak asuh, ataupun anak buahnya.

Kita dapat membayangkan sendiri jika seoang pemimpin dalam profesi maupun tindakannya tidak dapat diteladani, maka sikap atau perilaku anak buahnya pun dapat dipastikan akan lebih buruk daripadanya. Hal ini juga dapat dilihat dalam sebuah sekolah jika guru-gurunya bertindak kurang baik, maka murid-muridnya pun tentu akan bertindak lebih buruk dari gurunya itu. Tidak adanya keteladanan dari pimpinan menyebabkan anak buah akan kehilangan kepercayaan, hormat, dan segala respeknya.

Jika seorang pimpinan berada di tengah-tengah anak buahnya hendaknya ia bisa membangkitkan kegairahan agar anak buah atau anak asuhnya bisa bersemangat untuk berkarya atau bekerja. Di tengah anak buahnya ia hendaknya juga bisa menjadi teman, sahabat, atau partner yang baik.

Apabila seorang pimpinan berada di belakang anak buahnya hendaknya ia bisa mendorong, memotivasi, bahkan juga mencurahkan segala dayanya sehingga anak buahnya bisa benar-benar memiliki daya untuk berkarya.


KUTUK MARANI SUNDUK


Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti kutuk (jenis ikan air tawar yang relatif besar) mendekati sunduk (penusuk/suji). Secara luas pepatah ini ingin menyatakan tentang kejadian atau peristiwa dari seseorang atau sekelompok orang yang mendatangi atau mendekati bahaya atau hal yang dapat membuatnya celaka.

Sunduk atau penusuk adalah pantangan bagi kutuk sebab pada penusuk itulah nyawa kutuk pasti terancam. Hal demikian dapat juga terjadi pada manusia atau orang. Misalnya, ada orang yang tidak bisa berenang, dengan tiba-tiba ia masuk ke dalam sebuah sungai yang dalam, maka tenggelam dan tewaslah orang itu. Dapat juga dilihat contoh lain misalnya, ada orang mendatangi arena peperangan atau pertikaian. Tanpa diketahui orang tersebut terkena peluru nyasar atau lemparan batu. Hal demikian dapat diibaratkan sebagai kutuk marani sunduk. Tegasnya, orang yang mendatangi marabahaya.


MENANG MENENG NGGEMBOL KRENENG


Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti diam-diam mengantongi kreneng. Kreneng dalam khasanah Jawa menunjuk pada pengertian sebuah benda menyerupai keranjang yang terbuat dari bilah bamboo yang diraut tipis dan lentur. Kreneng ini berfungsi untuk membungkus atau mewadahi barang-barang belanjaan yang dibawa oleh seseorang. Umumnya kreneng berfungsi sebagai kantong atau tas sementara yang kemudian bisa dibuang begitu saja setelah barang yang berada di dalamnya dikeluarkan.

Pepatah Jawa di atas secara luas ingin menggambarkan perilaku seseorang yang di permukaan (fisik, lahiriah) kelihatan pendiam, tidak banyak omong akan tetapi di pikiran dan di hatinya sebenarnya dia tengah mempersiapkan atau menyimpan sesuatu (yang umumnya tidak baik). Entah itu berupa rencana-rencana atau tujuan-tujuan yang tidak mulia. Entah itu rekayasa manipulasi, kebohongan, dan seterusnya.


DIJUPUK IWAKE AJA NGANTI BUTHEG BANYUNE


Pepatah di atas secara harfiah berarti diambil ikannya jangan sampai keruh airnya.

Pepatah ini mengandaikan pada sebuah peristiwa perburuan ikan di kolam atau di sebuah sungai. Pada umumnya pengambilan ikan di kolam atau sungai selalu menimbulkan kekeruhan pada air tempat ikan tersebut diambil. Hal ini terjadi karena gerakan tubuh manusia, benda lain, atau bahkan gerakan ikan itu sendiri di dalam air tersebut sehingga mengubak atau mengaduk air kolam/ sungai. Idealnya adalah ikan yang diincar bisa diambil namun air yang melingkupinya jangan sampai menjadi keruh atau butek.

Pepatah ini secara luas menyangkutkan persoalannya pada pengambilan kebijaksanaan atau penyelesaian masalah yang diidealkan jangan sampai menimbulkan korban atau masalah baru. Hal ini dapat dicontohkan misalnya pada kasus pencurian yang dilakukan oleh seseorang di sebuah dusun. Kebetulan ketua dusunnya mengetahui siapa pelaku pencurian itu. Agar masyarakat jangan sampai gaduh dan ribut-ribut nggak karuan, ketua dusun segera datang dan menangkap pencuri tersebut lalu pencuri tersebut disuruh untuk mengembalikan barang-barang yang dicurinya.

Setelah barang yang dicuri dikembalikan, orang yang kehilangan pun lega. Pencurinya tidak digebuki massa. Ketua dusunnya akan semakin naik pamornya karena jeli dan terampil menangani persoalan. Masyarakatnya tetap tenang. Persoalan yang melanda dusun bisa diselesaikan tanpa ribut, tanpa korban, tanpa kegaduhan. Minim resiko.

*****


Sumber: http://old.nabble.com/PEPATAH-JAWA-td21263008.html