Ahmad Tohari. Siapa yang tak kenal sosok yang satu ini. Ngetop lewat novel Ronggeng Dukuh Paruk, ia kini rutin mengisi kolom Resonansi di Republika, tiap hari Senin. Novel itu ia tulis saat ia masih muda, di tahun 1981. Novel ini, terakhir ia terbitkan dalam versi bahasa Banyumasan. Versi ini mendapat penghargaan Rancage dari Yayasan Rancage, Bandung, pada 2007. Yayasan Rancage yang dimotori sastrawan Ajip Rosidi rutin memberi penghargaan kepada penulis-penulis sastra berbahasa daerah setiap tahun.
Dekade 1990 dan awal dekade 2000, ia tak sering muncul ke permukaan, meski Ronggeng Dukuh Paruk masih terus mengalirkan uang ke sakunya. Maka, ketika ia menulis Resonansi di Republika, sejumlah koleganya bertanya kepadanya. ''Ada yang bilang, 'Kamu kan belum mengenalkan diri, kok tiba-tiba-tiba muncul di Republika. Apa ada orang tahu, siapa kamu?','' ujar Tohari kepada wartawan Republika di Purwokerto, Indra Wisnu Wardhana, dalam wawancara di rumahnya, di Desa Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, awal Mei 2007.
Tohari tak menggubris soal masih dikenal atau sudah tidak kenalnya diri dia. ''Terus saya bilang, itu bukan urusan saya, itu urusan redaksi,'' ujar dia disusul dengan tawa yang renyah.
Dari desanya, ia mengirimkan naskah lewat e-mail, meski ia mengaku masih gagap teknologi. ''Saya punya e-mail, tapi saya tidak tahu menggunakannya. Kalau ada naskah yang harus dikirim, anak atau cucu saya yang mengerjakan,'' ujar suami Samsiah, pegawai negeri sipil. Di rumahnya, ada beberapa komputer dan tiga laptop. ''Tapi saya tidak bisa mengoperasikannya. Saya bisa word hanya membuka dan menyimpan,'' kata pria kelahiran 13 Juni 1948 itu.
Kalau ia menerima e-mail, ia pun akan meminta bantuan untuk membukanya. ''Saya punya ATM, tapi saya tidak tahu nomor PIN-nya. Sebetulnya memalukan, tapi bagaimana lagi. Saya masih lumayan karena ada yang jauh lebih parah dari saya,'' ujar Tohari, lantas mengumbar tawa. Ia mengisi Resonansi menggantikan Gus Mus (KH Mustofa Bisri) yang, karena kesibukannya, tak bisa aktif menulis. Resonansi Gus Mus termasuk yang difavoritkan pembaca. Resonansi Ahmad Tohari --yang mengambil tema-tema yang senapas dengan tema-tema yang diambil Gus Mus-- juga digemari pembaca.
Mengapa tulisan Anda lebih banyak menyoroti realitas sosial?
Saya ingin di Republika muncul tulisan dari orang-orang yang memandang agama sebagai kebudayaan. Karena hal ini pasti lain. Sangat sedikit orang yang memandang agama sebagai kebudayaan. Karena sebagian besar orang melihat agama adalah wahyu. Sedang saya dan Gus Mus memandang agama adalah penafsiran terhadap wahyu, bukan wahyu itu sendiri, sehingga kerja penafsiran adalah kerja budaya. Agama adalah kebudayaan dan agama pun harus dibudayakan. Dalam bahasa lain, agama harus menjadi perilaku nyata di bumi, tidak hanya menjadi ajaran-ajaran normatif. Jadi, saya beranggapan kalau kita mengupayakan kearifan-kearifan sosial atau pengabdian sosial, etika sosial itu tidak kurang dari faktor pembumian terhadap agama atau pembudayaan terhadap agama. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai kejamakan atau pluralitas internal maupun eksternal agama mendapat ruang. Dan, hal ini jarang dipikirkan orang. Makanya, sayang kalau Gus Mus meninggalkan ruangan di Republika, karena sangat sedikit yang mendengungkan agama sebagai kebudayaan.
Apakah keinginan mengajarkan agama sebagai kebudayaan juga ikut memengaruhi novel-novel Anda?
Betul. Saya terus terang sejak kecil hidup di alam pesantren, dari ngaji ke sana - ke mari, dari membaca buku ini atau itu, saya menemukan hasil bahwa peribadatan manusia itu harus berbuah untuk manusia. Dalam ilmu kalam atau teologi dikatakan salah satu sifat Tuhan adalah Alqiyam Binafsih artinya Tuhan itu Mahamandiri. Maha tidak butuh apa pun dari umatnya. Jadi, persoalannya, buah ibadah kita lalu untuk siapa? Apa untuk Tuhan yang Alqiyam Binafsih itu? Tidak masuk akal kan?
Jadi, saya simpulkan, kesalehan kita setelah beragama Islam itu harus berbuah kebaikan untuk kemanusiaan, dengan orientasi Ketuhanan. Orientasi adalah menyebut nama Tuhan itu, jadi kita berbuat baik karena demi Tuhan, bukan untuk humanisme universal. Sekarang bisa saleh di bumi dengan alasan humanisme universal itu, tapi kita tidak di sana. Kita berbuat kesalehan itu demi Allah, bukan humanisme universal, walaupun dalam taraf tertentu keduanya sesungguhnya berjalan bersama-sama.
Ada kesulitan tidak dalam menuangkannya?
Itu menjadi ruh. Semua tulisan saya di Resonansi atau novel itu kan tentang orang miskin, tentang orang kesulitan, menderita. Karena saya mendapat pelajaran dari Hadis Qudsi, bahwa kalau kita tidak menjenguk orang-orang yang menderita itu sama dengan kita tidak beribadah kepada Tuhan. Ajaran itu sangat jelas. Ini sabda Allah, 'Kalau kamu tidak menjenguk tetanggamu yang sakit, samalah kamu tidak menjenguk Saya'. Artinya apa? Kalau kita menyapa, memihaki, memberikan empati kepada orang sakit, baik sakit ekonomi, sosial, politik, atau tergusur, dan sebagainya, kemudian kita tidak menjenguk, maka sama dengan kita tidak beribadah kepada Tuhan. Ini sangat sosialistik iman saya, jadinya. Tapi, bukan tanpa dasar. Dasar tersebut sangat banyak dilupakan orang. Jadi, tidak ada kesulitan ketika dituangkan menjadi tulisan.
Menurut Ahmad Tohari kini mulai tumbuh gerakan anak-anak muda --baik di NU dan Muhammadiyah-- yang ingin menarik agama sebagai agama yang mencerahkan dan fungsional. ''Fungsional di sini artinya orang-orang beragama itu nyata-nyata lebih baik dari pada yang tidak beragama,'' ujar Tohari yang memilih tinggal di desa, mengasuh pondok pesantren dan bergaul dengan masyarakat kecil.
Meski tinggal di desa --sekitar 25 km di sebelah barat Purwokerto-- ia bukannya tak mengikuti perkembangan di Jakarta, tempat dulu ia pernah mencari rezeki sebagai wartawan. Ia menganalogikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai sopir yang telah mempunyai SIM. Tapi, sopir bisa menjalankan kendaraan dengan baik jika semuanya dalam kondisi baik. Ya keneknya, ya busnya, ya penumpangnya. ''Pantas, seperti Hatta Radjasa, Aburizal Bakrie, tidak mundur, karena mereka menganggap yang memegang tanggung jawab adalah yang memerintah mereka seperti pada zaman raja dulu,'' ujar dia. Ia mengaku sedih, Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim, sebagai negara terkorup. ''Musuh besarnya adalah pengkhianatan terhadap syahadat,'' tegas dia. Pengkhianatan itu, menurut dia, telah memunculkan tindakan memuja harta, tahta, dan wanita.
Ceritakan dong pengalaman tinggal di kampung....
Wah, kalau bicara itu saya kelihatan muluk ngomong-nya. Sebetulnya kalau saya mengakrabi dan hidup bersama orang-orang miskin itu sebetulnya tarikan atau dorongan iman saya. Seperti tadi saya katakan, kalau kita tidak menjenguk orang sakit sama dengan kita tidak menjenguk Tuhan. Jadi, saya ingin berdekat-dekat dengan Tuhan, tapi Tuhan yang hakiki kan tidak mungkin didekati, maunya dengan orang-orang yang dikasihi ya orang sakit itu seperti miskin, teraniaya, tidak terdidik, terampas hak-haknya, petani yang jasanya lebih besar dari perolehannya. Beda dengan orang kota yang jasanya lebih kecil dibanding perolehannya. Alasan lainnya, saya kan pecinta alam. Bagaimanapun, hidup di kampung menyebabkan saya punya halaman rumah, punya kebun. Kalau di kota mana mungkin. (Di daerah penghasil gula kelapa itu, ia tinggal di sebuah rumah yang sangat asri seluas 3.000 m2 tepat di pinggir jalan utama yang menghubungkan Purwokerto-Bandung. Halaman depannya dipenuhi tanaman).
Anda sekarang aktif di BMT....
Sebenarnya bukan BMT saja. Saya punya tiga lembaga keuangan, tapi bukan berarti saya punya uang. Lucu kan? Saya ketua Koperasi Pasar Sahabat Umat di Wangon, saya berhasil mendatangkan dana bergulir Rp 500 juta dari Departemen Koperasi. Alhamdulillah, dikatakan sebagai koperasi yang sehat. Kemudian BMT berhasil menggandeng BMI dan sudah menyalurkan kredit yang sebagian besar untuk pedagang kecil. Terus, setengah tahun ini saya mendirikan BPRS Artha Leksana yang melayani pedagang kecil dan mempekerjakan 22 anak buah. Dan, untuk itu semua, saya sudah menjaminkan tanah, rumah, kendaraan yang saya miliki. Dijaminkan untuk memperoleh dana supaya lembaga-lembaga mikro itu jalan.
Di Resonansi Anda menceritakan pedagang pasar yang suka menitipkan uangnya pada Anda. Mengapa demikian?
Ya itulah profil masyarakat desa yang percaya pada figur. Tapi, sekarang ini sudah saya arahkan agar jangan percaya pada figur, tapi pada institusi. Saya ingin membangun koperasi, BMT, dan BPRS itu lembaga-lembaga yang amanah. Orang jangan melihat saya, tapi lihat lembaga. Saya kan mau meninggal, umur saya sudah 59 tahun. Mudah-mudahan lembaga itu dapat mencapai tujuan untuk membangun ekonomi umat. Saya sendiri, Alhamdulillah belum dapat penghasilan dari situ, karena tidak ingin. Penghasilan saya dari royalti buku, seminar, dan sebagainya. Alhamdulillah, cukup.
Anda pernah menulis di Resonansi, judulnya 'Belum Haji Sudah Mabrur'. Siapa orang itu dan bagaimana dia sekarang?
Dia dulu tinggal di belakang rumah saya, karena tidak punya tanah. Tapi, dia sangat bagus. Dapat uang BLT Rp 1,2 juta, kemudian dia serahkan sebagian uangnya Rp 650 ribu untuk berkurban. Jadi, menurut saya dialah haji yang sebenarnya. Karena, haji kan disyariatkan dalam satu hal untuk menjadi orang yang dermawan. Nah, dia sudah dermawan. Sekarang dia sakit-sakitan dan beberapa hari lalu habis operasi ambeien. Saya tidak ikrar, tapi insya Allah kehidupannya saya tanggung.
Saya dengar Anda mau membikin novel tentang nelayan?
Sebetulnya saya kepengin menulis lagi, mungkin karena sering mancing atau pergi ke kampung laut. Muncul inspirasi untuk menggandengkan kehidupan pantai dengan persoalan besar negeri ini. Nah, ambisi saya untuk menulis novel baru itu mengalami kendala pertama, yakni kemapanan sosial. Ternyata penulis yang hidupnya mapan justru menjadi repot. Saya di sini sudah jelas sebagai ketua Badan Perwakilan Desa (BPD), ayah yang setia, warga masyarakat yang terkenal. Ini membebani saya kalau saya melangkah menjadi novelis. Karena novelis perlu sedikit 'liar'. Misalnya, kalau saya duduk di pantai satu hari tanpa pekerjaan, orang akan bertanya kenapa dia. Dulu ketika saya menulis Ronggeng kan liar sekali, karena pada waktu itu saya bukan siapa-siapa. Nah, sekarang musuh saya adalah kemapanan, tapi mudah-mudahan ada kompromi setelah anak saya yang ragil selesai kuliah. Saya berharap energi dan perhatian dapat tercurah kembali pada dunia sastra.
Oh ya, Ronggeng Dukuh Paruk tanpa sensor telah diterbitkan. Bisa diceritakan?
Pada masa Pak Harto berkuasa, penerbit tidak berani memuat hal-hal yang sensitif. Seperti situasi di kamp-kamp konsentrasi, penahanan PKI. Kalau berani menerbitkan ya pasti diambil. Jadi, hal-hal seperti itu ditunda. Setelah ganti pemerintahan saya coba dekati penerbit, apa tidak berani mencetak yang lebih lengkap dan memasukkan hal-hal yang dulu dilarang. Dalih saya waktu itu toh edisi bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman sudah lengkap. Jadi, masak kita mau membohongi pembaca kita sendiri. Ternyata mereka menerima dan sekarang buku tersebut menurut laporan penerbit, booming lagi, bahkan sudah cetakan kedelapan. Saya mendapat berkah dari buku itu, dari tahun 1981 hingga sekarang buku tersebut masih menghasilkan uang buat saya. Bukti yang paling nyata adalah saya bisa menyekolahkan anak-anak.
Untuk versi Banyumasan berapa Anda cetak?
Kalau yang versi Banyumasan, saya hanya mencetak 1.500 eksemplar. Sekarang sudah laku 1.200 eksemplar. Itu memang agak mengecewakan, karena masih sedikit. Tapi, saya memaklumi, jangankan ke dalam bahasa dialek lokal yang orang Banyumas sendiri sudah kesulitan, yang bahasa Indonesia pun sesungguhnya novel Ronggeng Dukuh Paruk kalah dengan novel-novel chick lit. Ini artinya bahwa pembaca kita belum dapat menikmati teks-teks yang mengandung pemikiran atau mengandung perasaan mendalam. Maunya yang populer, menghibur, dan yang ringan-ringan. Sebetulnya saya ingin novel versi Banyumasan ini dibeli pemerintah kabupaten untuk dijadikan semacam dokumentasi bukan sekadar buku bacaan, tapi sebagai dokumentasi budaya untuk anak-anak sekolah. Tapi, memang budaya baca di kita sangat rendah, orang masih menomorsatukan kebendaan bahkan urusan buku seperti bukan tanggung jawab orang tua.
Kesulitan apa yang muncul ketika menerjemahkan ke dalam bahasa Banyumasan?
Terus terang, dialek Banyumas belum pernah menjadi teks sastra. Itu masalah pertama. Kedua, struktur bahasa Indonesia banyak berbeda dengan struktur bahasa Banyumas. Kemudian tingkat logika, bahasa Indonesia lebih tinggi dari bahasa Banyumas yang lebih mengutamakan rasa. Itu kesulitannya. Jadi, boleh dikatakan penerjemahan ke dalam dialek Banyumas mengorbankan beberapa segi kualitas. Boleh dibilang tingkat kecerdasannya, keilmiahannya menjadi sangat terganggu. Akhirnya kata itu diwakili dalam beberapa kalimat. Fungsi kata tersebut diwakili dalam kalimat panjang. Repotnya, ada orang yang menyejajarkan Ronggeng Dukuh Paruk dalam dua versi itu dan kemudian menyamakan. Ya pasti tidak akan jadi, karena sangat banyak kalimat yang diterjemahkan bukan kalimat per kalimat, tapi pengertiannya yang dipahamkan. Ada yang membuka novel tersebut dalam teks bahasa Indonesia, Belanda, dan Banyumasan. Mereka mendapat kesulitan, dan yang sudah mencoba Dubes Belanda, Nicolaos van Dam.
Apa yang dulu mendorong Anda menulis novel Ronggeng, padahal latar belakang Anda santri?
Saya kalau sok-sokan begini, kesantrian saya kan sudah lewat yang syariah, jadi sudah membantu kiai. Landasan saya menulis novel tersebut adalah dari ayat Kursi yang salah satu ayatnya adalah Lahuumaa fissamaawaati wa maa fil ardl (kepunyaan Allah lah apa yang ada di langit dan bumi). Jadi, apa yang di bumi adalah kepunyaan Allah, semuanya. Lha, sekarang ada tidak ulama yang bilang ronggeng, pelacur, maling atau yang jahat-jahat itu keluar dari kalimat maa? Jadi, ronggeng adalah salah satu kepunyaan Allah. Satu hal yang harus dipatuhi dalam membaca, menghayati, dan memasuki dunia ronggeng, jangan lupa syaratnya Bismirabbikalladzii khalaq (atas nama Tuhanmu yang menciptakan). Jadi, ketika kondisi kita pegang, baca apa saja boleh karena akan mendatangkan hikmah. Jadi, pemahamannya harus pada tingkat sufi bukan tingkat biasa.
Waktu Anda melihat tarian ronggeng, apa yang Anda rasakan?
Saya memang penikmat ronggeng, jadi betul-betul saya nikmati, lirikan matanya, lenggak-lenggoknya, dan sebagainya. Pada waktu itu di deretan kursi ada beberapa kiai yang ikut hadir dan ketika saya lihat ternyata dia hanya menunduk, tidak berani menatap. Saya sempat tanya kenapa hanya menunduk. Dia hanya tersenyum dan menjawab ada perintah untuk menundukkan pandangan yang mengandung maksiat. Tapi, menurut saya ada pemberitaan lain yang sama-sama di muat di Alquran bahwa apa yang kamu lihat itu tidak lain adalah bukti kekuasaan Allah. Ini harus dipahami secara sufistik. Saya sempat tanya pada kiai muda itu dengan pertanyaan yang provokatif, 'Anda lihat tidak bukti kebesaran Allah pada payudara lengger'. Dia makin kecut saja tersenyumnya.
Saya jelaskan, kalau kita melihat payudara dengan sensasi, maka kemungkinan maksiat sangat besar. Tapi, coba kita berpikir menggunakan akal. Faktanya, payudara, pantat ronggeng, yang sensasional itu, tidak lain cuma air, protein, fosfor, dan zat-zat kimiawi lain yang dibentuk Tuhan sehingga seperti itu. Nah, itu kemudian tertangkap indra kita, jadi tergantung Anda, mau pakai sensasi akan terjadi maksiat. Kalau pakai akal, maka kita akan membaca 'lha wong cuma air, protein, fosfor kok bisa seperti itu dan bisa bergerak'. Apa itu tidak menjadi bukti kekuasaan Tuhan? Saya kagum dengan kekuasaan Tuhan. Saya tidak melihatnya dengan sensasi, karena itu akan mendorong pada rangsangan birahi.
Karya:
- Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Cina, dan Jepang), Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala.
- Bekisar Merah.
- Mas Mantri Gugat.
- Lingkar Tanah, Lingkar Air.
- Kubah.
- Di Kaki Gunung Cibalak.
- Orang-orang Proyek.
- Senyum Karyamin.
*****
Sumber: http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=293048&kat_id=85&kat_id1=&kat_id2=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar