Oleh Akhmad Saefudin
Salah satu tradisi yang hidup di Kabupaten Banyumas tempo dulu adalah pétungan, menentukan hari. Orang mau mendirikan rumah, misalnya, ada perhitungan yang diyakini dapat membawa peruntungan atau sebaliknya. Empat perhitungan (candi, bumi, rogoh, sempoyong) adalah dasar penentuan kapan seseorang akan membangun fondasi rumahnya. Jika dibangun pada hitungan candi, maka rumah tersebut akan sepi di kemudian hari. Sebaliknya, jika didirikan pada hitungan bumi, rumah akan ramai, hangat, dan ripah.
Hari rogoh dan sempoyong adalah dua pétungan hari yang harus dihindari sedemikian rupa. Jika dipaksakan, rumah yang didirikan akan mengalami nasib jelek, sering terjadi pencurian (rogoh) dan mudah doyong (reot).
Selain untuk pendirian rumah, pétungan juga dipakai dalam hal penentuan jodoh dan waktu pernikahan. Jika dua sejoli memiliki weton yang disebut gotong kliwon, itu dianggap pantangan sehingga perkawinan mereka harus dihindari.
Jika weton calon mempelai jatuh pada hitungan pring geret, maka pasangan ini tidak boleh makan bungtunas bambu yang sering disayur (di Semarang untuk isi lumpia).
Tradisi yang tak kalah menarik adalah "buang anak". Ini dilakukan manakala weton anak sama dengan orangtua. Hal serupa dilakukan baik pada anak laki-laki maupun perempuan satu-satunya dalam keluarga.
Ritual "buang anak" hanyalah simbolis. Praktiknya, bayi diletakkan di atas tampah di depan rumah salah seorang kerabat dan kemudian dipungut oleh si pemilik rumah. Setelah menginap semalam, si bayi dapat dibawa kembali oleh keluarganya.
Ada pula tradisi tukar-menukar perkakas dapur (ijolan céntong) agar memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu. Lebih ekstrem lagi, untuk tujuan yang sama dilakukan ritual nyolong popok (mencuri pakaian bayi) dengan harapan anak yang lahir nantinya berjenis kelamin seperti bayi yang dicuri popok-nya.
Betapa pun, tradisi yang penulis sebut di atas berlaku di Banyumas pada masa lampau dan (mungkin) masih dipakai oleh sebagian masyarakat Banyumas saat ini.
Generasi muda yang telah mengenyam bangku akademik atau kalangan kritis dan modernis boleh jadi akan menentang tradisi petungan secara mentah-mentah. Tulisan berikut hendak mengungkap nilai-nilai positif yang dapat dipetik atau untuk aplikasi di era kekinian.
Kearifan lokal
Meminjam istilah yang banyak dipakai kalangan akademisi, penulis justru menganggap tradisi petungan merupakan salah satu kearifan lokal (local wisdom) yang hidup pada masanya.
Petungan bukanlah sekadar menentukan hari baik: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Secara kultural, melalui budaya ini kita diajari untuk menghormati orang yang dianggap tua (sepuh) baik dalam hal umur ataupun kedalaman ilmunya.
Perlu dicatat, tidak semua orang di masa kini yang dapat melakukan petungan. Hanya satu atau dua orang di sebuah kampung atau wilayah. Sesepuh kampung yang dimintai bantuan secara faktual bukan saja tua dari segi usia, tetapi ia memiliki kelebihan akademis di bidang matematis (pétungan) ketimbang warga kebanyakan.
Artinya, masyarakat masa silam sudah memberikan apresiasi terhadap "kalangan akademisi" yang terepresentasi pada "figur sesepuh" pada zamannya. Menurut hemat penulis, tradisi petungan sama sekali jauh dari klenik atau mistik dari sudut pandang kontemporer.
Secara sosiologis, pada setiap zaman di suatu masyarakat terdapat tokoh-tokoh kunci (key persons) yang dijadikan rujukan atau panutan. Implikasinya, dari sudut ilmu manajemen masyarakat tempo dulu memiliki perencanaan yang lebih matang sebelum melakukan sesuatu. Meskipun, patut diakui, ini tidak terlepas dari peran sosiologis dan implikatif keberadaan sesepuh kala itu.
Dari sudut pandang komunikasi publik, antara sesepuh dan masyarakat pelaku tradisi petungan telah terjadi sinergi. Komunikasi publik tersebut secara komprehensif menyebabkan sebuah event (pernikahan, khitan, membangun rumah, dan sebagainya) terpublikasi secara luas jauh sebelum hari H.
Dampak ikutan dari publisitas atas, kerabat jauh pun menyempatkan diri untuk datang, membantu, dan memberi sumbang pikir agar hajat yang bersangkutan berjalan lancar. Dari sinilah sinergi sosial (gotong royong) pun berjalan, meskipun tidak ada publikasi lewat media massa cetak maupun elektronik.
Keluarga yang hendak menikahkan anak, misalnya, tetap mendapat kunjungan dari sanak kerabat jauh meski tidak menyebar undangan sekali pun. Demikian halnya kelahiran anak, pindahan rumah, selamatan kematian, dan sebagainya.
Fenomena di atas kini makin hilang seiring dengan perkembangan zaman. Penulis pribadi merasa hanyut menyaksikan boyongan rumah di sebuah desa, di sana ada pemandangan menarik: puluhan bahkan ratusan orang beriring-iringan mengantar seseorang yang akan menempati rumah baru. Ada yang menenteng perkakas dapur, ada yang memikul kursi, tikar, dan perabotan lainnya.
Jika iring-iringan tersebut di malam hari, terlihat sejumlah orang membawa lampu petromaks. Pemandangan yang sangat khas adalah anggota keluarga membawa kendi berisi air dan sesampai tujuan, air itu dikucurkan di sekeliling rumah.
Pemandangan di atas adalah potret kearifan lokal yang kini makin hilang. Sayangnya, kalangan pelaku budaya hanya sibuk nguri-uri seni budaya dalam arti sempit seperti lengger, calung, jaran kepang, dan lainnya. Mereka lupa melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dalam suatu ritual "tradisi" di masyarakat yang kian langka.
Akhmad Saefudin Alumnus Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Pemerhati Budaya di Purwokerto, Jawa Tengah Illustrasi Andri.
*****
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/19/10404455/tradisi.petungan.di.banyumas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar