Abstract: The results of the present research indicate that the characteristics
of Banyumas people are as follows :
(1) they have high motivation for honor,
(2) they have affirmative culture,
(3) they have critical culture, and
(4) they are socioegalitarian.
Besides, there are attitudes of Banyumas people revealed by the research findings; they are as follows: rebelious, showing much conflict in the northern area of Serayu River, hard-working, cablaka (showing honesty or being frank in a direct manner), and vulgar in talling about sexual relationship.
Key words: affirmative culture, critical culture, egalitarian, frank, charateristics of Banyumas people.
Karakter orang Banyumas merupakan bidang kajian sejarah mentalitas yang secara luas menjadi bagian sejarah intelektual. Sejarah intelektual berkaitan dengan fakta mental yang menyangkut semua fakta yang terjadi pada jiwa, pikiran, atau kesadaran manusia. Fakta tersebut bersumber pada ekspresi yang terjadi dalam mental orang (Kartodirdjo, 1992: 176-177). Mentalitas sebagai suatu kompleksitas sifat-sifat sekelompok manusia menonjolkan karakter tertentu yang diwujudkan pada sikap atau gaya hidup tertentu (Kartodirdjo, 1992: 179). Pemahaman terhadap karakter masyarakat atau tokoh tertentu harus dilihat dari konteks budaya yang melatarbelakanginya (Kartodirdjo, 1992:178) karena karakter pada hakikatnya adalah identitas dari suatu masyarakat yang lazim berkaitan dengan kepribadian, misalnya bujuk Mataram, umuk Sala, gertak Semarang (Kartodirdjo, 1993: 82-83), dan cablaka Banyumas atau blakasuta Banyumas (Priyadi, 2002a: 258).
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap karakteristik orang-orang Banyumas yang terdapat pada teks-teks babad yang berasal dari Banyumas atau dari luar. Di samping itu, pepatah-pepatah atau tradisi yang tampak pada masyarakat Banyumas juga dijadikan sumber.
METODE PENELITIAN
Penelitian karakter masyarakat Banyumas merupakan penelitian sejarah budaya, khususnya sejarah intelektual di tingkat lokal. Model yang dikembangkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi.
Tahapan yang ditempuh dalam penelitian meliputi:
(1) heuristik,
(2) kritik,
(3) interpretasi, dan
(4) historiografi (Notosusanto, 1978:36-43; Kuntowijoyo, 1995: 89-105).
Heuristik sebagai tahap pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan secara intensif terhadap naskah-naskah Banyumas atau naskah-naskah yang menyebut Banyumas. Di samping itu, dilakukan wawancara dengan para informan kunci yang memahami berbagai
ungkapan tradisional. Pada tahap kritik dilakukan kritik ekstern dan intern sehingga akan didapatkan fakta sejarah (mentifact). Kritik ekstern mempertanyakan apakah sumber yang telah diperoleh itu otentik (otentisitas), sedangkan kritik intern bertujuan untuk memperoleh kebisaan sumber itu dipercaya (kredibilitas). Pada tahap interpretasi ditempuh dengan analisa dan sintesa. Analisa dilakukan dengan cara menguraikan atau mendeskripsikan secara detail fakta sejarah (mentifact), sedangkan sintesa berusaha untuk menyatukan atau menyimpulkan hasil analisa. Dengan demikian, hasil-hasil interpretasi terhadap fakta sejarah (mentifact) menjadi bahan penulisan sejarah. Pada tahap historiografi dilakukan penulisan sejarah dengan memperhatikan prinsip kronologis, periodesasi, dan kausalitas.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini telah mengungkap bahwa karakter umum masyarakat Banyumas tampak pada perilaku sehari-hari dalam berinteraksi sosial, karakter-karakter tokoh-tokoh lokal (baik legendaris maupun historis), tabu, dan pepatah-pepatah. Karakter-karakter tokoh, misalnya Kamandaka dalam teks Babad Pasir telah dipublikasikan (Priyadi, 2002b), sedangkan tokoh lain sedang dipersiapkan publikasinya. Dengan demikian, hasil penelitian ini telah dibagi menjadi beberapa publikasi yang disesuaikan dengan misi suatu penerbitan jurnal. Sementara itu, penelitian yang merambah karakter yang bersifat khusus pada masyarakat berdasarkan wilayah geografisnya belum ditempuh secara mendalam pada penelitian ini.
Selanjutnya, tulisan ini memfokuskan pada karakter umum masyarakat Banyumas yang meliputi:
(1) mencari kejayaan dan keemasan,
(2) suka memberontak,
(3) sering konflik,
(4) suka bekerja keras.
Di samping itu, orang Banyumas memiliki karakteristik sebagai:
(a) masyarakat egaliter,
(b) orang-orang bebas,
(c) orang-orang vulgar, dan
(d) budaya afirmatif dan budaya kritis.
PEMBAHASAN
Mencari Kejayaan dan Keemasan.
Prasasti Canggal yang diterbitkan pada tahun 732 Masehi mengatakan bahwa Pulau Jawa selain dikenal sebagai pulai jelai, juga kaya akan tambang emas (bdk. Poerbatjaraka, 1992: 54-55). Apakah Banyumas yang dikenal sekarang ini, dahulunya juga sama dengan kasus Pulau Jawa tadi.
" Apakah di kota Banyumas atau di jalur sungainya juga terdapat tambang emas? "
Ataukah nama yang mengandung unsur emas itu hanyalah sebuah kata yang bermakna sebagai lambang belaka. Secara legendaris, nama Banyumas berarti air yang bernilai seperti emas. Namun, ada juga yang menggambarkan bahwa air sungai yang kekuningan seperti emas. Cerita-cerita orang tua sering mengatakan adanya benda-benda emas di beberapa tempat di Sungai Banyumas.
(1)
Seperti yang sudah sering diduga bahwa nama Banyumas merupakan kata yang dalam teori Antropologi sebagai binary opposition (Koentjaraningrat, 1982: 229)dari kata Banyureka atau Toyareka. Kata yang terakhir itu dalam legenda Banyumasan memiliki makna yang negatif karena leluhur Banyumas menjadi korban fitnah orang-orang Toyareka (Priyadi, 2001a) sehingga Adipati Warga Utama II (pengganti mertuanya) memindahkan ibu kota ke tempat yang baru. Anak atau menantu adalah substitusi orang tuanya (Bertens, 1991: xxxiv). Apalagi, Jaka Kaiman atau Bagus Mangun memakai nama nunggak semi mertuanya. Hal itu menjelaskan bahwa Warga Utama I yang telah meninggal dunia itu pada hakikatnya eksistensinya tetap. Kematian Warga Utama I memang bisa diartikan sebagai peristiwa mahapralaya atau kehancuran kosmos. Agar kosmos itu bisa diwujudkan kembali (Kuntowijoyo, 1987:70), maka Warga Utama II dikukuhkan eksistensinya melalui kekuasaan Sultan Pajang.
(2)
Perpindahan dari Wirasaba ke Banyumas pada mulanya sebagai supaya agar konflik antarkeluarga tidak terjadi lagi. Atau dengan kata lain, leluhur Banyumas tidak senang konflik sehingga ia lebih memilih mencari ketentraman dan rasa aman di Banyumas. Perpindahan itu dilakukan dengan melayari Sungai Serayu dengan semboyan menemukan daerah baru. Tampaknya, unsur emas (gold) menjadi motivasi seperti orangorang Eropa ketika melakukan pelayaran dunia. Emas adalah lambang kejayaan setelah berlalunya badai yang melanda Wirasaba (Priyadi, 2001b:52). Banyumas adalah daerah tujuan baru untuk mencapai zaman kejayaan atau zaman keemasan kembali trah Wirasaba. Hal itu bisa dijelaskan bahwa perputaran kosmos sama halnya dengan siklus caturyuga. Jatuhnya Wirasaba yang disebabkan oleh Toyareka adalah zaman kehancuran atau Kaliyuga (Kartodirdjo, 1982: 179 & 1990: 159-160; bdk. Priyadi, 2001c: 388) dan Warga Utama II adalah pembangun kembali Wirasaba yang telah hancur itu sehingga akan muncul zaman Kertayuga. Kertayuga adalah zaman yang serba makmur dan adil. Di situ, tidak ada kejahatan sama sekali. Kehidupan rakyat tata, titi, tentrem, tur kerta raharja. Prinsip kehidupan zaman Kertayuga inilah yang dituju oleh pendiri Banyumas. Dengan demikian, Toyareka adalah simbol zaman kehancuran, sedangkan Banyumas merupakan simbol zaman kejayaan atau zaman keemasan (Kartodirdjo, 1982: 201). Di sini, kiranya juga ada prinsip hijrah yang diyakini oleh manusia Banyumas sebagai pembuka pintu kejayaan yang akan ditemukan di tempat lain.
Orang Banyumas Suka Memberontak.
Sejarah Banyumas mengindikasikan bahwa dari Banyumas selalu lahir para pemberontak. Jadi, orang Banyumas pada hakikatnya suka memberontak atau dengan kata lain memiliki kekritisan kepada pihak penguasa. Banyak Thole dalam Babad Pasir yang oleh H.J. de Graaf dianggap sebagai suatu perlawanan terhadap raja Demak, bahkan Adipati Wirasaba Warga Utama I yang menyerahkan putrinya (mantan menantu Demang Toyareka) juga diduga sebagai perilaku jongkeng kawibawan raja Pajang. Perintah pengepungan ibu kota Pasirluhur dan hukuman mati kepada Warga Utama I ditafsirkan oleh sejarawan sebagai usaha pemadaman terhadap para pemberontak. Keberanian orang-orang Toyareka memfitnah dan melaporkan Warga Utama I kepada raja Pajang bisa dinilai juga sebagai pemberontak, baik kepada raja maupun adipati Wirasaba. Penyerahan bulu bekti dan putri merupakan simbol kepatuhan dan takluk kepada raja. Jangankan mantan menantu, anak, atau istri pun harus diserahkan manakala raja memang menghendakinya. Di sini, Demang Toyareka berani melawan raja. Di sisi lain, Demang Toyareka juga berani mengoposisi pantangan Adipati Warga Utama I. Jika sang adipati melarang keturunannya kawin dengan keturunan Demang Toyareka, maka sang demang juga melakukan hal serupa bagi keturunannya.
(3)
Babad Tanah Jawi mencatat paling tidak ada empat orang pemberontak dari Banyumas, yaitu Saradenta-Saradenti, Raja Namrud, dan Ki Bocor (Olthof, 1941). Serat Babad Kaliwungu atau Syair Perang Kaliwungu mengunggulkan Secayuda atau Raja Darap Maolana Mahribi atau Abdul Kadir (Rochkyatmo, 1991: 52-61: bdk. Kuntowijoyo, 1993: 128), sedangkan Babad Kebumen atau Babad Arumbinangan menggambarkan dua orang bersaudara yang menjadi pemberontak dari Gunung Slamet yang bernama Damarmaya dan Mayadarma (Soemodidjojo, 1953:28). Di Jawa Barat, ada seorang tokoh yang bernama Dipati Ukur yang oleh orang Sunda dianggap sebagai pahlawannya yang memberontak kepada raja Mataram. Namun, anehnya lagi, Dipati Ukur menurut naskah Sunda juga dikatakan sebagai keturunan orang-orang Banyumas dari kerajaan Jambu Karang (Ekadjati, 1982: 348-355). Lebih aneh lagi, Kyai Wirakusuma, putra Ki Ageng Gumelem, yang berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur juga balik melawan Mataram. Kyai Wirakusuma merasa tidak puas karena jasanya itu tidak dihargai secara layak. Keberanian Wirakusuma itu harus ditebus dengan hukuman mati.
Uraian di atas kiranya menjadi jelas bahwa orang-orang Banyumas, baik yang tinggal di daerahnya sendiri maupun yang berada di luar mempunyai sifat dan perilaku melawan atau memberontak terhadap penguasa Sugeng Priyadi, Beberapa Karakter Orang Banyumas 19 pada zamannya. Agaknya sifat dan perilaku itu menjadi prototipe karakter
manusia Banyumas. Hal itu didukung oleh suatu realitas yang wajar, yaitu longgarnya keterikatan manusia Banyumas sebagai klien dari patron yang tidak membumi.
(4)
Manusia Banyumas menjadi pemberontak karena mereka hidup di luar lingkaran patron, baik Jawa maupun Sunda. Maka dari itu, budaya manusia Banyumas adalah budaya marginal atau budaya tanggung. Artinya, kejawaan atau kesundaannya tidak mendalam. Bahasa Jawa dan Sunda sebagai salah satu unsur budaya telah mengalami pergeseran.
Kedua bahasa itu mengenal tingkatan atau strata. Di lain pihak, bahasa dialek Banyumasan masih bertahan dalam kekunaannya. Orang Banyumas yang merasa keturunan raja Majapahit mempertahankan bahasa Jawa Pertengahan dari hegemoni bahasa dari dinasti Mataram Islam. Hal itu terbukti pada masyarakat Banyumas di pedesaan yang belum terkonta-minasi bahasa baku. Bahasa Jawa Pertengahan berkembang dari masa akhir Majapahit tidak mengenal strata bahasa sehingga bahasa tersebut lebih egaliterian daripada bahasa Jawa baku. Bahasa Jawa Pertengahan merupakan nenek-moyang bahasa dialek Banyumasan yang dikenal sekarang.
Manusia marginal biasanya hidup di dalam kebebasan budaya. Ekspresib udaya marginal sifatnya lebih khas, lebih bebas, apa adanya, kasar, dan terkesan urakan. Dilihat dari sisi keraton, budaya marginal adalah budaya yang kasar sehingga apabila diadopsi oleh keraton, maka budaya itu harus ada penghalusan dan pengemasan agar terkesan adiluhung dan lebih bergengsi. Budaya marginal adalah fitrah bagi masyarakat Banyumas yang selalu kritis dan mampu serta mau memberikan penilaian lain terhadap penguasa, baik di tingkat pusat maupun lokal.
Orang Banyumas Sering Konflik.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam masyarakat Banyumas ditemukan banyaknya konflik antarkelompok atau antarkeluarga yang wilayahnya bisa antardesa di dalam satu kecamatan, antardesa yang berasal dari dua kecamatan yang berbeda, antardesa yang berada di dua kabupaten. Wilayah konflik itu kemungkinan dahulu tidak dipisahkan secara administratif politik seperti sekarang. Realitas tersebut amat mencolok, terutama pada masyarakat Banyumas yang tinggal di sebelah utara atau barat Sungai Serayu. Sebab-sebab munculnya konflik bermacam-macam, entah masalah perkawinan, entah adu kesaktian, entah tuduhan kepada pihak lain melakukan kecurangan, entah kasus pembunuhan, entah fitnah, entah curiga, entah persaingan keluarga, atau tenung, dll.
(5)
Kasus-kasus lama tersebut seringkali masih berlaku bagi masyarakat masa kini meskipun mereka tidak memahami peristiwa yang menjadi sebab. Mereka meneruskan larangan itu sebagai suatu tradisi dalam sistem kepercayaannya. Jika sesuatu sudah masuk ke wilayah kepercayaan, maka tradisi tersebut sukar berubah. Perubahan bisa terjadi biasanya memakan waktu yang lama. Hal itu juga didukung oleh persaingan atau perbedaan kepentingan yang terjadi di tingkat elite pedesaan. Konflik antarelite di
pedesaan sangat berpengaruh di tingkat masyarakat kebanyakan. Apalagi di mata masyarakat umum ucapan para elite itu dianggap sebagai hukum atau bertuah, misalnya kalimat-kalimat persumpahan sangat ditakuti (Priyadi, 2001d:91). Kata-kata seorang pemimpin yang berupa sumpah atau supata pada masa tradisional bisa terwujud. Ungkapan sabda pandhita ratu tan kena wola-wali menunjukkan bahwa ucapan seorang pemimpin itu sangat berwibawa sehingga seorang pemimpin diharapkan tidak berbicara seenaknya (Moedjanto, 1987: 145-149). Pada zaman Hindu, prasasti yang berisi penetapan sima (daerah bebas pajak) selalu diikuti dengan persumpahan agar status daerah itu tidak berubah meskipun peta politik sudah berubah atau raja yang berkuasa berasal dari dinasti lain. Persumpahan pada waktu itu dianggap sebagai salah satu cara penyelesaian suatu masalah, termasuk larangan tadi. Konflik sosial adakalanya diredam dengan penyatuan kedua desa menjadi satu desa, tetapi konflik tersebut muncul kembali pada masa kini, misalnya kasus desa Kalitinggar, Kecamatan Padamara, Purbalingga.
(6)
Konflik antardesa agaknya menjadi trend pada awal tahun 2000 yang lalu di Karesidenan Banyumas. Anehnya, peristiwa itu sebagian besar terjadi di seberang utara dan barat Sungai Serayu. Kasus-kasus lama dan kasus-kasus baru ternyata sama. Apakah budaya kekerasan di Banyumas, termasuk para pemberontak seperti yang ditulis di muka tumbuh subur di seberang utara dan barat Sungai Serayu ? Fakta sejarah mengindikasikan bahwa Sungai Serayu menjadi pembatas antara daerah konflik dengan
daerah yang aman. Pengungsi-pengungsi perang lebih banyak ditemukan di sebelah selatan Serayu. Daerah sebelah utara dan barat tampaknya menjadi daerah yang terisolasi oleh kondisi geografisnya, antara Gunung Slamet dengan Sungai Serayu. Daerah yang lebih terisolasi adalah daerah yang dibatasi oleh Sungai Pelus, Serayu, dan Klawing. Atau yang lebih detail lagi adalah Purbalingga. Batas-batas alam seperti sungai mempengaruhi watak penduduknya sehingga keanekaragaman antar-penduduk lokal begitu besar. Interaksi antara manusia dengan alam menghasilkan budaya yang keras.
(7)
Daerah Purbalingga adalah daerah yang dipisah-pisahkan oleh aliran sungai. Sungai-sungai besar yang mengalir melalui Purbalingga meliputi Serayu, Klawing, Gemuruh, Laban, Karang, Soso, Tambra, Gringsing, Pekacangan, Gintung, Bodhas, dan Ponggawa. Kondisi alam itu menyebabkan masyarakatnya cenderung plural bila dibandingkan dengan penduduk di kabupaten lainnya di Karesidenan Banyumas (Sudarso, 2002:20-37).
(8)
Gejala tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman yang terisolasi alam dan ditambah dengan sikap saling mengolok-olok (poyokan) itu menjadi dasar konflik masyarakat Banyumas di seberang utara atau barat Serayu.
Orang Banyumas Suka Bekerja Keras.
Ada anggapan bahwa generasi tua merasa lebih berpengalaman bila dibandingkan dengan generasi muda. Seringkali, orang-orang tua memberi contoh pengalaman hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan keprihatinan sehingga kehidupan mereka jauh lebih baik dan berarti di masa kini. Mereka meluncurkan suatu ungkapan yang umum kita dengar, yakni sikil nggo endhas, endhas nggo sikil. Ungkapan tersebut merupakan simbol
kerja keras manusia Banyumas dalam segala tantangan kehidupan. Disitu, ada dua anggota tubuh manusia yang dipakai sebagai simbol, yaitu kaki dan kepala.
(9)
Agaknya, kepala ditempatkan pada posisi tertinggi sebagai simbol keintelektualan atau kekuasaan dan kehormatan. Seorang kawula yang menghadap raja, maka ada suatu etika yang harus ditaati, yakni tidak boleh melihat wajah sang penguasa. Jika kawula tadi berani mendongakkan kepala, maka ia diartikan sebagai tindakan berani atau mbalela, sedangkan menundukkan kepala merupakan tanda takluk. Anak muda yang berani
menatap mata orang tua ketika sedang berbicara juga dinilai sebagai orang yang tidak tahu sopan-santun (periksa Raka, 1963: 75-80).
(10)
Apa yang dilakukan kepala (melihat, mendengar, berpikir, makan atau minum) amat dihormati. Kerja kepala khususnya berpikir adalah yang mengawali atau mendasari tindakan yang lain. Oleh karena itu, pimpinan sering disebut kepala. Kepala harus memikirkan berbagai masalah, sedangkan ketua tidak. Ketua biasanya dipilih dari orang tua yang dituakan sehingga tidak dipertimbangkan unsur keintelektualan atau kemampuannya. Lain halnya dengan kaki yang identik dengan orang kebanyakan meskipun kaki juga dipakai sebagai lambang kehormatan dan lambang kekuasaan (Slametmuljana, 1980: 15-16 & Sumadio, 1984: 37-42).
(11)
Ungkapan sikil nggo endhas, endhas nggo sikil menyatakan secara harafiah bahwa kaki difungsikan untuk kepala atau kepala untuk kaki. Ungkapan tersebut mencerminkan bahwa ada fungsi yang berbeda disetarakan. Sikil nggo endhas berarti menempatkan kaki sebagai kepala. Padahal kaki tidak mungkin bisa berpikir seperti kepala. Kaki berjalan karena ada perintah dari kepala. Sekarang, kaki mencoba memerintahkan kepala
untuk berjalan, endhas nggo sikil. Kepala juga tidak mungkin berjalan seperti kaki. Keduanya mempunyai fungsi yang berbeda dan tidak mungkin fungsi yang satu digantikan fungsi yang lain. Sebenarnya, antara kepala dengan kaki dipakai sebagai simbol kehormatan dan kekuasaan. Secara simbolik, kepala dan kaki mencerminkan binary opposition antara elite dengan orang kebanyakan, antara kerja otak dengan kerja kasar, dan seterusnya. Dilihat dari kualitasnya, kerja otak memang dihargai lebih mahal daripada kerja kasar. Namun, ketika kerja otak dipadukan dengan kerja kasar, maka hasilnya akan lebih maksimal.
Ungkapan Banyumasan itu menjelaskan bahwa orang Banyumas sebaiknya bisa bekerja keras dengan otak dan tenaganya. Orang Banyumas juga tidak perlu malu melakukan kerja kasar asal halal dan tidak melanggar norma dan hukum. Kerja keras secara maksimal akan menjadi kunci keberhasilan bagi siapapun, termasuk orang Banyumas. Etos kerja keras manusia Banyumas muncul karena tantangam alam antara Gunung Slamet
dengan Sungai Serayu. Jika manusia Banyumas bisa menaklukan keduanya dengan Godo Rujakpolo (alat dan otak), maka ia selalu dapat menciptakan sejarah baru di masa depan.
Masyarakat Egaliter.
Bagi orang Banyumas, seseorang jauh lebih dihargai dalam pergaulan sehari-hari apabila ia menegur lawan bicara dengan menyebut namanya.
(12)
Orang Banyumas kadang-kadang tidak memperhatikan sebutan yang erat dengan status sosial. Asalkan ia mengenal dengan baik nama orang itu, maka ia berperilaku penuh dengan keakraban. Hal itu tampak dalam kehidupan sehari-hari. Orang menyebut dengan inyong untuk dirinya sendiri dan ko, kono, dan kowe, atau rika untuk orang lain. Kampanye bahasa Jawa baku memang diintensifkan oleh raja-raja Jawa Tengah selatan terhadap kalangan elite tradisional. Sebagai contohnya, dalam otobiografi Bupati Banyumas (1933-1950) Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata (1952) menyatakan bahwa ia mendapat didikan Jawa dalam suasana feodalistik. Penghormatan kepada orang yang lebih tua sangat diutamakan.
(13)
Gaya hidup bupati di daerah mancanegara atau di wilayah kekuasaan kolonial Belanda mewarisi budaya patron yang berpusat di keratonkeraton Jawa. Oleh karena itu, kesetiaan elite Banyumas terhadap para raja Jawa lebih besar daripada orang-orang Banyumas yang tinggal di pedesaan. Orang-orang desa yang akrab dengan lingkungan alam daerah Banyumas menggalang sikap kesepadanannya. Etika kesepadanan manusia Banyumas ini bersifat universal karena etika tersebut dibangun atas dasar etika humanitarian yang memunculkan kekuatan solidaritas Banyumas yang membedakan antara Jawa-Banyumas dengan Jawa lainnya.
Keegaliteran manusia Banyumas melahirkan prinsip kerukunan yang dijunjung tinggi dengan filosofisnya yang tinggi, yakni ungkapan tenimbang pager wesi, mendhingan pager tai sehingga melahirkan prinsip aman dan ketentraman. Bertetangga berarti saling menjaga rasa aman dalam kehidupan kolektif. Sikap egaliter itu akan menjauhkan setiap individu dari sikap feodalistik yang menempatkan kedudukan, pangkat, dan harta sebagai kiblat hubungan sosial.
Oleh karena itu, ungkapan wong desa seperti ngisor galeng, dhuwur galeng dijunjung tinggi karena setiap makhluk mempunyai kedudukan yang sama di mata Tuhan. Di sisi lain, etika kesepadanan juga telah membentuk masyarakat Banyumas yang menonjolkan sikapsikap seperti penjorangan, semblothongan, atau glewehan yang berlebihlebihan
(Priyadi, 2000: 121). Seolah-olah batas etika sering dilangkahi demi suatu keakraban dengan orang lain sesama wong Banyumas. Berbicara brecuh atau ngomong dengan kata-kata saru sudah merupakan hal yang biasa. Umpatan kata-kata kotor tidak akan menyinggung perasaan sesama orang Banyumas, tetapi justru menguatkan keakraban. Pendek kata, Orang Banyumas sering dituding kasar, tidak tahu etika, urakan, dan sebagainya oleh orang luar. Orang Banyumas memang terlalu bebas dalam kehidupan berbudayanya sebagai orang-orang yang tinggal di daerah marginal. Hal itu berarti bahwa wong Banyumas terbuka dalam berinteraksi dengan masyarakat di luar suku atau primordialnya. Kedekatan dengan dua atau lebih kebudayaan memang membuka cakrawala atau sudut pandang manusia Banyumas, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Kontak budaya Jawa dan Sunda di Banyumas telah menempatkan sikap Carub Bawor dalam sendi-sendi pergaulan secara luas. Simbol panakawan itu menjelaskan bahwa wong Banyumas itu terbuka dalam pergaulan hidup sehari-hari yang disebut cablaka atau blakasuta. Tokoh wayang yang lain seperti Lingsanggeni, Antasena, Werkudara, dan para panakawan dalam pertunjukan wayang kulit gagrag Banyumasan merupakan lambang keegaliteran wong Banyumas.
Orang-orang Bebas.
Jika kita mengamati kehidupan orang-orang Banyumas, maka tampaklah bahwa mereka adalah orang-orang bebas dalam kehidupan yang sesungguhnya. Kebebasan yang tercermin dalam pergaulan sehari-hari, misalnya mereka berbicara cowag yang kesannya seperti orang-orang yang sedang bertengkar. Kesan itu timbul pada orang-orang luar yang baru datang ke daerah Banyumas sehingga mereka sering terkecoh. Padahal, pembicaraan seperti itu merupakan suatu hal yang sangat biasa. Berbicara dengan nada cowag tadi memang salah satu ciri khas orang Banyumas. Nada lemah-lembut dalam percakapan bahasa Jawa baku tidak bisa terjiwai oleh masyarakat Banyumas. Agaknya fitrah kecowagan manusia Banyumas telah ada sejak ratusan tahun yang lalu setua dengan
terciptanya komunitas Banyumas. Memang hal itu tidak dapat dilepaskan dengan bahasa ibu mereka yang cenderung reyang. Agaknya bahasa dialek Banyumasan yang diwariskan nenek-moyang mereka sangat akrab dengan pola kecowagan orang Banyumas.
Cara berbicara orang Banyumas memang ada kemiripan dengan orang-orang Sunda yang juga berbicara keras meskipun mereka sedang tidak bertengkar sehingga muncul istilah Jawa Reyang atau Sunda Reyang.
Gejala tersebut sangat menarik apabila dikaji dari kultur mereka yang memang cenderung bebas. Budaya Banyumasan yang tergolong pinggiran budaya Jawa baku mendapat pengaruh yang tidak begitu kuat, baik dari patron budaya Jawa baru maupun Sunda. Sisa-sisa budaya Jawa Kuna memang sangat tampak pada sejumlah kosa-kata sehingga Banyumas menjadi pusat budaya yang didasarkan atas dialek Banyu-masan. Di situ, perilaku masyarakat Banyumas sudah menyatu dengan pola bahasa mereka yang juga bersifat bebas. Orang Banyumas lebih bebas dalam mengekspresikan ide atau gagasannya. Hal itu diperkuat dengan kecowagannya sehingga gaya bicara wong Banyumas tampak mantap. Pengucapan, baik vokal maupun konsonannya sangat jelas terdengar sehingga suara yang keluar dari bibir tidak klemak-klemek. Dialog dalam pertunjukan
wayang kulit atau ketoprak lebih mengesankan suara lugas. Seandainya wong Banyumas sedang bicara berbisik-bisik pun akan terdengar.
Cowag dan reyang agaknya menjadi fenomena tersendiri dalam khasanah kehidupan budaya manusia Banyumas. Rasanya berbicara tanpa nada cowag dan reyang bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Jika pembicaraan diatur dengan cara berbisik, maka sama saja mereka dibatasi kebebasannya. Dalam percakapan sehari-hari, baik serius atau tidak, bisa timbul persaingan berbicara cowag yang disangka oleh banyak orang luar seperti sedang 'padu atau bertengkar di antara para pembicara. Kebebasan gaya Banyumasan juga kelihatan dari pemakaian kata yang bervariasi. Contohnya, ada pemakaian kata kepriben, kepriwen, keprimen, dan keprigen yang juga menunjukkan keanekaragaman wilayah geografis bahasa dialek Banyumasan. Memang konsonan pada ketiga kata yang pertama masih dekat daripada keprigen. Ada kesan bahwa wong Banyumas dalam berbahasa sering sekarepe dhewek sehingga variasi kata menjadi semakin kaya.
(14)
Di samping dari segi bahasa, kesenian Banyumas juga menunjukkan nafas kebebasan. Musik gamelan, suara penyanyi waranggana yang lugas, teriakan-teriakan gembira atau tepukan tangan para penabuh gamelan mencerminkan karakter kebebasan gaya Banyumasan. Tembangtembang Banyumasan lama, seperti Kembang Glepang atau ilogondhang menggambarkan dialog yang terbebas dari kekangan seni yang dianggap
adiluhung sebagaimana dilakukan para seniman di keraton.
Di bidang religi, masyarakat Banyumas juga tidak lepas dari jiwa kebebasan. Upacara Begalan misalnya dalam adat perkawinan masyarakat Banyumas bertujuan meruwat atau membebaskan segala pengaruh buruk atau bencana dari kehidupan mereka. Meskipun Begalan merupakan salah satu upacara penting dalam ritus peralihan, tetapi dialog-dialog yang meluncur pun tidak kaku, bahkan yang mencolok justru improvisasi dari para pelakunya. Jadi, sistem ritus dan upacara Begalan yang berbentuk aktivitas
manusia bisa berubah, tetapi emosi religi, sistem keyakinan, dan peralatan ritusnya tetap. Jiwa bebas orang-orang Banyumas bisa menjadi salah satu faktor yang memacu kreativitas, inisiatif, dan kemajuan. Masyarakat yang hidup terkekang cenderung mendewakan budaya segala sesuatu dengan keadiluhungannya sehingga mereka statis. Maka dari itu, seniman dari luar keraton seperti Dalang Panjangmas yang berasal dari Kedu-Bagelen, misalnya direkrut menjadi dalang keraton Kasunanan Surakarta dan secara
turun-temurun menjadi dalang andalan, khususnya yang memonopoli upacara ruwatan di keraton (bdk. Groenendael, 1987: 96). Orang sering keliru bahwa budaya adiluhung selalu diciptakan di istana. Barangkali dapat membandingkan dengan hal itu pada masa kini. Artis-artis ibu kota banyak yang berasal dari artis-artis daerah. Orang Banyumas yang direkrut ke keraton, misalnya Tumenggung Yudanegara III, menjadi Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta yang pertama oleh Sultan Hamengku Buwana I.
Orang-orang Vulgar.
Rupanya orang Banyumas termasuk orang-orang yang suka blagblagan. Artinya, mereka sangat terbuka dalam membicarakan segala sesuatu, tidak terkecuali masalah seks. Teks Babad Pasir yang berasal dari Kademangan Pasir Wetan menggambarkan hubungan seksual antara Raden Kamandaka dengan Ciptarasa. Adegan panas itu dilukiskan dua
kali.
(15)
Teks Babad Pasir di atas merupakan terbitan J. Knebel (1900) dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (VBG) jilid LI. Teks terbitan Knebel diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka pada tahun 1931, 1961, dan 1985. Khusus terbitan Hardjana
(1985) yang disertai dengan terjemahan itu menyensor adegan seks tersebut dengan pertimbangan akan dibaca oleh anak-anak. Hal itu juga dilakukan oleh penyalin teks Cariyos Kamandaka yang berasal dari Kademangan Pasir Kulon. Pelukisan adegan tersebut tampaknya juga termuat dalam teks-teks Babad Pasir yang ditemukan di tempat lain, misalnya Babad Kamandaka (teks tembang) dari Kademangan Pasir Kidul, Babad Pasir (teks tembang) dari Taman Sari, teks gancaran Babad Pasir (Raden Kamandaka) dari Pekunden Banyumas, dan Babad Pasirluhur (teks gancaran) dari Kedungrandu.
Teks Pekunden adalah karya Ki S. Wigno. Ki S.Wigno adalah tokoh pejuang yang pernah dibuang ke Digul oleh Belanda. Beliau sering menulis teks-teks babad, baik Babad Banyumas maupun Babad Pasir. Khusus teks Babad Pasir, beliau menulis dua naskah Babad Pasir (Raden Kamandaka) dan Lajang Raden Kamandaka ija Lutung Kesarung (Ekadjati & Darsa, 1999: 18-19 dan 211-212). Teks pertama merupakan karya transformasi
dari terbitan Knebel, sedangkan teks kedua adalah teks skenario kethoprak. Teks pertama Ki S. Wigno menceritakan hal di atas lebih vulgar.
(16)
Ki S. Wigno menjelaskan krida asmara antara Putri Pasirluhur Dewi Ciptarasa dengan putra raja Pajajaran Raden Banyak Catra. Sajian adegan vulgar seperti itu sering ditemukan dalam teks-teks lama seperti karya-karya sastra Jawa Kuna. Tradisi sastra kakawin sebagaimana pernah dikaji oleh Supomo (1985: 383-414) dari The Australian National University,
Canberra, Australia dalam tulisannya yang berjudul Kama di dalam Kakawin. Tulisan yang dipersembahkan kepada salah seorang dari Sapta Resi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. P.J. Zoetmulder itu memperlihatkan bahwa sastra kakawin dari masa Jawa Kuna cenderung sangat vulgar dalam menggambarkan adegan seks. Supomo
mengutip beberapa karya kakawin, misalnya Ramayana, Arjunawijaya, Bharatayuddha, Sumanasantaka, Subhadrawiwaha, dll.
Kiranya karya sastra Banyumas yang berupa teks Babad Pasir yang separonya berisi kisah legenda lokal Raden Kamandaka atau Lutung Kesarung meniru cara pelukisan adegan panas model sastra kakawin yang berkembang pada abad ke-9 sampai abad ke-15 masehi. Budaya Jawa Kuna merambah kehidupan masyarakat Banyumas pada masa Majapahit.
Keterbukaan atau sifat blag-blagan orang Banyumas agaknya dipengaruhi oleh budaya Jawa Kuna yang berasal dari patron budayanya di Jawa Timur, khususnya di bidang bahasa dan sastra. Bahasa dan sastra memang merupakan suatu media bagaimana manusia mengekspresikan dirinya.
Jiwa zaman (zeitgeist) akan tercermin pada karya sastra sebagai hasil keintelektualan zamannya sehingga sejarah sastra dapat dimanfaatkan untuk penulisan sejarah intelektual masyarakat Banyumas.
(17)
Budaya Afirmatif dan Budaya Kritis. Orang Banyumas ternyata memiliki dua kutub karakter yang bertolak belakang. Di satu sisi, orang cenderung afirmatif terhadap pihak penguasa dan di sisi lain sangat kritis (bdk. Kuntowijoyo, 1994: 62). Ada dua kasus yang menarik perhatian penulis, terutama kejadian yang menyangkut Patih
Wirakencana-Banyak Thole dalam teks Babad Pasir dan Kaduhu-Bagus Buwang dalam teks Babad Banyumas versi Mertadiredjan. Patih Wirakencana dan Kaduhu menampakkan karakter afirmatifnya kepada kekuasaan, sedangkan Banyak Thole dan Bagus Buwang menunjukkan kekritisannya. Kasus Thole sering dinilai miring oleh teks Babad Pasir. Thole digambarkan memiliki karakter yang buruk sebagai anak durhaka yang membunuh ayahnya dengan cara menguburkannya hidup-hidup ketika sedang menderita sakit keras. Di samping itu, Thole juga dicap sebagai orang yang murtad dari agama Islam dan memeluk kembali agama Budha. Selanjutnya, Thole mencanangkan kemerdekaan dari kekuasaan Demak. Apa yang dilakukan Thole sungguh sangat berlawanan dengan ayahnya.
Banyak Belanak dalam teks Babad Pasir dijunjung sebagai pahlawan Islam yang diakui banyak jasanya oleh penguasa Demak. Banyak Belanak ibarat wali lokal yang mengislamkan penduduk Pasirluhur dan sekitarnya, bahkan sampai di daerah Jawa Barat bagian timur. Yang lebih hebat lagi, Banyak Belanak juga mengislamkan penduduk di daerah pedalaman Jawa Timur dan puncak perannya adalah ikut mendirikan Masjid
Agung Demak. Sebagai pahlawan Islam, Banyak Belanak diberi hadiah tanah 8000 dhomas dan gelar Pangeran Senapati Mangkubumi I oleh Sultan Demak.
Perilaku Thole ternyata sangat meresahkan pamannya yang memangku jabatan patih. Patih Wirakencana tidak menyetujui keputusan Thole untuk membangkang kepada penguasa Demak karena Pasirluhur tidak mungkin bisa menghadapi kekuatan atau dominasi Demak. Nasihat Wirakencana itu dinilai oleh Thole bahwa pamannya tidak memiliki kelanangan
atau penakut. Keberpihakan Wirakencana kepada Demak sangat mengecewakan Thole sehingga ia memberikan pepali bahwa adipati Pasir tidak boleh mengambil paman sebagai patih karena Wirakencana dianggap sebagai pengkhianat. Kekritisan Thole secara eksplisit telah divonis terlalu berat sebagai anak durhaka dan orang murtad karena ia berada di pihak yang kalah.
Kisah pembunuhan terhadap sang ayah barangkali merupakan kisah simbolik sebagai bentuk sikap oposisi atau perlawanan. Artinya, Thole tidak melakukan pembunuhan yang sesungguhnya, tetapi sikap oposisi itu sudah dilakukannya ketika ayahnya masih hidup. Perilaku Thole yang bertolak belakang itu telah membunuh jasa-jasa besar ayahnya. Karena sang ayah itu berjasa dalam usaha penyebaran agama Islam, maka sikap Thole dianggap sebagai bentuk kemurtadan yang harus dibasmi oleh sang penguasa.
Dengan demikian, kekritisan Thole telah dikubur dengan cerita yang berkonotasi jelek sebagai korban yang kalah dalam sejarah. Wirakencana sebagai pihak yang menang bisa memanipulasi cerita yang berkesan buruk terhadap pihak yang kalah. Wirakencana yang tadinya patih naik jabatannya menjadi adipati dengan gelar yang sama dengan kakaknya, yaitu Pangeran Senapati Mangkubumi II.
(18)
Kasus Kaduhu-Bagus Buwang pun tidak berbeda dengan kasus Wirakencana-Thole di atas. Babad Banyumas versi Mertadiredjan merupakan satu-satunya teks yang menceritakan secara detail kisah hidup Kaduhu yang di kemudian hari menjadi adipati Wirasaba. Kaduhu adalah putra Raden Putra yang lahir dari istri yang berasal dari keturunan rajaraja Pajajaran. Kaduhu mengembara dari Pajajaran ke daerah Wirasaba
dan diangkat anak oleh Adipati Surawin atau Adipati Peguwon III. Perubahan
sejarah Wirasaba terjadi ketika Adipati Surawin berhalangan datang ke ibu kota Majapahit karena sakit sehingga Kaduhu disuruh mewakilinya.
Keberangkatan Kaduhu didampingi oleh pamannya yang bernama Bagus Buwang. Bagus Buwang adalah adik Adipati Surawin yang lahir dari ibu yang berstatus selir. Realitas menunjukkan bahwa kedatangan Kaduhu ke Majapahit telah menghubungkan tali kekerabatan yang terputus karena Raden Putra adalah adik raja Majapahit yang mengembara ke tanah Pasundan.
Karakter afirmatif Kaduhu memang tidak ditonjolkan di sini, tetapi legitimasi sebagai kemenakan raja yang berhak meminta daerah mana pun yang berada di bawah kekuasaan Majapahit dimunculkan oleh teks. Pengangkatan Kaduhu menjadi adipati Wirasaba dengan gelar Adipati Marga Utama oleh raja Majapahit menjelaskan sikap kritis Bagus Buwang. Bagus Buwang merasa bahwa kakaknya telah dikebiri oleh raja karena sikap afirmatif Kaduhu. Kekritisan Bagus Buwang dalam teks Mertadiredjan
dinilai sebagai sikap ambisi untuk menggantikan kakaknya yang tidak mempunyai anak laki-laki. Apa lagi ada semacam tuduhan bahwa Bagus Buwang memfitnah Kaduhu yang telah merebut jabatan adipati. Berkat fitnah Bagus Buwang itu, Sang Adipati sempat mengeluarkan pepali bahwa orang Wirasaba tidak boleh mengangkat atau mengadopsi anak
laki-laki. Selain itu, sikap ambisi Bagus Buwang juga ditampilkan dengan perlawanan dan peperangan yang merenggut nyawa anak dan dirinya sendiri. Kematian Buwang dianggap oleh teks sebagai ngundhuh wohing pakarti. Bagus Buwang juga dinilai sebagai pihak yang bersalah.
Agaknya, orang-orang kritis yang berada di pihak yang kalah itu selalu disalahkan oleh sejarah. Hal itu terjadi karena sejarah yang ditulis juga cenderung afirmatif terhadap dominasi penguasa. Orang-orang yang afirmatif senantiasa menjadi pahlawan dan pihak yang selalu benar dalam sejarah. Budaya afirmatif dan budaya kritis secara langsung melahirkan budaya kambing hitam yang tidak mungkin dihapuskan dalam khasanah sejarah manusia.
KESIMPULAN
Nama Banyumas menunjukkan kepada suatu karakter manusia Banyumas yang selalu berusaha mencapai kejayaan atau meraih masa keemasan. Prinsip hijrah amat mendukung upaya tersebut. Di samping itu, karakter lain yang menonjol adalah suka memberontak terhadap para penguasa dan juga sering konflik di antara mereka sendiri sehingga muncul daerah-daerah pantangan nikah di Banyumas.
Masyarakat Banyumas dengan bersendikan bahasa dialek Banyumasan telah membangun budaya egaliter, yaitu mengakui kesepadanan antara anggota warganya. Hal itu berpengaruh pada cara bicara orang Banyumas yang terlalu bebas sehingga kesan yang tampak adalah orang Banyumas itu kasar. Kebebasan tadi agaknya juga terkait dengan kevulgaran orang Banyumas dalam membicarakan masalah seks. Hal lain yang menarik dari
manusia Banyumas adalah munculnya budaya afirmatif dan budaya kritis. Kedua budaya tersebut secara langsung melahirkan budaya kambing hitam yang tidak mungkin dihapuskan dalam penulisan sejarah.
DAFTAR RUJUKAN
Bertens, Kees. 1991. Sigmund Freud Memperkenalkan Psikoanalisa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Ekadjati, Edi Suhardi. 1982. Cerita Dipati Ukur, Karya Sastra Sejarah Sunda.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Ekadjati, Edi Suhardi & Undang A. Darsa. 1999. Katalog Induk Naskah-naskah
Nusantara Jilid 5A: Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia-EFEO.
Gandasubrata, Sudjiman Mertadiredja. 1952. Kenang-kenangan 1933-1950
Bagian I. Purwokerto: Pertjetakan Seraju.
Graaf, H.J. de. 1985. Awal Kebangkitan Mataram. Masa Pemerintahan Senapati.
Jakarta: Grafitipers Groenendael, Victoria M. Clara van. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Grafitipers.
Knebel, J. 1900. Babad Pasir, Volgens een Banjoemaasch Handschrift bescreven.
Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. deel LI: 1-155.
Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia,
Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono. 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran,
dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.
Koentjaraningrat. 1982. Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. 1993. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Kuntowijoyo. 1994. Demokrasi dan Budaya Demokrasi. Yogyakarta: Bentang
Budaya.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Moedjanto, G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius.
Notosusanto, Nugroho. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Suatu
Pengalaman). Jakarta: Yayasan Idayu.
Olthof, W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi wiwit saking Nabi Adam
doemoegi ing Taoen 1647. s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka, 1992. Agastya di Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Priyadi, Sugeng. 2000. Fenomena Kebudayaan yang Tercermin dari Dialek
Banyumasan, dalam Humaniora, No.1. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Priyadi, Sugeng, 2001a. Makna Pantangan Sabtu Pahing. Yogyakarta: Kaliwangi
Offset.
Priyadi, Sugeng, 2001b. Tinjauan Ulang Hari Jadi Kabupaten Banyumas.
Yogyakarta: Kaliwangi Offset.
Priyadi, Sugeng, 2001c. Babad Banyumas: Budaya Pantangan dan Pantangan
Sabtu Pahing, Jurnal Bahasa dan Seni, edisi khusus, tahun 29, Oktober.
Malang: Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.
Priyadi, Sugeng, 2001d. Perdikan Cahyana, dalam Humaniora, Volume XIII,
No.1. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Priyadi, Sugeng, 2002a. Banyumas antara Jawa dan Sunda. Semarang: Mimbar-
The Ford Foundation-Yayasan Adhikarya Ikapi.
Priyadi, Sugeng, 2002b. Babad Pasir: Banyumas dan Sunda, dalam Humaniora,
Volume XIV, No.2. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Raka, A.A.G., 1963. Terdjadinja Nama Desa Bedulu, dalam Prawiraatmadja.
Tjerita Rakjat II. Djakarta: Balai Pustaka.
Rochkyatmo, Amir. 1991. Babad Kaliwungu, dalam S.W.R. Mulyadi (editor).
Naskah dan Kita. Lembaran Sastra, nomor khusus (Januari). Jakarta: Fakultas
Sastra, Universitas Indonesia.
Slametmuljana, 1980. Dari Holotan ke Jayakarta. Jakarta: Yayasan Idayu.
Soemodidjojo, 1953. Babad Warni-warni. Jogjakarta: Soemodidjojo Mahadewa.
Sudarso, 2002. Slogan-slogan di Desa-desa dalam Wilayah Kecamatan Rembang
dan Kecamatan Karangmoncol, Skripsi. Purwokerto: FKIPUniversitas Muhammadiyah Purwokerto.
Sumadio, dkk., Bambang. 1984. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan-Balai Pustaka.
Supomo, S. 1985. Kama di dalam Kakawin, dalam Sulastin-Sutrisno, Darusuprapta,
Sudaryanto (ed). Bahasa Sastra Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
CATATAN AKHIR
(1)
Tentu saja berita legenda seperti itu belum dapat dipercaya manakala penemuan benda-benda arkeologis belum terjadi. Sungai Banyumas mengalir dari mata air Sumur Mas sangat dikenal airnya sangat jernih. Sungai Banyumas menjadi awal-mula munculnya nama itu pada menjelang sepertiga terakhir abad ke-16 Masehi. Mengapa nama sungai itu diberi nama Banyumas ? Pertanyaan tadi kiranya sukar untuk dijawab karena sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan hal itu sangat terbatas. Lagi pula legenda yang hidup dalam masyarakat telah mengalami distorsi. Barangkali memang benar bahwa nama Banyumas hanyalah simbol saja dan tidak menyatakan realitas geografi fisiknya.
(2)
Pantangan kawin dengan orang-orang Toyareka itu bukan suatu bentuk antipati
yang berlebihan masyarakat Banyumas, tetapi tabu tersebut merupakan upaya untuk menghindari kasus sejarah berulang itu terjadi. Toyareka adalah kabut hitam sejarah Banyumas yang menyelimuti keturunan Wirasaba, termasuk keturunan Warga Utama II di Banyumas. Oleh karena itu, Warga Utama II membagi empat Wirasaba dan memilih pindah ke tempat yang baru. Peristiwa pembagian dan perpindahan itu tidak berkaitan dengan saudara-saudara iparnya, melainkan dengan Toyareka. Jika Warga Utama II tetap tinggal di Wirasaba, maka konflik Wirasaba dengan Toyareka bisa meruncing. Akibatnya pantangan itu tidak dilaksanakan, yaitu menghindari konflik terbuka. Tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat Toyareka, ada gejala bahwa pihak Toyareka sangat mengecam
Warga Utama I yang menyerahkan putrinya ke Pajang sebagai tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang adipati. Jadi, di sisi lain juga ada pantangan balik atau budaya oposan yang muncul setelah adipati Wirasaba menyampaikan tabu kawin dengan orang-orang Toyareka. Orang-orang Wirasaba masih memiliki dendam atas perlakuan buruk pihak Toyareka.
(3)
Kedua pantangan kedua belah pihak meluas, yaitu antara penduduk di desa-desa di sebelah utara dengan penduduk di desa-desa di sebelah selatan Sungai Klawing, tanpa melihat lagi faktor keturunan. Kiranya keluarga Demang Toyareka pun dipadamkan secara tuntas oleh raja. Tidak seorang pun penduduk desa Toyareka yang mengaku atau merasa keturunan sang demang, bahkan makam demang tersebut sukar dilacak.
(4)
Artinya, raja-raja Jawa yang menjadi patron lebih mengikat para elite tradisional
di tingkat lokal daripada manusia Banyumas pada umumnya yang tinggal di pedesaan. Meskipun keterikatan elite lokal dibangun oleh para penguasa, tetapi para elite pun tidak bisa melepaskan diri dari karakter tadi. Para bupati Banyumas yang memakai gelar Yudanegara sering diragukan kesetiaannya kepada raja. Empat dari lima orang bupati yang bergelar Yudanegara dicatat mempunyai masalah yang serius dengan patronnya. Oleh karena itu, hukuman mati dan pemecatan ditimpakan oleh raja kepada mereka. Dengan demikian, para pemberontak dari Banyumas tidak dilahirkan hanya dari kalangan kebanyakan, tetapi juga dari kalangan elite.
(5)
Konflik tersebut melahirkan larangan nikah penduduk antardesa, antarkecamatan,
antarkabupaten, misalnya kasus Karangsari-Kedhungwuluh (Kecamatan Kalimanah, Purbalingga), Cipaku-Onje (Kecamatan Mrebet, Purbalingga), Karangcegak-Tambaksogra (Kecamatan Sumbang, Banyumas), Wirasaba (Kecamatan Bukateja, Purbalingga)-Toyareka (Kecamatan Kemangkon, Purbalingga), Banjaranyar (Kecamatan Sokaraja, Banyumas)-Kramat (Kecamatan Kembaran, Banyumas), Wiradadi (Kecamatan Sokaraja, Banyumas)-Pekaja (Kecamatan Kalibagor, Banyumas), Jompo Wetan (Kecamatan Kalimanah, Purbalingga)-Jompo Kulon (Kecamatan Sokaraja, Banyumas), atau keturunan Dipamenggalan
(Dipayuda, Banjarnegara)-keturunan Kyai Arsantaka (Dipayuda, Purbalingga). Barangkali, daftar itu bisa lebih panjang lagi apabila ditelusuri kasus-kasus masa lalu di tingkat pedesaan.
(6)
Kalitinggar merupakan penyatuan dua desa, yaitu Kaligawe dan Tinggarjaya.
Pada masa kolonial terjadi konflik antarpenduduk kedua desa itu. Pada masa kini, ada keinginan kedua desa yang telah disatukan itu untuk berpisah. Kasus ini menunjukkan bahwa penyelesaian konflik tidak memuaskan dan ada kesan bahwa penyatuan kedua desa itu hanyalah penyelesaian yang dipaksakan. Konflik seyogyanya diselesaikan tanpa ada satu pihak pun yang dirugikan.
(7)
Penduduk yang tinggal di Daerah Aliran Sungai Karang menciptakan tanda pengingat bagi kerasnya alam dengan ungkapan Karang Beyek. Artinya, jika air banjir Sungai Karang telah setinggi beyekan (pinggang), maka orang yang menyeberangi sungai tersebut akan hanyut. Kasus yang sama juga tampak pada ungkapan Gintung Gulu (Sungai Gintung) dan Bodhas Gathel atau Bodhas Konthol (Sungai Bodhas). Leher dan alat kelamin pria dipakai sebagai ukuran bahaya atau tidaknya air banjir masing-masing sungai.
(8)
Contoh kasus di Kecamatan Rembang dan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga
terdapat julukan yang diberikan penduduk desa yang satu terhadap penduduk desa yang lain (kalau sekarang semacam motto kabupaten) yang cenderung negatif, misalnya desa Makam-Gedebus, Losari-drengki, Sumampir-Criwis, Bantarbarang-Kanjat, Karangmoncol-Kededer, Pepedan-Jetis, Karangjati-Gembrolang, Tajug-Gedubrug, Pekiringan-Pethingthing, Rajawana-Kesimpar, Grantung-Krumpyung (Sudarso, 2002: 20-37).
(9)
Pembagian kategori masyarakat dalam sistem kasta di India, juga menggunakan
lambang-lambang anggota tubuh, misalnya kepala untuk kaum Brahmana, tangan untuk ksatria, dan kaki untuk waisya, sedangkan sudra di luar dari ketiganya. Hal yang sama juga tampak pula pada legenda masyarakat Jawa Tengah di pantai utara tentang tiga makam Arya Penangsang. Kata legenda tersebut kepala Arya Penangsang dikuburkan di kota Demak (lambang kota wali), perutnya dimakamkan di Kudus (lambang kota usaha), dan kakinya di daerah Cepu (lambang orang desa atau pejalan kaki). Atau para penganut Kejawen di Gunung Srandhil, juga mempunyai pemahaman seperti itu. Kata mereka, Sumur Mas di kota Banyumas adalah sirahing sumur, Sumur Banyu Mudal di sebelah selatan Banyumas sebagai pusering sumur, sedangkan Srandhil sebagai kaki (umat kejawen atau orang kebanyakan). Dengan demikian, kepala, badan (perut dan tangan), dan kaki merupakan rangkaian simbol yang tidak terpisahkan.
(10)
Legenda raja Bedulu di Pulau Bali, misalnya, menceritakan bahwa rakyat
dilarang melihat wajah rajanya karena kepala sang raja berbeda dengan manusia
pada umumnya. Kata Bedulu berasal dari Beda hulu (beda kepala). Ketika Majapahit berusaha menaklukan Bedulu, Patih Gajah Mada mencuri lihat dengan pesanan sayur pakis dan minuman air kendi. Gajah Mada akan mendongakkan kepalanya ketika makan sayur pakis dan minum air kendi. Seharusnya Gajah Mada dihukum mati, tetapi pada masa itu juga ada etika bahwa orang yang sedang makan tidak boleh dibunuh.
(11)
Sampeyan Dalem (raja-raja Jawa zaman Mataram: Yogyakarta dan Surakarta),Cokorde (bangsawan Bali), Kangjeng (kaki kakanda), atau Diajeng (kaki adinda). Kawula mencium kaki sebagai lambang penghormatan. Di sisi lain, kaki juga lambang kekuasaan, misalnya di Jawa Barat ditemukan sejumlah prasasti yang oleh para ahli disebut Prasasti Sang Hyang Tapak dari masa Raja Purnawarman (Tarumanegara). Di prasasti, terdapat telapak kaki sang raja atau kaki gajah tunggangan raja. Prasasti-prasasti tersebut menyatakan bahwa kaki adalah simbol penguasaan atas suatu daerah atau simbol kebesaran sang raja.
(12)
Jika tidak, maka orang tersebut dianggap tidak tahu etika pergaulan, bahkan yang lebih menyakitkan adalah orang tersebut disamakan dengan orang Cina. Kebiasaan orang Cina yang menegur orang lain dengan tidak menyebut nama lawan bicara memang tidak disukai orang Banyumas. Penyebutan nama seseorang dalam bertegur sapa merupakan wujud rasa hormat terhadap orang lain. Penyebutan nama juga merupakan perwujudan asas keegaliteran orang Banyumas.
(13)
Prinsip hormat terhadap orang yang lebih tua menjadi penting karena mereka itu ibarat keramat hidup sehingga pendapat-pendapatnya, nasihat, perintah, teguran, dll., wajib diperhatikan oleh pihak yang lebih muda. Oleh karena itu, Sudjiman dan ayahnya (Pangeran Aria Gandasubrata, bupati Banyumas 1913-1933) selalu duduk di lantai, laku dodok, duduk bersila, menyembah, berjongkok, dan sebagainya ketika berada di hadapan kakek dan ayah mereka, yakni Pangeran Aria Mertadiredja III (Bupati Banyumas, 1879-1913). Sudjiman, bupati Banyumas tiga zaman, juga menuturkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya misalnya ia harus mengikuti kakeknya di kabupaten, tidur di lantai beralaskan tikar, dan menonton pertunjukan wayang kulit di pringgitan. Pertunjukan tersebut diselenggarakan pada setiap wetonan kakeknya pada hari Senin Pahing (malam Selasa Pon) setiap 35 hari sekali.
(14)
Penyusunan kamus dialek Banyumasan memang bukan perkara mudah karena harus membedakan kata-kata yang asli dari dialek Banyumasan dengan kata-kata serapan. Kata-kata serapan sering berubah ketika diucapkan oleh bibir wong Banyumas, misalnya cileuh dari bahasa Sunda menjadi ciloh, atau taksih menjadi tesi. Kadang tanpa dirasakan orang Banyumas sedang memakai kata-kata serapan Sunda dan Jawa baku dalam percakapan. Kata-kata asli dialek Banyumasan memang bisa tergeser oleh kata-kata serapan tadi. Pengumpulan kata-kata asli akan menyangkut setiap bibir wong Banyumas di pedesaan dan wilayah dialek Banyumasan yang cukup luas, yakni Jawa Tengah bagian barat selatan.
(15)
Pertama pada pupuh V Mijil, bait 31-35 sebagai berikut: /31/ sigra wau sinambut
Sang Dewi/ jinunjung pinondhong/ kinuswa-kuswaneng sajroning langse/tansah ingarasan kongah-kangih/ nyengkah jaja garut /32/ trustha sadaleming tyas Sang Dewi/ wau Sang Lir Sinom/ dhasar sampun mepeg birahine/ kakung baudnya dyah canggehing resmi/ yun-ayunan sami/ munggeng madyeng kasur /33/ Sang Dyah ingaras rinemih-remih/ tyasnya esmu kelon/ yata sampun campuh kang karesmen/ langkung kapranan ingkang karon sih/ nutug ing sakapti/ ing tyas estri jalu /34/ yata wus luwar ingkang don resmi/ sakaliyan miyos/ babu enya acaos pasucen/ toya sangku Sang Dyah araresik/ kaliyan Sang Pekik/ sampune tuturuh /35/ apinarak munggeng jinem wangi/ Sang Dyah anglelentroh/ esmu lesu wau sarirane/ wantun nembe kagenening kapti/ kakung wlas ningali/ Sang Retna pinangku//
Kedua pada pupuh XVIII Gambuh, bait 5-7 sebagai berikut: /5/ ganunturan srenggara rum/ pinriyembadeng tilam rum/ Sang Retna acanggeh
amiwal kapti/ Sang Kakung bauding lulut/ Sang Retna sampun kaleson /6/ wus lukar tepining pinjung/ Sang Dyah tan suwaleng kayun/ sigra wau rahaden nekaken kapti/ Sang Dyah pinarjayeng lulut/ wus campuh madyeng paturon /7/ sigra rahaden tumurun/ pinondhong Sang Murtiningrum/ prapteng jawi kalih sampun asesuci/ riwusnya sesuci wau/ angsul minggah paturon//
(16)
Kocapa Raden Banyak Catra kang wis lawas brangta wis ora kuwawa nahan hardaning galih. Datan saranta enggal munggah ing girikumala korining gedong kencana jenebol wani. Sajroning kedaton gya den obrak-abrik tanpa tahataha nutug ing sakarsa-karsa. Dasar baud ulah kridaning asmara katemu wanodiya kang lagi nedeng birahine. Dene Sang Retna nanggapi hardaning kakung, tinut ing sakarsa-karsane. Sagending diladeni nganti apongah-pangih. Sawise rok bandawala pati slirane Sang Retna kraos amarlupa.
(17)
Jenis sejarah ini memang ditopang oleh bahan-bahan yang didapat dari sejarah
sastra Banyumas, baik yang berbentuk tembang maupun gancaran. Selain itu, tradisi lisan yang juga hidup dengan subur di daerah Banyumas bisa melengkapi sejarah Banyumas, khususnya karakter dan perilaku wong Banyumas di masa lalu, masa kini, dan masa datang.
(18)
Wirakencana dilegitimasikan oleh teks Babad Pasir sebagai muslim yang taat sehingga ia berhak dimakamkan satu liang kubur dengan Pangeran Makdum Wali, seorang wali dari Demak yang makamnya di Astana Pasir.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar