CIPTARASA : PROFIL PUTRI BUNGSU SEBAGAI SIMBOL KESUBURAN, PENYATU PAJAJARAN-PASIRLUHUR, DAN SASARAN OEDIPUS
CIPTARASA: THE PROFILE OF PUTRI BUNGSU AS A SYMBOL OF FERTILITY, UNION OF PAJAJARAN-PASIRLUHUR, AND THE OBJECT OF OEDIPUS COMPLEX
Ditulis oleh:
Sugeng Priyadi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto,
Jl Raya Dukuh Waluh, PO BOX 202,
Telp. (0281) 636751, 634429 Fax. (0281) 637239
ABSTRACT
This research aims at exposing the profile of Putri Bungsu based on the text of Babad Pasir. The object of the study is Babad Pasir published by Knebel. The selection of the object is based on its position as a standard text. The research employs philological and literary methods. Philological method is used for determining the manuscript as the research object, and literary method is for interpreting the text. The literary analysis is conducted using the structural approach focusing on the character and characterization of Putri Bungsu in Babad Pasir. The result of the research shows that Babad Pasir portrays Ciptarasa as the Putri Bungsu representing the symbols of fertility, union of kingdoms Pajajaran and Pasirluhur), and object of men’s Oedipus Complex.
Kata kunci : filologi, teks standar, tokoh dan penokohan, Oedipus complex.
PENDAHULUAN
Masyarakat Banyumas mewariskan dua tradisi teks babad yang termasuk tradisi besar (Kartodirdjo, 1986: 409-410), salah satunya adalah teks Babad Pasir yang senantiasa berinteraksi dengan teks-teks tradisi kecil, seperti Babad Onje, Babad Purbalingga, Babad Kaligenteng, Babad Ajibarang, Babadipun Dusun Perdikan Gumelem, dan Babad Noesa Tembini (Priyadi, 2002). Teks Babad Pasir sebagai salah satu dari dua tradisi besar yang eksis di daerah Banyumas di atas berkaitan dengan dinasti Pasirluhur yang pernah berkuasa di daerah Banyumas.
Babad Pasir Ciptarasa: Profil Putri Bungsu sebagai Simbol menceritakan keberadaan Kadipaten Pasirluhur yang mengaitkan diri dengan Kerajaan Pajajaran. Dinasti Pasirluhur merupakan leluhur masyarakat Banyumas yang terbentuk dari penyatuan antara Sunda dengan Banyumas yang tampak pada perkawinan Putri Bungsu Ciptarasa dengan Raden Banyak Catra atau Kamandaka (putra sulung Prabu Silihwangi). Yang menarik dari teks Babad Pasir tersebut adalah ditemukannya sosok putri bungsu yang begitu menonjol. Teks Babad Pasir menampilkan figur Putri Bungsu Ciptarasa, putri Adipati Kanda Daha dari Pasirluhur, yang hingga kini menjadi putri legendaris yang selalu dikisahkan oleh para penutur cerita lisan atau pementasan ketoprak di daerah Banyumas. Babad Pasir mengacu budaya Sunda. Dengan demikian, daerah Banyumas secara kultural merupakan daerah perbatasan antara budaya Jawa dengan Sunda. Fenomena Putri Bungsu di atas layak untuk diteliti lebih mendalam dengan mencermati teks Babad Pasir terbitan Knebel (1900: 1-155) dan EFEO (Ekadjati & Undang A. Darsa 1999: 18-19).
METODE PENELITIAN
Tulisan ini ditulis berdasarkan hasil penelitian terhadap teks Babad Pasir. Penelitian tersebut ditempuh dengan metode filologi dan metode penelitian sastra.
Metode filologi ditempuh dalam rangka penentuan naskah yang akan dipakai sebagai
objek penelitian (Sulastin-Sutrisno,994:65). Naskah-naskah Babad Pasir dibandingkan sehingga naskah Babad Pasir terbitan Knebel. Babad Pasir terbitan Knebel (1900) telah dipublikasikan secara luas, meskipun belum pernah diteliti secara mendalam, khususnya yang terkait dengan Putri Bungsu. Babad Pasir terbitan Knebel merupakan naskah standar Babad Pasir, meskipun di Purwokerto dan sekitarnya ditemukan naskah-naskah serupa, misalnya Babad Pasir yang ditemukan di Pasir Kulon, Pasir Kidul, Karanglewas Kidul, dan Taman Sari. Teks-teks yang termuat pada naskah selain terbitan Knebel tadi sudah banyak mengalami transformasi teks akibat proses penyalinan. Penelitian ini tidak mencoba untuk menerbitkan teks berdasarkan semua teks yang telah ditemukan, tetapi menggunakan teks standar yang sudah diterbitkan secara diplomatik oleh Knebel.
Selanjutnya, metode penelitian sastra ditempuh dengan metode struktural, yaitu
mencermati teks Babad Pasir sebagai suatu teks karya sastra yang memiliki struktur
yang utuh dan bulat, unsur-unsurnya menentukan makna keseluruhan dan selanjutnya
makna keseluruhan itu menentukan fungsi dan makna setiap unsurnya (Teeuw, 1988:250). Di sini karya sastra atau teks sastra dianggap sebagai sesuatu yang otonom, yang mencukupi dirinya sehingga dalam kritik sastra yang dipentingkan adalah menganalisis struktur intrinsiknya, kompleksitas karya sastra, bentuk formal karya sastra, dan fenomena-fenomena dalam karya sastra (Pradopo, 1995: 163-164).
Salah satu fenomena yang akan menjadi fokus penelitian ini adalah tokoh dan penokohan Putri Bungsu pada teks Babad Pasir. Akhirnya, untuk dapat menangkap makna dan memberi makna teks, maka sistem ketandaan teks sastra melalui konvensi sastra tersebut perlu dikaji dengan metode semiotik. Analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik karena karya sastra merupakan struktur atau
sistem tanda-tanda yang bermakna (Pradopo, 1995: 108-109).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Gadis Simbol Kesuburan (Logawa dan Pasirluhur).
Pasangan Kamandaka dan Ciptarasa dapat diibaratkan seperti lingga (lambang kejantanan) dan yoni (lambang kesuburan). Lambang lingga-yoni dalam topografi daerah Banyumas tampak pada nama dua sungai yang bertemu, yaitu Serayu dan Logawa. Serayu di dalam teks Babad Banyumas versi Mertadiredjan dan versi Danuredjan (gancaran) selalu diidentikan dengan sungai jantan yang bertemu dengan Logawa sebagai sungai lambang kesuburan. Oleh karena itu, pada tempat pertemuan keduanya terdapat patung lingga yang disebut oleh masyarakat Banyumas dengan nama Kepel Bimo (kepalan Bima). Kepel Bimo merupakan salah satu dari ciri Sungai Serayu yang senantiasa memakai nama Bima atau Werkudara antara Penggunungan Dieng hingga muaranya. Perpaduan antara kedua simbol itu sangat sakral dalam pandangan masyarakat Jawa, khususnya pada bangunan candi yang beraliran Siwaistis. Sungai Serayu adalah sungai yang termasuk simbol Siwaistis karena Siwapuja sama dengan Bimapuja (Zaehner 1992: 154).
Jika Kamandaka disimbolkan dengan Serayu, maka nilai yang ada di belakang tokoh Werkudara atau Bima adalah perilaku seorang lelaki yang jantan dan sakti. Kata sakti ini berasal dari kata Sanskerta çakti yang berarti istri atau pasangan dewa. Pada aliran Tantrayana, dewa dianggap mempunyai kekuatan jika ia memiliki çakti sehingga di dalam kata itu sudah terkandung kemanunggalan antara Kamandaka dan Ciptarasa.
Dengan demikian, pengalaman hidup Kamandaka yang sering lolos dari segala bahaya yang mengancam dirinya itu mengejawantahkan kejantanan dan kesaktiannya sehingga ia selalu diharapkan kehadirannya oleh Putri Bungsu Ciptarasa. Kematian pertama di Kedung Petaunan dan kematian kedua dengan bukti darah dan hati tidak cukup bagi Ciptarasa untuk mempercayai berita-berita kematian tersebut karena Kamandaka adalah pria yang jantan. Sebaliknya, Ciptarasa berpandangan bahwa Kamandaka adalah lelaki sejati yang sakti dan tidak pernah mati dari hatinya seperti harapan yang selalu dimiliki oleh seorang perempuan atau gadis. Harapan yang tidak pernah mati itu di dalam masyarakat sering disimbolkan dengan harapan datangnya Ratu Adil pada saat manusia sedang mengalami kebuntuan.
Berita kematian Kamandaka yang bertahun tahun telah berlalu menjadi hidup kembali ketika ada berita keselamatan Kamandaka. Berita kematian kedua menimbulkan harapan keselamatan yang kedua. Kenyataan menunjukkan bahwa berita-berita kematian Kamandaka itu hanyalah berita yang tidak sebanding dengan kedudukan Kamandaka sebagai pria jantan dan sakti. Agaknya kisah Kamandaka dijadikan ajang pamer kekuatan dan kejantanan seorang pengembara yang berasal dari Pajajaran itu. Para prajurit dan orang-orang Pasirluhur bukanlah lawan Kamandaka. Pasirluhur disimbolkan dengan kelamin perempuan, yaitu Logawa (pembawa kesuburan) sehingga seluruh anak Adipati Kanda Daha seluruhnya perempuan. Salah seorang di antaranya adalah Ciptarasa, sedangkan Kamandaka sebagai jagoan merupakan simbol laki-laki. Meskipun perempuan, Ciptarasa adalah tokoh yang cukup kuat menghadapi cobaan yang menimpanya sehubungan dengan kenyataan bahwa ayahnya sangat membenci orang yang sangat ia cintai. Usaha-usaha penangkapan, baik hidup maupun mati, cukup meresahkan posisinya sebagai kekasih Kamandaka.
Perasaan cinta Ciptarasa itu ibarat sepanajang Sungai Logawa, yaitu sungai pembawa kesuburan di kerajaan Pasirluhur. Logawa adalah simbol Pasirluhur juga. Keduanya adalah menyatakan posisi keperempuanan. Kata logawa berasal dari loh (kesuburan) dan gawa (pembawa), sedangkan kata Pasirluhur berarti “gunung kecil yang bersanding dengan gunung besar”, yaitu Gunung Agung atau Gunung Lanang atau Gunung Slamet (Priyadi 2004).
Gunung-gunung di Jawa dan Bali tampak berpasang-pasangan seperti Sundara-Sumbing, Merapi-Merbabu, dan Agung-Batur. Rupanya, Gunung Slamet itu berpasangan dengan Pasirluhur. Atau, lebih jelasnya Gunung Slamet sebagaimana disebut juga Gunung Lanang (simbol kejantanan) berpasangan dengan Pasirluhur yang berarti gunung kecil (simbol kesuburan). Oleh karena itu, pendekatan Kamandaka memulai tampak hasilnya tatkala ia bertapa di Gunung Agung dan kemudian turun pada pertemuan Sungai Logawa dan Sungai Mengaji.
Tapa brata adalah perilaku asketisme Kamandaka sehingga layak sungai itu disebut Sungai Mengaji. Pertemuan antara Sungai Logawa dengan Mengaji merupakan awal pertemuan yang menandai keberhasilan mereka dalam mewujudkan perasaan cinta masing-masing. Bersatunya Kamandaka dengan Ciptarasa adalah simbol harapan manusia sepanjang zaman yang dinyatakan dengan pertemuan Serayu dan Logawa.
Jadi, pasangan Kamandaka-Ciptarasa disimbolkan dengan pasangan Gunung Slamet-Pasirluhur, Sungai Mengaji-Logawa, dan Sungai Serayu-Logawa. Ketiga simbol itu merupakan proses bahwa untuk mencapai tujuan baik itu harus dimulai dengan perbuatan yang baik juga. Apa yang dilakukan Kamandaka dalam pendekatan yang pertama menunjukkan perilaku yang tidak terpuji sehingga ia disebut maling julig, yaitu perilaku pencuri yang mengambil hati Putri Bungsu tidak melalui jalan yang benar.
Kamandaka menjadi buron orang-orang Pasirluhur atas perintah Adipati Kanda Daha. Bertapa di Gunung Slamet menuju perilaku yang baik sehingga selamat dan bertemu dengan Putri Bungsu Pasirluhur. Selanjutnya, Kamandaka bertapa lagi (Sungai Mengaji) mendapat petunjuk bagaimana mendekati Putri Bungsu dengan anugrah pakaian dewa Lutung Kesarung. Berkat baju Lutung Kesarung itu, Kamandaka berhasil menyatu dengan Putri Bungsu Ciptarasa meskipun melalui jalan yang berliku-liku, termasuk di dalamnya membunuh raja Nusakambangan, Pulebahas.
Putri Bungsu Ciptarasa sebagai simbol kesuburan karena keturunannya yang bercampur dengan keturunan Pajajaran menjadi penerus kerajaan ayahnya, yakni Kanda Daha. Keturunan dari ke-24 putri yang lain tidak menjadi pewaris tahta Pasirluhur. Agaknya tradisi anak bungsu menjadi pewaris rumah atau tempat tinggal orang tua sudah dicontohkan dalam teks Babad Pasir. Pewaris orang tua tidak selalu anak sulung seperti tampak pada tradisi raja-raja Jawa selama ini. Anak sulung dan anak-anak yang lain sebagai kakak anak bungsu dianggap sudah mampu untuk berdiri sendiri dan anak bungsu itulah yang layak menjadi pewaris kedudukan orang tua.
2. Gadis Penyatu Pasirluhur dan Pajajaran.
Teks Babad Pasir menjelaskan kedudukan Ciptarasa dan Kamandaka setelah terbukanya tabir penyamaran Kamandaka di Pasirluhur dan hubungan mereka disetujui oleh Adipati Kanda Daha. Di sini telah ada pembenaran terhadap hubungan Ciptarasa dan Kamandaka yang bisa dikatakan back street, yaitu hubungan yang tidak benar. Hubungan yang benar sudah dilalui dengan dua kali pertapaan di Gunung Agung (Gunung Slamet) dan Sungai Mengaji, dan selanjutnya melalui jalan dewa Lutung Kesarung, hubungan dua insan itu diakui keberadaannya oleh Adipati Pasirluhur Kanda Daha.
Kanda Daha sebagai satu-satunya lelaki yang menduduki jabatan adipati pada masa itu telah mengakui keberadaan ke-24 laki-laki lain di Pasirluhur dan pengakuan terakhir diberikan kepada Kamandaka atau Banyak Catra sebagai lelaki yang ke-25. Angka 25 di samping mengisyaratkan adanya kesatuan konsentris di bawah kerajaan Pasirluhur, juga mengingatkan akan jumlah nabi dan rasul yang disebut dalam Al Quran. Jadi, angka 25 juga termasuk angka yang istimewa yang didukung oleh keberadaan sebagai menantu yang terakhir atau penutup. Yang terakhir dan penutup juga istimewa karena ia bukanlah sembarang menantu. Menantu terakhir adalah calon raja yang gagal dari kerajaan Pajajaran yang tidak setaraf dengan ke-24 menantu yang lain. Perkawinan Putri Bungsu Ciptarasa dengan Banyak Catra adalah perkawinan yang istimewa antara putri terakhir Kamandaka dengan putra sulung Prabu Siliwangi, bukan keturunan para pembesar lokal seperti para menantunya yang lain.
Keistimewaan perkawinan Putri Bungsu-Banyak Catra adalah penyatuan antara kedua kerajaan di Pulau Jawa yang mewakili dua kekuatan, yaitu kerajaan Pajajaran (Sunda) dengan kerajaan Pasirluhur (kekuatan tengah Jawa). Kekuatan timur berada pada Kerajaan Majapahit. Hubungan Majapahit dengan Pajajaran akan dibicarakan pada kasus yang dimuat pada teks-teks Babad Banyumas.
Legenda Jawa menyatakan bahwa munculnya tiga kerajaan di Jawa, yaitu Majapahit, Pajajaran, dan Pasirluhur, dimulai dari kisah perselisihan tiga orang putra Raja Pamekas Harjakusuma dari kerajaan Galuh, yaitu Arya Bangah (sulung), Jaka Sesuruh, dan Siyung Wanara (bungsu). Perselisihan dua kubu, yakni Arya Bangah-Jaka Sesuruh melawan Siyung Wanara. Akibat perselisihan itu ada kesepakatan atas batas yang dijadikan penengah antara kedua kubu, yakni Sungai Cipamali. Akhirnya, Jaka Sesuruh menjadi pendiri Majapahit, Siyung Wanara menjadi raja Pajajaran, dan Arya Bangah menjadi raja Galuh yang kemudian diubah menjadi Pasirluhur. Pasirluhur adalah anak tertua dalam genealogi keturunan raja Pamekas Harjakusuma.
Teks Babad Pasir menjelaskan bahwa Putri Bungsu Ciptarasa adalah keturunan Arya Bangah, sedangkan Banyak Catra adalah keturunan Siyung Wanara. Pada masyarakat Jawa, termasuk di dalamnya Pasirluhur, tidak mengenal pantangan sebagaimana ditemukan pada masyarakat Sunda yang menyatakan bahwa lelaki Sunda tidak boleh kawin dengan perempuan Jawa (wanita kaluaran), baik yang berasal dari Majapahit maupun Pasirluhur. Alasan pantangan itu adalah karena posisi perempuan Jawa lebih tua dibandingkan dengan posisi lelaki Sunda. Tampaknya, Banyak Catra telah melanggar pantangan nenek moyang sehingga ia harus merelakan diri untuk melepaskan kedudukannya sebagai putra mahkota yang gagal. Dalam Carita Parahiyangan, Tohaan di Galuh Rahiyang Dewaniskala atau Rahiyang Ningratkancana harus turun dari tahta karena melanggar pantangan seperti yang dilakukan Banyak Catra, bahkan tidak hanya itu saja, raja Galuh itu tertuduh melakukan dua kesalahan besar, yakni mengawini gadis tukon (gadis yang sudah ditunangkan dengan laki-laki lain) dan gadis kaluaran (gadis dari Jawa keturunan Majapahit) (Atja & Saleh Danasasmita, 1981: 47).
Namun demikian, pantangan seperti itu tidak pernah dipandang jelek oleh masyarakat Jawa sehingga Kanda Daha tidak menolak kehadiran Banyak Catra sebagai menantunya, bahkan terkesan perkawinan itu sebagai suatu kehormatan yang menyatukan dua trah yang selama ini terlibat konflik. Bagi masyarakat Jawa, pantangan Sunda itu tidak berlaku sebagai suatu tindakan aib. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Jawa bersikap lebih terbuka daripada masyarakat Sunda. Hubungan masyarakat Jawa dan Sunda tidak saling memberi dan menerima. Jawa cenderung selalu menerima, baik laki-laki maupun perempuan. Sunda adalah pihak pemberi perempuan kepada lelaki Jawa, sebaliknya ia menolak menerima perempuan Jawa.
Perkawinan Ciptarasa-Banyak Catra sekalipun dipandang tidak baik menurut kacamata Sunda, tetapi hubungan itu meminimalisasikan konflik yang sudah terjadi di antara nenek moyang mereka. Di samping kedudukan perempuan Jawa lebih tua, orang Sunda juga memandang bahwa keturunan Majapahit, khususnya perempuan ditolak dalam hubungan perkawinan karena raja Sunda terbunuh di Bubat. Peristiwa Bubat adalah peristiwa tragis yang terjadi yang disebabkan oleh masalah perempuan.
Perempuan di satu sisi berada pada posisi terhormat manakala ia dipinang dengan
resmi oleh pihak laki-laki, tetapi di sisi lain, perempuan berkedudukan tidak terhormat ketika ia hanya dijadikan persembahan kepada raja sebagai simbol penaklukan.
Perkawinan putri Sunda dengan Hayam Wuruk adalah hubungan yang terhormat dan bukan hubungan persembahan. Jadi, nilai perempuan sederajat dengan nilai laki-laki. Kasus Bubat adalah kasus penjukirbalikan dari posisi terhormat yang berubah menjadi posisi terhina sehingga raja Sunda berusaha untuk mempertahankan kehormatannya hingga tetes darah penghabisan.
Rupanya kasus Bubat menjadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat Sunda.
Mereka memandang bahwa perempuan dijadikan komoditas kekuasaan untuk menjatuhkan posisi raja Sunda sehingga wajar apabila mereka memantangkan keturunannya itu kawin dengan perempuan Majapahit khususnya atau perempuan Jawa umumnya. Kasus Bubat adalah kasus kelicikan pihak Majapahit yang menggunakan makhluk perempuan sebagai alat untuk melakukan penaklukan dan sekaligus penghinaan sehingga mereka menghindari jebakan melalui penerimaan perempuan dari pihak luar, sedang pemberian perempuan tetap dilakukan sepanjang masih ada perilaku untuk mengakui kehormatan terhadap pihak pemberi perempuan.
Pihak pemberi perempuan bukan berkedudukan sebagai hamba yang harus menyerahkan anak perempuannya sebagai persembahan atau upeti kepada tuannya. Justru dalam tradisi saling memberi dan saling menerima pada masyarakat kuna, kedudukan pihak pemberi perempuan berada lebih tinggi daripada pihak penerima perempuan. Oleh karena itu, pihak penerima perempuan berkewajiban untuk membalasnya (bdk. Mauss 1992: 10), tetapi kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Sunda tidak menerima pemberian perempuan Jawa sehingga posisi masyarakat Sunda lebih tinggi kedudukannya daripada masyarakat Jawa di satu sisi dan di sisi lain menolak suatu pemberian dianggap oleh masyarakat sebagai suatu penghinaan. Oleh karena itu, rumus yang menyatakan bahwa jika ada pihak pemberi telah memberikan sesuatu, maka pihak yang lain wajib menerima dan selanjutnya wajib pula membalasnya.
Kewajiban membalas memang ditunaikan dengan pemberian perempuan oleh masyarakat Sunda kepada masyarakat Jawa, tetapi mereka tidak memenuhi kewajiban menerima perempuan Jawa itu secara umum. Meskipun fenomena itu terjadi secara umum, secara individual, laki-laki Sunda juga bisa menerima perempuan Jawa dengan pengorbanan kedudukannya dalam masyarakat atau ia harus keluar dari masyarakatnya. Hal itu telah dipilih oleh Banyak Catra yang harus mengorbankan kedudukannya sebagai putra mahkota dan keluar dari wilayah Pajajaran karena ia berusaha untuk memenuhi kewajiban menerima dari pihak pemberi perempuan agar ia tidak dianggap melakukan penghinaan kepada pihak pemberi. Banyak Catra berkorban kedudukannya sebagai putra mahkota di Pajajaran demi memperoleh gadis idaman beserta kewajibannya itu. Tahta Pajajaran yang telah dikorbankan itu ternyata diganti dengan kedudukan yang sama di Pasirluhur. Kewajiban menerima pemberian itu lebih baik meskipun masyarakatnya tidak menyukainya. Di satu sisi ia kehilangan kesempatan, di sisi lain memperoleh anugrah yang tidak berbeda dengan yang hilang tadi. Jadi, Adipati Kanda Daha adalah pihak pemberi perempuan kepada Banyak Catra secara individual.
3. Gadis Sasaran Oedipus.
Banyak Catra adalah putra mahkota Pajajaran yang disarankan oleh ayahnya agar menikah dengan memilih gadis yang disukai. Namun demikian, ia lebih memilih gadis yang mirip, baik secara fisik maupun hatinya dengan ibu kandungnya. Atau dalam versi yang lain, gadis yang mirip dengan Dewi Kumudaningsih, ibu tiri Banyak Catra yang berasal dari Banten. Pilihan Banyak Catra itu menimbulkan kesalahpahaman antara ayah dengan anak sehingga Banyak Catra disuruh keluar dari ibu kota. Kepergian Banyak Catra dari Pajajaran bermaksud mencari gadis idaman, tetapi gadis yang dicarinya itu tidak ditemukan di wilayah Pajajaran. Atas petunjuk Ki Ajar Wirangrong yang tinggal di Tangkuban Perahu, Banyak Catra memperoleh informasi bahwa gadis idaman yang dicarinya itu ada di suatu negeri di sebelah timur bagian tengah, di sebelah selatan Gunung Agung, yakni Pasirluhur.
Lalu, Ki Ajar menyarankan agar Banyak Catra memakai nama samaran, yaitu Raden Kamandaka. Di negeri Pasirluhur, Banyak Catra atau Kamandaka menemukan gadis idaman yang bernama Putri Bungsu Ciptarasa. Anak gadis Adipati Kanda Daha itu benar-benar mirip dengan ibu kandungnya sehingga Kamandaka jatuh cinta kepada putri Pasirluhur itu. Ternyata cinta itu tidak bertepuk sebelah tangan karena putri Pasirluhur itu juga merasakan hal yang sama.
Gadis pilihan Banyak Catra yang mirip dengan ibunya merupakan keinginan erotis
seorang anak laki-laki kepada ibunya. Fenomena tersebut telah dicontohkan dalam
mitologi Yunani yang oleh para ahli psikologi disebut Oedipus Complex. Keinginan
erotis Kamandaka dalam teks Babad Pasir juga ditemukan pada teks-teks Sunda, misalnya Guru Minda dan Sangkuriang, atau Watu Gunung dalam legenda Jawa (Priyadi 2002: 35-36) sehingga dapat dikatakan bahwa fenomena Oedipus Complex merupakan suatu hal yang umum terjadi secara universal pada pelbagai masyarakat di dunia ini. Keinginan erotis semacam itu mengakibatkan timbulnya perselisihan dan persaingan antara anak dan ayah untuk memperebutkan kasih sayang dari ibu atau istrinya (Young 2003: 4; bdk. Bertens 1991: xxix). Keinginan erotis Banyak Catra merupakan petunjuk bahwa ibunya adalah orang yang paling dekat di hatinya sehingga
sang ibu menjadi idola bagi sang anak. Maka dari itu, Banyak Catra diusir dari ibu
kota Pajajaran dan harus mencari sendiri gadis idolanya itu. Pengusiran sementara
sang ayah agaknya juga sebagai pengusiran untuk selamanya agar persaingan itu tidak
terjadi secara terus-menerus. Kasus Oedipus menggambarkan bahwa sang ayah terbunuh oleh sang anak meskipun tanpa sepengetahuannya. Pada kasus Banyak Catra, sang putra mahkota tidak membunuh ayahnya, baik secara realistis maupun simbolis.
Namun, justru secara simbolis, Banyak Catra-lah yang terbunuh karirnya karena ia
dianggap mempunyai bekas luka atau aib akibat persaingan itu melalui adik kandungnya
yang bernama Gagak Ngampar atau Banyak Ngampar.
Tergesernya Banyak Catra oleh Banyak Belabur dari tahta kerajaan Pajajaran
mengisyaratkan bahwa Banyak Catra itu terbawa arus air bah dan tenggelam olehnya.
Akhirnya, Banyak Catra tidak menjadi pengganti ayahnya, melainkan Banyak Belabur
yang keluar sebagai pemenang dalam rangka persaingan itu. Banyak Catra yang menjadi korban banjir bandang terbawa arus oleh gadis idamannya sehingga ia harus merelakan dirinya hidup di luar komunitasnya dan menjadi anggota komunitas yang baru, yaitu Pasirluhur. Pasirluhur adalah penyelamat muka Banyak Catra yang telah menobatkan dirinya menjadi pengganti mertuanya. Trah Pasirluhur kedudukannya lebih tua daripada trah Pajajaran. Kedudukan tua itu juga dipertahankan karena Banyak Catra kawin dengan pihak yang lebih tua, di samping ia secara genealogis lebih tua daripada Banyak Belabur yang lahir dari istri muda ayahnya. Ciptarasa yang diperistri oleh Banyak Catra berkedudukan sebagai pengganti ibunya yang menjadi sasaran erotis karena hubungan seksual sedarah ditabukan (Freud, 2002:3). Objek pertama adalah ibunya yang menunjukkan hubungan antargenerasi dan objek yang kedua adalah Ciptarasa yang merelasikan antartrah.
SIMPULAN
Profil Putri Bungsu menurut teks Babad Pasir tampak pada tokoh Dewi Ciptarasa. Ciptarasa adalah tokoh yang paling menonjol dari kedua puluh lima putri Adipati Kanda Daha. Penokohan terhadap Ciptarasa cenderung dilukiskan sebagai gadis yang agresif sesuai dengan namanya yang menghadirkan cipta dan rasa pada diri Kamandaka sehingga ia berani masuk ke taman sari Pasirluhur. Keberanian Kamandaka itu dilandasi Ciptarasa yang menyebabkan ia disebut maling julig. Disamping itu, Ciptarasa juga melambangkan gadis yang melambangkan kesuburan seperti tampak pada nama sungai dan kerajaan ayahnya, yaitu Sungai Logawa dan Kerajaan Pasirluhur. Simbol Putri Bungsu Ciptarasa berujung pada penyatuan trah Pajajaran dan Pasirluhur. Ciptarasa berada pada pihak perempuan karena pada hakikatnya, Pasirluhur dan Logawa itu menyimbolkan perempuan atau kesuburan.
Selain itu, Ciptarasa berkedudukan sebagai putri bungsu yang menjadi sasaran atau
objek Oedipus Complex bagi Kamandaka.
*****
DAFTAR PUSTAKA
Atja & Saleh Danasasmita. 1981. Carita Parahiyangan (Transkripsi, Terjemahan, dan Catatan). Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Bertens, Kees. 1991. Memperkenalkan Psikoanalisa: Lima Ceramah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Ekadjati, Edi Suhardi dan Undang A. Darsa. 1999. Katalog Induk Naskah-naskah
Nusanatara Jilid 5A, Jawa Barat, Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-EFEO.
Freud, Sigmund. 2002. Totem dan Tabu. Yogyakarta: Jendela.
Kartodirdjo, Sartono. 1986. “Suatu Tinjauan Fenomenologis tentang Folklore Jawa,”
dalam Soedarsono (ed). Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa.
Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Knebel, J. 1900. “Babad Pasir, Volgenseen Banjoemaasch Handscrift, met Vertalingen,” Verhandelingen van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, deel LI: 1-155.
Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat
Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Priyadi, Sugeng. 2002. Banyumas: Antara Jawa dan Sunda. Semarang: Penerbit Mimbar-The Ford Foundation-Yayasan Adikarya Ikapi.
___. 2004. “Babad Pasir: Pasirluhur dan Dayeuhluhur.” Tajdid. No. 14. Tahun XI.
Ciamis: Lembaga Penelitian dan Pengembangan (LPP), Institut Agama Islam Darussalam (IAID).
Sulastin-Sutrisno, 1994. “Teori Filologi dan Penerapannya.” dalam Siti Baroroh
Baried, dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPPF Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya-Girirmukti Pasaka.
Young, Robert M. Oedipus Complex. Jogjakarta: Pohon Sukma.
Zaehner, Robert C. 1992. Kebijaksanaan dari Timur: Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar