Senin, 17 Mei 2010

Jaka Tingkir dan Mitos Kuasa Jawa

DALAM historiografi kuasa Jawa, kisah Jaka Tingkir jadi gerbang untuk memandang relasi dan perselingkuhan politik Jawa zaman keraton. Jaka Tingkir merupakan simpul kuasa dalam ruang imajinasi manusia Jawa. Kisah Jaka Tingkir tak bisa lepas dari kecerdikan politik, strategi perang, dan relasi diplomatik.

Kisah penguasa Pajang ini juga jadi refleksi untuk membaca Indonesia masa kini. Pada masa kehadiran Jaka Tingkir dalam ruang kuasa Jawa, banyak hal yang mencerminkan Indonesia kini. Konflik, sengketa, genealogi korupsi, praktik rekayasa dan kompetisi antar elite menjadi lambaran untuk mengeja Indonesia di tengah kemelut hukum dan skandal politik.

Ruang kuasa Jaka Tingkir jadi patokan untuk melihat wajah kuasa Jawa pada masa sekarang. Kisah raja Pajang ini hadir untuk terus memberi pernyataan dan pertanyaan terhadap mitos penguasa Jawa. Jejak kepemimpinan Jaka Tingkir juga dihadirkan untuk memberi pentahbisan kuasa formal raja dan presiden di tanah Jawa.
Beberapa penguasa, elite politik hingga presiden, menganggap Jaka Tingkir adalah cermin model kuasa Jawa yang pernah moncer. Nasab Jaka Tingkir juga memberi arah untuk melahirkan pemimpin di ruang politik, agama dan budaya. Darah kepemimpinan Jaka Tingkir menyebar ke pelbagai penjuru melalui keturunan yang sah dan elite yang mengaku sebagai pewarisnya. Legitimasi sebagai keturunan Jaka Tingkir masih ampuh untuk memperkuat benteng kepemimpinan dalam ruang imajinasi dan kesadaran manusia Jawa. Kharisma Jaka Tingkir masih bersemayam dalam ilmu dan laku manusia Jawa, meski telah mangkat berabad-abad lamanya.


Relasi Kuasa


Telah banyak ulasan tentang nasab Jaka Tingkir, namun terkesan sumir. Model kepemimpinan politik Jaka Tingkir membuka ruang penghambaan yang bersandar pada kepercayaan manusia Jawa. Ketika telah mencintai, wong Jawa rela mati untuk mendukung pemimpinnya. Jaka Tingkir berjejak dalam historiografi kerajaan Jawa-Dwipa, namun ia terus dihidupkan dalam ruang imajinasi manusia Jawa.
Dalam studi Slamet Muljana (2005) yang melacak jejak kuasa Hindu dan Islam di Jawa, Jaka Tingkir jadi bab penting yang membuka pembahasan terhadap silsilah, perselingkuhan politik dan hasrat kuasa raja Jawa. Slamet Muljana lewat Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara mengungkap, Jaka Tingkir adalah putra Kebo Kenanga alias Ki Ageng Pengging, cucu bupati Jayaningrat di Pengging. Jayaningrat adalah bupati bekas wilayah kerajaan Majapahit di Pengging di daerah Surakarta dan menantu raja Majapahit prabu Wikramawardhana.

Jaka Tingkir diberinama Mas Karebet, karena ia lahir pada saat Ki Ageng Pengging sedang menanggap wayang Beber, dipungut oleh Nyi Janda Tingkir, bekas istri Ki Ageng Tingkir. Sebagai saudara sepupu Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir punya ikatan emosional kuat. Keduanya adalah murid Syeh Siti Jenar (2005: 245).

Karier politik Jaka Tingkir bermula di Kerajaan Demak. Ia jadi pembesar bawahan yang penting dalam jejak kuasa Islam Demak. Slamet Muljana dalam studi Babad Tanah Jawi, Jaka Tingkir juga berperan menyingkirkan Arya Penangsang. Ketika Arya Penangsang membunuh Sunan Prawoto dan Pangeran Kalinyamat, dendam mengendap dalam diri Ratu Kalinyamat. Jaka Tingkir menyanggupi tawaran Ratu Kalinyamat untuk membalas dendam terhadap Arya Penangsang. Namun tak semata dendam, Jaka Tingkir juga tak rela dengan kesewenangan Arya Penangsang. Dengan bantuan Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, Ki Juru Martani dan Sutawijaya (Ngabehi Loring Pasar), Arya Penangsang Jipang dapat disingkirkan.

Atas keberhasilan itu, Jaka Tingkir mendapat hadiah wilayah Pajang dan beberapa titik lain. Jaka Tingkir memberi tanah Mataram pada Ki Ageng Pemanahan, yang dibantu Ki Juru Martani dan Sutawijaya. Sedangkan Ki Ageng Penjawi berhak mengelola wilayah Pati sebagai tanah perdikan.

Setelah Demak runtuh, Jaka Tingkir menjadi penguasa kerajaan Pajang. Ia mendapat legitimasi dari kiai Jawa dan relasi elite dari ayahnya, Ki Ageng Pengging. Jaka Tingkir menjadikan Pajang sebagai kerajaan disegani di tanah Jawa. Namun, posisi di pedalaman menjadikan ruang kuasa Pajang terbatas. Kerajaan Pajang merupakan titik terbenamnya pesona maritim dan turunnya legitimasi kuasa Jawa di pesisiran. Pajang jadi penanda kerajaan Jawa dengan dominasi pertanian, karena tak punya bandar dagang untuk membuka akses dengan wilayah lain melalui laut Jawa.

Periode kuasa Jaka Tingkir juga mengabarkan tentang jejaring kuasa Mataram pimpinan Sutawijaya, pengganti Ki Ageng Pemanahan. Mataram dan Pajang era Jaka Tingkir mengalami ketegangan, meski tak pecah perang. Jaka Tingkir mangkat setelah wurung (tak jadi) menyerbu Mataram pada 1582. Pajang jadi wilayah kuasa Sutawiya, setelah memuaskan dendam Pangeran Banawa atas Adipati Demak. Jejak Pajang-Mataram sampai dengan ekspansi ke Madiun, Surabaya, wilayah Kedu, Pekalongan dan pesisir timur.


Titisan Pengging


Nama besar Jaka Tingkir dan kerajaan Pajang merupakan refleksi terhadap relasi Islam-kuasa Jawa. Legitimasi sebagai keturunan Jaka Tingkir sering dipakai untuk menuntaskan diri sebagai pewaris sah trah pemimpin Jawa. Jejak legitimasi ini jadi pusaka untuk menempatkan diri dengan model kepemimpinan kuasa elite Jawa.
Namun, yang sering luput dari imajinasi manusia Jawa adalah jejak Ki Ageng Pengging (Kebo Kenanga) dalam diri Jaka Tingkir. Ki Ageng Pengging tak hanya mengalirkan darah, namun juga membekas dalam visi dan laku Jaka Tingkir.

Nancy K Florida, dalam studi terhadap Babad Jaka Tingkir, mengungkapkan peran Kebo Kenanga sebagai penting dalam pembangkitan kekuatan pinggiran. Dalam Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (2003: 424-429), Nancy menganggit: ‘’Ki Ageng Pengging sebagai sosok ‘ketidakdapatditentukan’, berada di luar kategori pilihan antar alternatif-alternatif seperti: luar versus dalam, jiwa versus raga, kuasa duniawi/ politis versus kuasa spiritual. Ki Ageng Pengging adalah sosok pinggiran yang melawan keterpinggiran. Dalam Babad Jaka Tingkir, Ki Ageng Pengging adalah seorang kiai pesantren yang juga, di bawah permukaan, seorang pangeran. Namun, dia adalah pangeran yang menolak cara hidup, busana dan bahasa istana,’’ tulis Nancy.

Pembahasan Jaka Tingkir sering melalui Demak, Pajang dan Mataram, namun melupakan Pengging. Ki Ageng Pengging punya peran substansial dalam diri Pangeran Adiwijaya. Jaka Tingkir jadi titisan Kebo Kenanga yang menjadi simpul kebangkitan kekuatan piggiran dalam stratifikasi kuasa Jawa. Jaka Tingkir terus menghidupi dan dihidupi oleh imaji manusia Jawa. Jejak kuasa Jaka Tingkir disepuh sebagai legitimasi kepemimpinan Jawa modern. Namun, legitimasi ini sering mereduksi model kepemimpinan Jaka Tingkir.

Goenawan Mohamad (2003) dalam ‘’Paradigma Pengging’’, berujar: ‘’dari gambaran Babad Jaka Tingkir, takhta tak sendirinya berkaitan dengan, atau mencerminkan, tata’’. Sudahkah relasi takhta dan tata berjalan linier dalam ruang kuasa dewasa ini?...

(Munawir Aziz, esais dan peneliti, lahir di Pati, Jawa Tengah/)

*****


Sumber: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2009/11/29/468/Jaka-Tingkir-dan-Mitos-Kuasa-Jawa

1 komentar:

  1. wah, menarik mas. ulasanya ttg Joko Tingkir. di lanjutkan mas. ttg siapa sesungguhnya Sutowijoyo? benarkah putra Pemanahan? atau putra Tingkir yang dititipkan ke Pemanahan? gimana menurut Wied?

    BalasHapus