Selasa, 04 Mei 2010

VERSI KECIL DARI KISAH SEBUAH KOTA

Purwokerto, Dulu dan Kini

Hantaran Awal


Awal-awal abad XX. Pada suatu kota. Saat itu, babak baru dalam tata ruang tengah memasuki kota tersebut. Setiap jalan terlihat lebar. Pepohonan hijau nan rindang meneduhi para pejalan kaki ketika melintas di area pedestrian. Jalan-jalan terlihat asri. Sulit untuk membedakan antara jalan utama dengan jalan penghubung. Di depan gedung karesidenan, terdapat sebuah taman kota. Taman Merdeka, nama taman itu. Sebuah taman untuk tempat warga kota melepas penat setelah kesibukan. Kota terasa nyaman bagi warganya. Inilah suasana Kota Purwokerto dengan perencanaan tata ruang yang baru. Suatu masa ketika Pulau Jawa mulai berkembang.

Saat itu, kota-kota di Pulau Jawa tengah mengalami lonjakan penduduk. Kota-kota meledak. Hampir di setiap kota, pertambahan penduduk sekitar 10 kali sampai 20 kali lipat. Kota-kota, mengalami masalah akut tentang tata ruang. Pemerintah kolonial Belanda kelimpungan menghadapi persoalan itu. Sibuk mencari model pembangunan bagi kota-kota di Jawa.

Saat kesibukan meliputi Pemerintah Kolonial Belanda, Herman Thomas Kartsen menjejakkan kaki di Semarang pada 1914. Kota yang juga tengah mengalami persoalan pertambahan penduduk. Dalam catatan W.F. Wertheim melalui buku Masyarakat Indonesia dalam Transisi, pertambahan penduduk di kota itu hampir mencapai seratus persen. Di kota tersebut, Kartsen menemui Henri Maclaine Pont. Pont adalah teman Kartsen semasa kuliah di Insitut Teknologi Delf, Amsterdam, Belanda. Di Semarang, Pont mendirikan biro arsistek. Melalui Pont, Kartsen mendapat banyak informasi tentang keadaan Semarang dan kota lainnya. Kedatangan Kartsen di Semarang adalah guna merancang Kota Semarang dan kota-kota di Pulau Jawa.

Konsep Kartsen tentang tata kota, diakui kehandalannya. Kartsen dikenal tidak pernah merubah kota lama dalam konsep perencanaan tata ruangnya. “Daerah kota lama harus dihidupkan kembali sebagai indentitas kota dan sejarah kotanya di masa lampau,” kata Kartsen. Dengan konsep itu, Kartsen berusaha menghubungkan kota lama dengan kota baru sebagai perkembangan sebuah kota. Lantas, mempertahankan skyline kota tidak lebih dari tiga lantai. Kartsen lebih mengutamakan pertambahan daerah hijau yang penuh pepohonan sebagai ciri suatu kota di daerah tropis. Konsep Kartsen saat itu dianggap melawan arus.

Kartsen merubah tata lingkungan perumahan yang sudah ada. Penataan lingkungan perumahan yang membagi wilayah pemukiman berdasarkan etnis. Pembagian wilayah antara perumahan orang Eropa, perumahan orang Cina(pecinan), kampung Arab dan daerah hunian penduduk, dirubahnya. Kartsen memilih pembagian tata lingkungan perumahan berdasarkan ekonomi.

Kelas jalan boulevard, straat dan laan ditempatkan penghuni dari kelas ekonomi menengah ke atas. Kapling-kapling di kelas jalan tersebut terlihat lebih luas. Sementara penghuni dari kelas ekonomi menengah ke bawah mempunyai kapling yang lebih sempit. Mereka terletak di jalan-jalan sempit bahkan sampai ke gang-gang. Pembagian wilayah hunian perumahan berdasarkan kelas ekonomi oleh Kartsen adalah dalam rangka menjawab tantangan yang sedang dihadapi pemerintah kolonial Belanda, yakni ledakan penduduk.

Memasuki tarikh XX, pemerintah kolonial Belanda yang terpusat di Batavia kepayahan mengontrol kota-kota di Pulau Jawa. Sistem pemerintahan yang sangat terpusat sudah tidak bisa diharap lagi untuk menanggulangi persoalan akibat ledakan penduduk. Pada 1905 dikeluarkan Undang-Undang(UU) Desentralisasi untuk menjawab masalah itu. Melalui UU Desentralisasi, Jawa dipecah menjadi beberapa Gemeente. Gemeente merupakan satuan wilayah administratif setingkat kotamadya. Gemeente inilah yang mengatur perkembangan sebuah kota secara administratif dan secara fisik, meski kontrol pemerintahan masih tetap di pusat, Batavia. Kebijakan itu diwujudkan dengan menyewa arsitek dan planolog untuk merancang kota-kota di Jawa.

Kartsen adalah salah satu arsitek cum planolog yang ditugasi oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk menata kota. Selain Semarang, Jakarta, Bogor dan masih banyak kota lagi, bahkan kota di luar Pulau Jawa, Kartsen juga ditugasi untuk menata Kota Purwokerto. Tak heran, tata ruang Kota Purwokerto saat itu, tak jauh beda dengan kota-kota yang digarap Kartsen. “Purwokerto punya hubungan ‘trah’ dengan Menteng,” kata Soegeng Wiyono, kolektor foto-foto lama Banyumas, dalam suatu kesempatan diskusi.

Usaha Pembentukan Sebuah Kota

Kota Purwokerto saat itu masih tertatih dalam perkembangan. Kalah pesat dibandingkan dengan Sokaraja. Saat itu, Sokaraja telah menjadi kota dagang yang ramai. Sementara Purwokerto masih mencari bentuk sebagai kota. Secara geografis kota ini sempat terisolasi. Karenanya, dalam pencarian bentuk masih merambat. Pembentukan sebuah kota yang penuh dengan dinamika.

Pembentukan Kota Purwokerto dapat dilihat jauh ke belakang, bahkan hingga ke pertengahan abad XIX. Masa-masa pembentukan Banyumas di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Pada 13 Desember 1830, Jenderal Van Den Bosch menetapkan Banyumas sebagai wilayah resmi kekuasaan Belanda. Banyumas ditetapkan sebagai karesidenan yang lepas dari kekuasaan Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta. “Itu tak bisa dilepaskan dari sejarah berakhirnya Java Oorlog,” tulis R.M.S. Brotodiredjo dan R. Ngatidjo Darmosuwondo, dalam karya tulis berjudul Inti Silsilah dan Sedjarah Banjumas.

Java Oorlog merupakan istilah pemerintah kolonial Belanda terhadap perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Perang selama lima tahun(1825-1830) yang menewaskan 8000 serdadu Eropa dan 7000 pasukan Diponegoro itu, juga memakan korban sekitar 200.000 rakyat Jawa. Penduduk Jawa menyusut hampir setengahnya. Pihak Belanda mengalami kerugian hingga 30 juta gulden, belum ditambah biaya untuk keperluaan militer hingga 2 juta gulden. Atas kerugian tersebut, pemerintah kolonial Belanda meminta pihak Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta untuk menanggung beban biaya perang. Bagi pihak Belanda, perlawanan Diponegoro adalah pemberontakan rakyat Jawa terhadap dua kerajaan itu dan mereka telah membantu dalam memadamkan pemberontakan. Dua kerajaan besar di Jawa itu menolak dengan dalih tidak mempunyai uang begitu banyak untuk membiayai kerugian akibat perang. Sebagai ganti penolakan, pemerintahan kolonial Belanda meminta sebagian wilayah yang dikuasai kedua kerajaan itu, yakni mancanegara bagian barat, Banyumas dan Begelen, sebagai ganti kerugian Belanda akibat perang.

Melalui Comisie ter Regeling der Zaken(Komisi Urusan Tanah-tanah Kerajaan), M.H. Hellewijn, Residen Pekalongan, diserahi tugas untuk mengambil alih tanah-tanah mancanegara Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta pasca Perang Diponegoro di bagian Banyumas. Dengan langkah gegas, dia meminta seluruh bupati di wilayah Banyumas untuk mengumpulkan piagam pengakatan bupati oleh Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dana kompensasi sebesar 90 ribu gulden, digelontorkan. Dana kompensasi itu oleh Belanda dibagi untuk dua kerajaan. Sebanyak 80 ribu diserahkan kepada Kasunanan Surakarta, sisanya diberikan kepada Kasultanan Yogyakarta. Dana kompensasi merupakan biaya gadai atas wilayah Banyumas. Sejak itu, Banyumas masuk dalam jajahan Belanda.

Untuk menghargai tugas yang telah dilakukan, M.H. Hallewijn ditetapkan sebagai Residen Banyumas pertama. Diawal tugasnya, dia melakukan pendataan daerah-daerah sekitar Banyumas. Hasil kerjanya dilaporkan dan dijadikan acuan kebijakan Batavia untuk membagi wilayah Banyumas.

Pada November 1831, berbekal laporan Hallewijn, Jenderal de Kock mengunjungi Banyumas untuk menetapkan Banyumas sebagai karesidenan. Melalui besluit, de Kock menetapkan Karesidenan Banyumas secara adminsitratif membawahi 5 kabupaten, yakni Banyumas, Ajibarang, Purbalingga, Banjarnegara dan Majenang. “Pembagian wilayah dalam lingkup yang lebih kecil merupakan strategi Belanda,” tulis Purnawan Basundoro dalam artikel Perubahan Pemerintahan di Wilayah Banyumas. Dengan wilayah yang semakin kecil, maka pemerintahan Kolonial Belanda lebih mudah melakukakan pengawasan penduduk. Dan terutama dari itu, pengumpulan pajak jadi lebih mudah. Inilah masa ketika Sistem Tanam Paksa diberlakukan di daerah Banyumas. Hal ini bisa dilihat dengan berdirinya Pabrik Gula Kalibagor pada 1839.

Purwokerto hanyalah bagian dari Kabupaten Ajibarang. Setara dengan distrik Jatilawang dan Ajibarang. Dengan gaji F 900 perbulan, Martadiredja II/Bratadimedja (berkuasa 1830-1856) ditetapkan sebagai bupati pertama Kabupaten Ajibarang yang membawahi wilayah Purwokerto.

Lantaran Ajibarang sering didera angin Grubugan(puting beliung) yang serangannya sampai 40 hari, ditambah Bupati Majenang terserang sakit dan diasingkan ke Padang, Martadiredja II mengajukan usul kepada asisten residen Banyumas agar pusat pemerintahan Kabupaten Ajibarang dipindah ke Purwokerto. Saat itu, Purwokerto masih dalam pemerintahan Adipati Pancurawis yang mulai meredup. Asisten Residen Verkevisser, yang menjabat residen Banyumas saat itu, menyetujui usulan dan menggabung Kabupaten Ajibarang dan Kabupaten Majenang dengan gubermen bertempat di Purwokerto. Secara resmi pada 1832, bupati berdiam di Peguwon dan asisten residen menempati loji di Dukuh Sawangan (sekarang Markas KODIM), Desa Kedungwuluh.

Perpindahan pusat pemerintahan juga terjadi di Karesidenan Banyumas. Pada 1843, rumah karesidenan di Kampung Pesanggrahan dipindah ke Kajawar, Karanggandul. Bersamaan dengan itu, dibangun jalan Banyumas ke selatan hingga sampai Buntu. Lantas ditarik ke barat sampai Cilacap. Bencana, juga tak luput melanda Karesidenan Banyumas. Air Kali Serayu meluap. Banjir melanda Banyumas. Banyumas terendam air hingga setinggi pohon kelapa. Banjir itu berlangsung selama empat hari empat malam. Tepatnya 21-23 Februari 1861. “Itu sudah diramalkan oleh para sesepuh Banyumas,” tulis R.M.S Brotodiredjo dan R. Ngatidjo Darmosuwondo. Ramalan itu mengatakan, ”Besuk bakal hana betik mangan mangar.” Ditakhrifkan setelah terjadinya banjir Banyumas artinya, air bah melanda sampai setinggi pohon kelapa sehingga ikan(betik) dapat mencapai bunga pohon kelapa(mangar).

Dinamika Sebuah Pembentukan

Setelah bencana banjir itu, Banyumas mulai menata pemerintahan dan kotanya. Diselingi perselisihan antara Bupati Tjokronegoro dengan Residen C. de Clerk van Molenburg pada 1879, pemerintahan kolonial Belanda mulai membangun infrastruktur di wilayah Banyumas, yakni sarana transportasi. Yang paling menonjol dari itu adalah pembangunan jalur kereta api. Ini merupakan realisasi dari dekrit yang dikeluarkan Raja Willem I. “Guna memajukan transportasi produk dan benda lain, … akan dibangun sebuah jalur rel kereta api dari besi,” kata Willem I seperti dikutip Rudolf Mrazek dalam pustaka Engineers of Happy Land. Di wilayah Banyumas, realisasi itu mulai terlaksana pada 1886. Pada tahun tersebut, jalur kereta api S.S(Staats Spoorwagen) dibuka untuk melayani rute Bandung-Yogyakarta via Maos dan Kroya.

Pembukaan jalur kereta api Bandung-Yogyakarta di wilayah Banyumas melengkapi proyek besar pemerintahan kolonial Belanda untuk menyambung limabelas kota besar Pulau Jawa menjadi satu. Jalur kereta api, telah menyambungkan Batavia, Bogor, Bandung, Tegal, Solo, Yogyakarta, Semarang, Cilacap, Madiun, Kediri, Blitar, Malang, Surabaya, Pasuruan, dan Probolinggo. Menurut laporan Indisch Genootschap, tulis Mrazek, kereta api di Pulau Jawa merupakan, “kemenangan paling mengagumkan oleh umat manusia atas waktu dan jarak, insentif paling kuat untuk bekerja keras, pertukaran nilai-nilai, dan peradaban.”

Dengan pembukaan jalur kereta api, perlahan, Banyumas bertambah ramai. Kereta api menambah sarana transportasi yang telah ada sebelumnya di Banyumas, yakni jalur transportasi Kali Serayu. Banyumas kian bertambah ramai setelah dibangun jembatan yang menghubungkan Banyumas-Purwokerto pada 1891. Keramaian itu semakin semarak dengan pembukaan jalur kereta api SDS(Seraju Dal Stoamtram My) jalur Maos-Banjarnegara pada 1896. Pembukaan jalur itulah yang menjadikan Sokaraja menjadi pusat perdagangan.

Proyek pemerintahan kolonial Belanda membangun jalur kereta api untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi daerah Banyumas terus berlangsung. Purwokerto pun tak lepas dari rambahan jalur ular besi. Pembukaan jalur kereta api SS(Straats Spoorwagen) jalur Cirebon-Kroya pada 1917, membuka jalan perkembangan kota ini. Sejak itu, Purwokerto terlepas dari belenggu isolasi geografis. Inilah awal-awal ketika kemajuan ekonomi tanah Jawa mulai merebak. Orang-orang Eropa mulai berdatangan ke Hindia Belanda. Mereka umumnya akan mengerjakan beberapa proyek di Hindia Belanda. Beberapa dari mereka, tak jarang juga membawa serta sanak keluarganya. “Sekitar 60 ribu orang Eropa, tinggal di Hindia Belanda,” tulis Mrazek.

Perkembangan ekonomi Hindia Belanda ternyata tidaklah berlangsung lama. Pada tahun 1930-an, krisis ekonomi melanda dunia, tak terkecuali Hindia Belanda. Inilah zaman yang sering disebut dengan zaman malaise. Usaha dagang maupun usaha perkebunan selalu gagal(mleset) menuai hasil. Orang-orang Jawa memelesetkan zaman ini dengan sebutan zaman mleset.

Pada masa zaman mleset ini, kelaparan melanda Banyumas. Penduduk Purwokerto banyak terserang penyakit honger oedeem(busung lapar). Di jalan-jalan Purwokerto, terutama di hari Minggu, banyak pengemis berkeliaran. “Pakaian mereka seadanya, pakaian pating srewidil, badannya kurus kering, kakinya bengkak-bengkak perutnya terlihat buncit,” kenang Martadiredja Gandasoebrata, Bupati Banyumas ke-15 ketika mengisahkan masa itu.

Pada masa itu, ekonomi Hindia Belanda benar-benar pating srewidil (compang-camping). Pakaian, perhiasan, perkakas rumah tangga, dan alat-alat pertanian tumpang tindih di gudang penggadaian. Gudang-gudang penggadaian menumpuk barang gadai. Pabrik dan perkebunan gulung tikar. Masyarakat tidak mempunyai mata pencaharian.

Di pedesaan wilayah Banyumas, masyarakat terpaksa memakan daun, ares(bonggol) pohon pisang, ampas ketela pohon(gaber) atau ampas pohon aren(gelang). Pada masa ini, ampas kelapa dan bungkil, yang juga disebut dengan bongkrek, menjadi makanan favorit masyarakat. Semua makanan itu tidak mempunyai kadar gizi sama sekali. “Akibatnya, masyarakat menderita kekurangan gizi,” lanjut Martadiredja Gandasoebrata. Tak ayal, beberapa penyakit merebak di masyarakat, terutama penyakit kulit. Gudig, koreng, patek dan borok, bukanlah penyakit yang aneh pada masa itu.

Para pangreh praja berusaha mengatasi kelaparan itu. Dapur-dapur umum didirikan. Di kawedana, kecamatan dan desa-desa, dapur-dapur umum berupaya memenuhi makan masyarakat yang dinilai benar-benar miskin dan tidak mempunyai pekerjaan. ‘Rumah miskin’ pun dibentuk. Dalam rumah itu, setiap penduduk miskin diberi makan, pakaian, layanan kesehatan dan pendidikan. Pemerintahan kolonial Belanda menyediakan sumbangan melalui Welvaarts Fonds (Yayasan Kesejahteraan). Sumbangan dari yayasan tersebut digunakan untuk proyek padat karya bagi masyarakat. Pendirian sentral listirk di Ketenger, Baturaden merupakan salah satu hasil dari proyek ini.

Lataran krisis ekonomi yang terus berkepanjangan, keuangan pemerintah kolonial Belanda menipis. Anggaran pemerintahan untuk daerah kekuasaan sudah tidak mampu lagi dibiayai. Dengan alasan itu, pada 31 Desember 1935 diputuskan Kabupaten Banyumas digabung dengan Purwokerto menjadi Kabupaten Banyumas, beribu kota di Purwokerto. Ditandai dengan pindahnya Pendopo Si Pandji, atap pendapa kabupaten, dari Banyumas ke Purwokerto, pada 7 Januari 1937, Purwokerto resmi menjadi ibu kota Kabupaten Banyumas.

Proses pemindahan ibukota kabupaten Banyumas adalah sebuah proses yang unik karena Pendopo Si Panji yang masih utuh dibongkar dan dibawa menyusuri Sungai Serayu selama beberapa hari melewati kabupaten di Pantai Utara. Ini sesuai dengan mitos lama masyarakat Banyumas untuk tidak menyeberangi Sungai Serayu, karena dianggap akan membawa ketidakberuntungan bagi kabupaten baru hasil penggabungan.

Proses perpindahan itu disambut meriah oleh penduduk Purwokerto. “Sepanjang jalan, kami telah memperoleh perhatian yang mengharukan, terutama ketika mobil kami membelok di alun-alun, rakyat mendekati kami dengan wajah berseri-seri,” kisah Soedjiman Martadiredja Gandasoebrata ketika melakukan perpindahan ke Purwokerto pada 5 Maret 1937. Beda sehari, sebelum pernikahan Putri Mahkota Julianna dengan Pangeran Prins Bernhard.

Sejak tahun itu, seperti kota-kota di lain tempat, Purwokerto menata kembali kotanya. Dengan menggunakan uang kas masjid dan pinjaman dari Steunfonds Algemeen Nut, pusat kota ditata. Beralasan tidak mempunyai pemandangan yang menyenangkan, alun-alaun Purwokerto ditata ulang. Lapangan tenis disamping timur alun-alun di pindah ke muka Sekolah Pertukangan. Sekolah itu, kelak menjadi SMK 1 Purwokerto. Gedung ketoprak di muka alun-alun dipindah ke Pasar Manis (sekarang Gedung Kesenian Soetedja). Bangunan di sebelah selatan masjid, ditata ulang dengan bangunan beton yang terbagi menjadi beberapa toko kecil. Pos penjagaan alun-alun di sebelah barat, dibongkar dan tembok direndahkan dengan maksud agar pendapa kabupaten bisa terlihat.

Perubahan juga menyangkut pohon yang berada di alun-alun. Pohon beringin di tengah-tengah alun-alun yang ditanam Eyang Buyut Kalibogor/Mertadiredja II sekitar 1832, diganti karena sudah lapuk dimakan usia. Seperti alun-alun di kota lain, alun-alun Purwokerto yang dibagi dua tetap dipertahankan lantaran alun-alun Purwokerto bukan alun-alun keraton. “Pada waktu zaman Mataram, alun-alun kabupaten dengan dua beringin kurung memang dilarang raja karena dianggap menyaingi raja. Tapi agaknya Pemerintah Hindia Belanda malah menganjurkan alun-alun terbelah dua dengan dua beringin kurung,” urai Soedarmadji dalam tulisan Alun-alun Banyumas.

Dalam Kobaran Api Revolusi

Belum juga penataan selesai. Kekuasaan Hindia Belanda berpindah tangan. Pada 8 Maret 1942, dalam sebuah pertemuan di Kalijati, Jepang memungkasi kekuasaan Hindia Belanda di tanah Jawa. Dengan cepat, Jepang membentuk tata pemerintahan baru. Melalui Undang-Undang Perubahan Tata Pemerintahan di Jawa yang terbit pada 1 Agustus 1942, Jepang melakukan banyak perombakan di bidang tata pemerintahan. Paling utama dari usaha itu, Jepang mengerahkan para pemuda untuk membantu dalam perang Asia Raya. Terbentuklah beberapa badan-badan keprajuritan. PETA, Heiho, Sainendan, Kebodan dan masih banyak lagi, tersebar di beberapa kota.

Tak lama Jepang berkuasa. Dalam pertempuran internasional, Jepang keok. The Fat Man dan The Little Boy melantakan Hiroshima dan Nagasaki. Menghadapi kenyataan tersebut, Jepang bergegas membubarkan Heiho dan PETA. Pembubaran itu dengan tujuan agar PETA dan Heiho tidak melakukan pembrontakan terhadap Jepang. Di sekitar Karesidenan Banyumas, pada 15 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA. Satu Daidan yang bermarkas Kroya menolak dibubarkan. Daidan ini dipimpin Daidanco Soedirman. Atas penolakannya, Soedirman ditahan di Bogor. Namun, usaha Jepang hanya sebatas usaha. Indonesia memproklamasikan diri, pada 17 Agustus 1945. Pernyataan itu sekaligus mengenyahkan kekuasaan Jepang di Indonesia.

Pasca Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan, prajurit PETA di Banyumas mengumpulkan senjata dan alat perang. Senjata dan alat perang itu kemudian ditimbun di markas KidoButai Purwokerto (sekarang SMA 2 Purwokerto). Pada 22 Agustus 1945 bersamaan dengan keluarnya Maklumat pemerintah Indonesia tentang Badan Keamanan Rakyat (BKR), Soedirman pulang dari tempat tahanan. Dia kemudian mengumpulkan bekas anak buahnya dan memerintahkan mereka untuk pulang ke kampung halaman dengan bekal 6 bulan gaji. “Tak lupa pesan kepada semua agar mereka cepat kembali apabila dibutuhkan,” demikian catatan yang terdapat dalam buku Sejarah Penggalian Kembali Hari Jadi Widjajakusuma.

Pada 1 September 1945, Soedirman mengumpulkan semua bekas prajurit PETA di Karesidenan Banyumas. Digelarlah rapat untuk membahas keadaan Banyumas. Sekitar 60 orang, hadir dalam rapat tersebut. Mereka adalah para prajurit bekas PETA, wakil organisasi pemuda dan pejabat tinggi setempat. Setelah 6 hari melakukan rapat di Gedung Yosodarmo Purwokerto, diputuskan tiga hal. Tiga putusan itu adalah tentang mekanisme pengumpulan orang Jepang di Banyumas, pengumpulan senjata milik PETA dan Jepang serta perundingan dengan pimpinan tentara Jepang, Tasake.

Mulusnya pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang adalah hasil kerjasama yang baik antara kalangan pejuang tua dan muda di Purwokerto. Wakil Residen Banyumas (Mr. Ishaq Tjokroadisurjo) adalah satu tokoh penting yang berperan besar dalam memuluskan transisi kekuasaan di Banyumas, disamping tokoh lain seperti Kyai Raden Mochtar (NU)[1] dan Kyai Abu Dardiri (Muhammadiyah)[2]. Mr. Ishaq sendiri adalah seorang tokoh nasionalis tua Banyumas yang sangat disegani asal Surabaya, masih terhitung keponakan HOS Tjokroaminoto, dan teman dekat Ir. Soekarno. Belakangan dia diangkat menjadi Residen sebelum akhirnya menjadi Menteri Perekonomian pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada masa Demokrasi Liberal.

Pada 9 September 1945, Soedirman bertindak sebagai wakil delegasi ketika berunding dengan Tasake dan Syucokan (Residen) Iwasige. Jepang menyepakati perpindahan senjata. Daidan Gatot Soebroto ditugasi untuk mengumpulkan senjata dan alat perang dari Jepang. Sementara, penduduk Jepang, baik sipil maupun militer, dikumpulkan di bekas Kasatrian PETA Banyumas. Sekitar 400 orang Jepang terkumpul pada saat itu. Senjata-senjata Jepang, oleh Soedirman, kemudian dibagi ke BKR yang berada di Pekalongan, Tegal dan Yogyakarta.

Setelah Jepang pergi, Bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan Belanda yang berusaha menguasai Indonesia lagi. Beberapa tokoh pergerakan Indonesia, terbelah menjadi dua kubu antara pro-diplomasi dan anti-diplomasi. Kota Purwokerto tak lepas dari kemelut pertentangan itu. Bahkan Kota Purwokerto menjadi tempat transit beberapa tokoh pergerakan nasional.

Pada masa pergolakan politik pasca proklamasi kemerdekaan, Purwokerto pernah dipertimbangkan sebagai ibukota sementara negara yang baru dibentuk. Infrastruktur kotanya yang relatif baik, posisinya yang strategis, kepemimpinan daerahnya yang didominasi kalangan “republiken”, dan kuatnya dukungan rakyat terhadap Soekarno-Hatta mungkin menjadi salah satu pertimbangan untuk itu. Soegeng Wijono mencatat bahwa rakyat Banyumas sudah menyediakan sarana gedung perkantoran untuk keperluan perpindahan itu. Sejarah kemudian mencatat bahwa Soekarno-Hatta lebih tertarik dengan tawaran Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota sementara. Namun demikian, pada masa kegentingan politik masa itu, Kementrian Dalam Negeri tetap mempertahankan kantor pusatnya di Purwokerto.

Pada 4 Januari 1946, tulis Majalah Mingguan Tempo, Kota Purwokerto menyala-nyala. “Bintang Merah, bendera Partai Murba, berderet setengah kilometer dari alun-alun kota hingga Gedung Societeit (sekarang RRI Purwokerto), balai pertemuan merangkap bioskop,” lanjut Majalah Mingguan Tempo. Di gedung itu, diadakan rapat besar. Sekitar 300 orang memenuhi gedung itu. Mereka adalah wakil dari 141 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan laskar. Peserta rapat datang dari berbagai daerah. Mereka yang tiba dari Purbalingga, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, dan Solo, turun di Stasiun Timur. Adapun perserta dari Jawa Barat, turun di Stasiun Raya.

Tan Malaka, tokoh pergerakan Partai Murba, penulis pertama gagasan pendirian Republik Indonesia, berpidato di rapat itu. Rapat itu menolak langkah diplomasi yang dilakukan Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir dengan Sekutu yang diboncengi tentara Belanda. Suasana rapat semakin gemuruh ketika Panglima Besar Jenderal Soedirman berpidato pada rapat itu. “Lebih baik diatom daripada merdeka kurang dari 100 persen,” lantang Soedirman. Kesepakan rapat menghasilkan pembentukan Persatuan Perjuangan(PP) untuk menentang langkah-langkah diplomasi dengan Sekutu. Bagi PP, diplomasi hanyalah siasat Belanda untuk menguasai Indonesia lagi. Sejak itu, sepanjang tahun 1946, Tan Malaka dan Soedirman kerap bertemu.

Apa yang ditakutkan PP menjadi kenyataan. Belanda melancarkan serangan di berbagai daerah pada 21 Juli 1947. Tujuan serangan adalah menguasai perkebunan teh, kopi dan karet. Serangan Belanda pun sampai di Purwokerto.

Pada tanggal 1 Agustus 1947, Purwokerto diduduki Belanda. Menghadapi hal tersebut, rakyat Banyumas melakukan perang gerilya. Pada sidang di Desa Ketenger, Baturaden, para pimpinan di Purwokerto memutuskan Letda. Soepeno sebagai pimpinan perang gerilya melawan Belanda di Purwokerto. Kesatuan pasukan gerilya bernama Pancakoa dibentuk. Setiap malam, pasukan ini menyerang pos-pos pertahanan Belanda. Pada 30 Agustus 1947, pasukan ini berhasil membakar gudang senjata Belanda di Desa Kembaran, Purwokerto.

Di samping pasukan gerilya pimpinan Soepeno, pimpinan gerilya lain yang terkenal pada masa itu adalah Letnan Pudjadi. Pasukan Pudjadi terkenal karena aksi penghadangan yang dilakukan pasukannya terhadap pasukan Belanda di daerah Bandajuda, Cilongok. Lewat taktik supit urang, Pudjadi sukses menimbulkan kerugian besar terhadap pasukan Belanda yang sedang mencari sarang pejuang di daerah itu. Pimpinan pasukan gerilya yang belakangan menjadi Bupati Banyumas (1972-1978) ini kemudian lekat dengan nama Pudjadi Djaring Bandajuda.

Di kalangan pelajar Purwokerto, perang gerilya juga melahirkan local hero-nya sendiri. Salah satu organ perjuangan di kalangan pelajar yang aktif pada masa itu adalah Pasukan Pelajar IMAM (Indonesia Merdeka atau Mati). Beberapa pentolan Pasukan IMAM ini belakangan juga ada yang menjadi kader inti perwira militer pasca kemerdekaan.

Revolusi kemerdekaan menciptakan polarisasi sosial dan etnis yang cukup parah di Purwokerto, terutama antara warga keturunan Tionghoa dengan warga pribumi. Warga keturunan Tionghoa yang relatif mapan secara ekonomi banyak yang berpaling kepada Belanda dengan menjadikannya sebagai patron keamanan dan politik. Beberapa bahkan melangkah lebih jauh dengan membentuk pasukan keamanan partikelir (Po An Thui) yang bagi kalangan pejuang gerilya tidak beda dengan pasukan Belanda dan karenanya mereka perangi sebagai musuh.

Perang Bangsa Indonesia melawan Belanda, berakhir pada 3 Agustus 1949. Disusul maklumat Presiden Soekarno tentang pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 17 Agustus 1950. Sejak itu, Bangsa Indonesia mulai menata diri. Pemerintah Indonesia mulai membentuk pemerintahah sipil di setiap daerah.

Pembentukan Sendi Dasar dan Dinamikanya

Revolusi kemerdekaan membawa dampak besar terutama pada struktur politik dan pemerintahan di Banyumas. Birokrasi pemerintahan kabupaten tidak lagi menjadi hak istimewa kalangan priyayi atas dasar garis keturunan. Trah Joko Kaiman yang selama beratus-ratus tahun menjadi elit penguasa di wilayah ini digantikan oleh generasi elit politik baru. Soedjiman Gandasubrata (Bupati Banyumas, 1933-1950) menjadi bupati terakhir yang memperoleh hak pewarisan atas dasar keturunan. Antara 1950-1966, Banyumas dipimpin oleh orang-orang berlatar aktivis politik (PNI) yang sebagian besar di antaranya berasal dari luar wilayah Banyumas.[3]

Menerima tunjangan awal dari pemerintah pusat sebesar Rp 2.070.201,00 pemerintahan daerah Banyumas pada 1950, mulai merangkak. Bersamaan dengan itu, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRDS) Banyumas dibentuk pada 20 Nevember 1950. Beranggotakan 41 orang, hanya ada 4 anggota perempuan dalam dewan itu. Posisi mereka pun tak jauh dari streotip zaman. Satu orang berada di bagian urusan sosial. Tiga lainnya di bagian keuangan.

Dengan anggota sebagian besar laki-laki, DPRD Swantantra bahu membahu dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas membuat pondasi pemerintahan sipil. Di awal tahun 50-an, DPRDS memerlukan kendaraan untuk operasional. Maka dianggarkan dana Rp 80.500, 00 untuk membeli kendaraan. Satu mobil Fiat 1400 dan sebuah Truck Dogde dibeli pada tahun 1951. Dua kendaraan itu merupakan sarana perjalan anggota dewan untuk membangun pondasi pemerintahan. Pondasi untuk menata gerak dan laju kota. Sepanjang tahun 1950 hingga 1955, banyak perkembangan di Kota Purwokerto. Denyut kota mulai terasa.

Dengan tujuan memperoleh pendapatan daerah sendiri, tempat-tempat yang bisa menghasilkan pemasukan daerah, mulai direhabilitasi, dan bahkah dibangun. Gudang, tempat pemotongan hewan dan terutama pasar, menjadi prioritas.

Berlandaskan pada hasil sidang dewan pada 28 September 1951, Pasar Wage diperluas. Memakan anggaran Rp 20.600,00, satu los ditambahkan pada pasar itu. Penataan pasar, merupakan perhatian utama pada tahun ini. Sekitar 90 ribu rupiah dianggarkan untuk perbaikan dan penambahan los pasar-pasar yang ada di Purwokerto dan Banyumas.

Berdirinya pasar menggerakan sektor perdagangan. Dengan biaya sewa Rp 0,50 per hari, masyarakat Banyumas dapat berjualan di pasar. Biaya sewa itu untuk mendapatkan kios seluas 1,5 meter kali 1 meter persegi. Sepanjang tahun ini, dan pada tahun-tahun selanjutnya, perbaikan, penambahan los dan pembangunan pasar selalu ada. Pada tahun 1951 total pemasukan pemerintah daerah Banyumas dari pasar sekitar 45 ribu rupiah. Lebih tinggi dibanding pemasukan lainnya. Bahkan pada tahun 1954, total pemasukan mencapai Rp 1.669.454,63.

Pembangunan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah. Beberapa pihak swasta pun melakukan pembangunan untuk keperluan sendiri. Pembangunan yang dilakukan warga Cina bisa menjadi permisalan. Menjawab kebutuhan untuk bersosialisasi, warga Cina Purwokerto membangun gedung pertemuan. Pada 1952, warga Cina membangun gedung pertemuan Shin Hwa She (dikenal juga dengan Balai Cundomanik dan sekarang SPBU Ovis).

Setelah perbaikan dan pembangunan tempat-tempat yang bisa menambah pendapatan daerah, beberapa sarana umum diperbaiki. Infrakstruktur mulai dibangun. Jalan-jalan mulai ditata.

Pada 1953, anggaran pemerintah daerah Banyumas banyak terserap untuk pembelian tanah dan pembiayaan pelebaran jalan. Empat jalan dalam Kota Purwokerto, yakni Jalan Sekolah, Jalan Kejawar, Jalan Ragasemangsang dan Jalan Kebondalem, diperlebar. Bahkan Jalan Kebondalem, guna pembiayaannya, diputuskan dalam tiga kali sidang. Total anggaran untuk pelebaran Jalan Kebondalem hinga Rp 543,71.

Pada 1954, pembangunan semakin semarak. Pabrik keramik dibangun di sekitar Sokaraja. Di saat bersamaan, pabrik logam dibangun di Kalibagor. Bersebelah dengan pabrik gula yang dibangun Belanda. Tampaknya pemerintah daerah Banyumas berusaha mewujudkan daerahnya sebagai tempat usaha. Sepanjang tahun ini, pemerintah daerah mengijinkan 177 tempat usaha berjalan. Itu artinya menambah jumlah tempat usaha yang sudah ada di tahun-tahun sebelumnya. Di tahun-tahun sebelumnya, ada 775 tempat usaha bergerak.

Munculnya pabrik-pabrik dan tempat-tempat usaha, menarik warga luar Banyumas untuk datang. Kota Purwokerto mulai semarak. Menghadapi tantangan tersebut, pemerintah daerah menilai perlu adanya terminal angkutan guna mempermudah jalur transportasi dan mengundang banyak orang datang ke Purwokerto. Maka, pada 1954, pemerintah daerah menyediakan anggaran sekitar 430 rupiah untuk membuat Stasiun Bis Purwokerto(terminal). Menghabiskan waktu 10 bulan untuk pembangunan, terminal itu berdiri di sekitar Kebondalem.

Keberadaan terminal menambah degup kehidupan Kota Purwokerto. Masyarakat semakin mudah melakukan perjalanan. Kehidupan Kota Purwokerto kian bergairah. Sektor jasa mulai bergerak. Ini bisa terlihat dari kenaikan penerimaan pemerintah daerah melalui pajak keramaian dari tahun ke tahun. Mengantongi pajak sekitar 196 ribu pada tahun 1951, pendapatan dari pajak keramaian meningkat menjadi 549 ribu pada tahun 1953.

Keramaian tak bisa lepas dari soal hiburan. Dan hiburan, bukanlah barang asing bagi masyarakat Purwokerto. Pada 1954, pemerintah daerah menerbitkan 32 surat ijin untuk pertunjukan atau tontonan. Bahkan di beberapa tempat, tontonan itu bisa disaksikan dengan lebih nyaman. Salah satu iklan menujukkan hal itu. Begini iklan yang ditampilkan pada saat itu:

Bioscoop dan Rumah Makan

“ELITA”

Djl. Raja 222 -:- telepon 76

Kuasa : THIO TJOENG LIONG

PURWOKERTO

Bioscoop telah diperbaharui dan diperbesar dengan ukuran:

Pandjang : 35 M.

Lebar : 16 M.

Tinggi : 8 M.


Hingga merupakan bioscoop terbesar dalam kota Purwokerto

Bukan hanya bisa menikmati film di bioskop, warga Kota Purwokerto pun bisa bergaya, bahkan untuk kaum perempuan. Tengoklah salah satu salon kecantikan yang berada di Jalan Raya 227 Purwokerto. Di salon bernama Mei Lie perempuan bisa membuat rambutnya kriting. Setelah itu, bisa mengabadikan penampilan barunya dengan berfoto di studio Star. Sebuah studio foto yang menempati ruangan di sebelah salon Mei Lie.

Itu untuk mereka yang berduit. Bagi mereka yang berkantong cekak, pemerintah daerah Banyumas menyediakan tempat rekreasi di dalam kota. Taman Merdeka yang lokasinya tepat di depan Gedung Karesidenan (sekarang Gedung BI Cabang Purwokerto), dipoles penampilannya. Berbagai jenis bunga ditanam. “Taman Merdeka, tidak sedikit menambah kecantikan Kota Purwokerto,” demikian tertulis pada buku laporan Pantja Warsa DPRDS Kabupaten Banjumas, 1950-1955.

Tidak hanya itu, pemerintah daerah Banyumas juga menyediakan sarana olah raga. Gedung bekas Pabrik Gula Purwokerto yang mangkrak dimanfaatkan menjadi gedung olah raga dan diberi nama ISSOLA Djenderal Soedirman (sekarang Bangunan Pertokoan Matahari). Dengan semangat mens sana in corpore sano lapangan tenis dibangun di sekitar Kebondalem. Pada buku laporan Panjta Warsa tertulis, “bagi kepentingan olah raga tennis : Pemerintah Daerah Kabupaten telah menyediakan dubble-tennisbaan yang masih akan diperluas lagi.” Bahkan pada 15 Januari 1955, pemerintah daerah Banyumas menyediakan dana Rp 202.850,00 untuk membeli tanah guna pembangunan sebuah stadion olah raga. Stadion Widada, nama stadion olah raga itu. Lengkap dengan tribun dan lintasan atletik di dalamnya.

Olah raga, tak bisa dilepaskan dengan kesehatan. Pentingnya kesehatan agaknya sangat diperhatikan oleh masyarakat Banyumas. Di tahun 1955, sudah terdapat 67 toko penjualan obat. Salah satunya Apotik Husadha yang terletak di Jalan Raya 306 Purwokerto. Ini menunjukan layanan kesehatan masyarakat relatif terpenuhi. Belum ditambah dengan balai-balai pengobatan di beberapa ibu kota kecamatan.

Rumah Sakit Umum (RSU) Purwokerto sudah dipastikan melayani kebutuhan jasa kesehatan warganya. Dengan 4 dokter dibantu 90-100 pekerja medis, RSU Purwokerto melayani hingga 4900 konsultasi kesehatan perbulan. Dalam sehari, jika dirata, RSU Purwokerto melayani 196 pasien yang berobat. Dalam satu tahun, setidaknya ada 1728 operasi dilakukan. Atau rata-rata sekitar 114 operasi perbulan, baik operasi besar maupun operasi kecil.

Tenaga medis RSU Purwokerto merupakan lulusan Pendidikan Juru Rawat Purwokerto. Mereka menerima pendidikan selama kurang lebih 4 tahun plus magang di rumah sakit. Setelah dinyatakan sah mendapat ijazah A.I, mereka langsung diterima bekerja di rumah sakit yang ada di sekitar Banyumas. Perkerjaan utama mereka terutama, membantu proses persalinan. Pada 1955, di RSU Purwokerto terjadi 83 kelahiran perbulan.

Tingginya angka kelahiran, menjadikan kebutuhan pemukiman semakin tinggi. Para pengembang perumahan saat itu cepat membaca peluang. Setelah perumahan rakyat-sehat yang disediakan pemerintah daerah Banyumas di kompleks Berobahan dipenuhi penghuni, pengembang perumahan menawarkan perumahan di Kranji. Pada 1955, terpampang reklame penjualan rumah. “Apakah saudara membutuhkan rumah rakyat yang sehat?,” demikian kalimat yang terdapat dalam reklame itu. Raklame itu diteruskan dengan kalimat penawaran sebagai berikut,

“Rumah Rakjat Sehat Krandji Purwokerto”


“Hubunganlah dengan Jajasan Kas Pembangunan(Bouwkas) Kabupaten Banjumas d/a. Kantor Pekerdjaan Umum Kabupaten!

Hanja Rp 6.- (Enam Rupiah) saben bulan untuk pindjaman Rp 1000.- (Seribu Rupiah) atau 6,67 pct. Setahun dalam waktu 15 tahun.

Ini berarti saudara memberi angsuran lebih sedikit dari membajar bunga.”


Dinamika Kota Purwokerto semakin riuh memasuki pemilihan umum (pemilu) 1955. Seperti halnya di daerah lain, pemilu pertama di Indonesia tersebut berlangsung dengan berbagai macam friksi. Benturan antara partai perserta pemilu menjadi pemandangan biasa. “Waktu menjalankan kampanye beberapa partai politik saling serang-menyerang, ejek-mengejek sehingga dengan hati berdebar-debar setengah orang menanti tibanya hari tanggal 29 September 1955,” tulis Joedodibroto, Residen Banyumas yang menjabat pada masa itu.

Diliputi gosip peracunan makanan di berbagai tempat, pemilu di Banyumas berlangsung dengan aman dan tertib. Tingkat partisipasi pemilih sangat tinggi, sekitar 95 persen. Tercatat 449.947 orang terdaftar sebagai pemilih. Sebanyak 430.976 pemilih menggunakan hak pilihnya.

Pengumuman hasil pemilu mengakhiri masa kerja dewan swantantra Banyumas. Gedung dewan diisi oleh wakil-wakil dari partai pemenang pemilu. PNI, PKI, Masyumi dan NU merupakan representasi kekuatan politik di Banyumas. Para wakil rakyat baru itu, melanjutkan kewajiban yang telah dipenuhi dewan swantantra Banyumas. Pada 20 November 1955, pergantian anggota dewan berlangsung. Dimulailah babak baru dalam dinamika kehidupan Banyumas pada umumnya dan Purwokerto lebih khususnya.

Berbeda dengan periode sebelum 1955 yang banyak diwarnai pembangunan infrastruktur fisik kota, periode antara 1955-1966 ditandai oleh pembangunan fisik yang relatif stagnan. Memburuknya situasi ekonomi makro dan fragmentasi ideologis yang semakin menajam pasca pemilu 1955 sedikit banyak turut menyumbang melambatnya gerak laju perkembangan kota Purwokerto.

Dalam situasi ekonomi dan politik yang tidak kondusif seperti ini, kerjasama erat kalangan Nasionalis-Soekarnois, kelompok Islam, dan militer untuk menggolkan gagasan pendirian sebuah universitas negeri (baca UNSOED) berperan penting dalam meletakkan landasan kuat bagi perkembangan kota Purwokerto selanjutnya. Pendirian universitas negeri di Purwokerto adalah buah dari kerjasama orang-orang seperti Judodibroto (Residen Banyumas/kalangan nasionalis), Kyai Abu Dardiri (Muhammadiyah) dan kalangan elit militer asal daerah Banyumas yang banyak mengontrol birokrasi di pusat pemerintahan saat itu. Akan terbukti kemudian bahwa pendirian sebuah universitas negeri di Purwokerto pada tahun 1963 ini akan membawa dampak positif secara ekonomi dan sosial tidak saja bagi kota Purwokerto tapi Banyumas secara umum.

Berbeda dengan beberapa kota lain seperti Solo, Klaten, dan Kediri yang harus mengalami luka sejarah traumatik dalam pergolakan politik tahun 1965, situasi Purwokerto masa itu relatif tenang. Memang ada cerita lisan yang beredar tentang terjadinya mobilisasi massa besar-besaran berbagai kekuatan politik di kota Purwokerto menjelang Oktober 1965. Namun, tidak pernah tercatat adanya bentrokan fisik yang mengarah pada pertumpahan darah berskala besar. Jikapun ada jatuh korban di wilayah Banyumas, menurut beberapa sumber lisan, itu adalah kasus-kasus terisolasi dan dalam skala yang kecil.

Iskandar Tirtabrata, mantan Panglima Banser Banyumas pada masa itu pernah bersaksi bahwa kalangan NU di Banyumas tidak pernah terlibat dalam bentrok massal dengan kekuatan politik lain yang berseberangan dengannya. Menurutnya, komandan batalyon militer di Banyumas pada saat itu, Mayor Radja Inal Siregar (pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara), relatif berhasil mendekati tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh untuk bersama-sama meredam konflik terbuka.

Namun demikian, gejolak politik tahun 1965 tetap membawa dampak besar bagi perubahan konfigurasi sosial, ekonomi, dan politik di Purwokerto. Pengambil-alihan beberapa aset gedung yang sebelumnya dimiliki etnis Tionghoa di pusat kota dapat menjadi indikasi untuk ini. Sehingga tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa untuk kasus di Purwokerto, dampak utama dari huru-hara politik 1965 adalah goyahnya segregasi ekonomi atas dasar etnis yang dilembagakan sejak masa kolonial.

Pasca 1965 dan sampai dengan 2008, Purwokerto dipimpin oleh figur berlatar belakang militer secara terus-menerus. Ini dimulai sejak kepemimpinan Letkol Inf. Soekarno Agung (1966-1972) sampai dengan kepemimpinan Bupati Kol. Inf. Aris Setiono (1998-2008).[4] Soekarno Agung memberi sentuhan penting bagi perkembangan kota Purwokerto lewat kebijakannya untuk memperlebar Jl. Jenderal Soedirman. Soekarno Agung juga membangun Jl. Pemuda yang meneruskan Jl. Gatot Subroto ke barat menembus Stasiun Purwokerto.

Pelebaran Jl. Jenderal Soedirman disamping menjadi terobosan penting bagi pengembangan ekonomi di pusat kota, juga membawa dampak bagi matinya jalur kereta eks-SDS yang melintas sejajar dengan jalan protokol ini. Seiring perjalanan waktu, jalur kereta eks-SDS dan Stasiun Purwokerto timur bahkan akhirnya ditutup total pada tahun 1980-an.

Sementara itu, pembangunan Jalan Pemuda dan Jalan layang mini di sebelah timur Stasiun Purwokerto membawa pengembangan lebih lanjut daerah Kober dan Bobosan untuk menjadi bagian tidak terpisahkan dari pengembangan kota Purwokerto. Jika pada akhir 1960-an Kober dan Bobosan masih berupa daerah persawahan dan tegalan, sejak awal 1970-an, daerah ini telah berubah menjadi pemukiman yang padat.

Langkah lanjut bagi pengembangan kota terjadi pada masa Bupati Pudjadi (1972-1978). Pudjadi membuat beberapa langkah strategis bagi pengembangan fisik kota, yaitu 1). pembangunan jalur ring road dalam kota (Jalan Gerilya), 2). Pembangunan jalur ring road luar kota (jalan tembus Patikraja-Banyumas menyusuri Sungai Serayu) dan jalan penghubungnya (jalan antara terminal lama ke Pegalongan melewati Karangklesem), 3). Pemindahan terminal bis dari Kebondalem ke terminal baru di Jl. Gerilya (sekarang lahan eks terminal lama), dan 4). Pelebaran jalan-jalan eks jalur gerilya di seluruh desa-desa pedalaman Banyumas.

Berbeda dengan Pudjadi yang memfokuskan proyek pembangunannya pada pembukaan akses daerah-daerah terisolasi, bupati-bupati penggantinya dapat dikatakan menitikberatkan proyek pembangunan pada komersialisasi lahan-lahan perkotaan yang strategis untuk kepentingan bisnis. Sejak masa kepemimpinan Bupati Roedjito, gerak laju dan perkembangan kota Purwokerto banyak ditentukan oleh kalangan pengusaha swasta untuk memaksimalkan keuntungan dari eksploitasi lahan bisnis strategis di tengah kota dalam kolaborasi yang erat dengan aparat pemerintahan daerah.

Kawasan wisata Baturaden, Pertokoan Kebondalem, kompleks eks Pabrik Gula Purwokerto, kompleks eks KODIM, kompleks eks stasiun timur, dan kompleks Pasar Wage adalah beberapa kawasan strategis di tengah kota yang mengalami perubahan fungsi dan fisik untuk melayani kepentingan yang sifatnya komersil. Pengembangan kawasan untuk kepentingan bisnis ini telah mengakibatkan alih fungsi dan kepemilikan lahan yang masif sifatnya. Pada masa Djoko Sudantoko (1988-1998) misalnya, ada lebih dari 100 hektar lahan di Purwokerto yang beralih fungsi dan kepemilikan.

Yang paling kasat mata bisa dilihat tentu saja adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan atau pertokoan. Grendeng misalnya, adalah kawasan yang dalam waktu kurang dari 20 tahun mengalami perubahan besar dari lahan pertanian subur (terkenal dengan varietas Padi Grendeng) menjadi kawasan pertokoan dan pemukiman yang padat. Mekanisme tukar gular/ruislag yang jamak pada masa Djoko Sudantoko juga membuat lahan pertanian berstatus bengkok/banda desa di tengah kota menjadi semakin jarang, jika bukan malah tidak ada sama sekali saat ini.

Purwokerto Masa Kini


Perkembangan Purwokerto dan tata spasial kotanya saat ini dibentuk dari kearifan lokal yang melekat di masyarakatnya serta dinamika relasi kekuasaan yang terjadi sepanjang sejarah perkembangannya. Kearifan lokal dibentuk dan tumbuh dari persentuhan panjang masyarakatnya dengan tradisi Jawa non keraton yang egaliter khas Banyumasan, modernisasi Barat, gerakan anti kolonialisme dan nasionalisme, dan Islamisasi gradual. Sedangkan dinamika relasi kekuasaan menyangkut jatuh-bangunnya kekuatan sosial dominan yang mengontrol ruang publik, baik fisik maupun sosial.

Hal ini juga tidak lepas dari perkembangan ekonomi di wilayah Banyumas secara umum. Jika dibandingkan dengan kondisi 1950-an, Kabupaten Banyumas mengalami perkembangan begitu pesat. Lihat saja pendapatan daerah(PAD) di tahun 2007. PAD pada tahun itu mencapai Rp 864.856.921.192,00. Apalagi perkembangan fisik yang ada di Kota Purwokerto, bisa dikatakan, meluncur deras. Pertokoan di sekitar Kebondalem, Stasiun Timur, Pertokoan Alun-alun, dan terutama Pasar Wage kian ramai. Purwokerto mulai menjadi pusat perdagangan yang menyediakan berbagai barang.

Berbagai infrakstruktur untuk berkembangannya sebuah kota, terpenuhi di kota Purwokerto. Untuk urusan transportasi, di kota ini, ada sekitar 344 angkutan kota(angkot) yang beroperasi. Angkot itu melayani 31 trayek yang menyusuri jalan-jalan di Kota Purwokerto. Transportasi kotanya juga semakin lengkap dengan kehadiran dua armada taksi (Kobata dan Taksi Satria) sejak 3 tahun terakhir. Bahkan, untuk urusan transportasi, kota ini sudah memiliki terminal bus tipe A. Terminal itu merupakan terminal terbesar di Jawa Tengah.

Di bidang properti, kota Purwokerto, bisa jadi melebih kota-kota lain. Sejak berdirinya perumahan Teluk pada tahun 1980-an, ekspansi sektor perumahan di Purwokerto sungguh luar biasa. Hingga tahun 2009, ada sekitar 41 perumahan tumbuh di Kota Purwokerto. Harga property ini berkisar dari 50-jutaan sampai lebih dari 1 milyar per unit.

Pada sektor keuangan, ada sekitar 30 bank lokal/nasional di kota ini sebagai lembaga yang menjaga likuiditas keuangan daerah untuk menggerakan perekonomian. Dan itu bergerak di 15 pasar tradisional, pasar swalayan, dan ratusan toko/ruko yang ada di sekitar Purwokerto. Perkembangan ekonomi kota ini lebih maju dibanding kota-kota di sekitarnya, Banyumas, Purbalingga, Cilacap atau Banjarnegara. Tak heran jika kota ini menempati urutan ketiga dalam jumlah uang yang beredar di Jawa Tengah.

Perkembangan itu mulai sangat terasa memasuki tahun 1990-an. Sektor kredit perbankan mulai bergerak. Ini terlihat dengan mulai maraknya kredit kendaraan, terutama sepeda motor. Sejak itu, sepeda motor bukanlah barang mewah bagi penduduk Purwokerto. Lihatlah di jalanan, penuh sesak dengan sepeda bermesin. Semakin bertambahnya tahun, kredit merambah di berbagai barang. Tidak hanya sepeda motor atau barang elektronik, tapi juga barang perabotan rumah tangga.

Penjualan barang melalui kredit semakin gencar dengan kehadiran praktek lembaga leasing. Lewat lembaga itu, setiap orang bisa memiliki barang kesukaan tanpa harus menyediakan uang di awal pembelian. Penetrasi lembaga ini semakin gencar dengan lebih mempermudah persyaratan. Maka tak heran jika praktek lembaga ini setiap tahunnya mengalami peningkatan 5 persen. Dan itu, sudah dipastikan mendongkrak pendapatan daerah.

Kemudahan memiliki barang menjadikan perilaku konsumtif di kota ini makin kentara. Perilaku ini kian menemukan oasenya dengan munculnya pasar-pasar swalayan. Setelah pasar swalayan skala besar merambah, toko swalayan kecil (minimarket) bermunculan bagaikan jamur di musim hujan. Setidaknya, hingga 2003, ada sekitar 16 minimarket hadir di Kota Purwokerto.

Purwokerto makin bertambah ramai dengan munculnya beberapa kampus. Ada sekitar 21 kampus, dari tingkat diploma sampai tingkat doktoral, berdiri di kota ini. Hampir 60 ribu mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia memadati kota ini. Keberadaan kampus, tentunya juga menciptakan dinamikanya sendiri. Ini adalah efek domino. Keberadaan toko buku merupakan salah satunya. Berdasar data dari banyumaskab.go.id, ada sekitar 11 toko buku yang melayani keperluan bacaan mahasiswa. Sementara toko-toko fotocopy tersebar di berbagai tempat. Belum lagi keberadaan warung-warung internet(warnet). Pada 2008, sudah berdiri 30 warnet di Kota Purwokerto. Itu belum seberapa jika dibandingkan kebutuhan makan mahasiswa. Saat ini, pemandangan pedagang makanan di kaki lima yang menjejali setiap ruas jalan bukanlah pemandangan yang aneh di Purwokerto.

Perkembangan kota yang pesat menggejala sejak dekade 1980-an membawa Purwokerto untuk lepas dari jejak masa lalunya sebagai kota kecil yang bersahaja, tradisional, udik, dan apa adanya. Perkembangan kota juga diikuti semakin lengkapnya fasilitas dan infrastruktur fisik yang membawa simbolisasi dan atribut kemodern-an kosmopolit layaknya kota-kota metropolitan. Hotel, kampus, museum, gedung pertunjukan, taman, café, pub/klub malam, discotique, panti pijat, tempat karaoke, distro dan factory outlet, mall, mini market, toko buku, restoran makanan cepat saji (fast food), show room, dan mall adalah beberapa fasilitas kota modern yang gampang dijumpai di Purwokerto.

Namun beban ke-modern-an ini juga membawa korban dan dampak negatif yang harus ditanggung warga kota. Penghancuran gedung-gedung dan situs lama (seperti ISSOLA dan Gedung Kesenian Shin Hwa She) membuat hilangnya sense of continuity dengan masa lalu yang turut memberi warna bagi perkembangan kota. Komersialisasi yang berlebihan seringkali juga membuat diabaikannya Rencana Tata Ruang Wilayah dan masterplan kota yang berpotensi destruktif secara ekologis dan sosial. Kesulitan air bersih yang dialami di beberapa titik padat penduduk (misalnya bagian selatan kelurahan Tanjung), masalah parkir, kemacetan lalu lintas, hilangnya ruang terbuka hijau, hilangnya daerah resapan air, merebaknya gelandangan-pengemis, aksi kriminal, dan munculnya daerah kumuh (slum area) adalah beberapa contoh destruksi ekologis dan sosial yang dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan urban yang sehat di masa depan.

Itu hanyalah contoh. Mungkin masih banyak lagi masalah-masalah lain yang kelak bermunculan. Jika sejak dini itu tidak ditangani, suasana kota Purwokerto yang nyaman bagi warganya seperti di awal-awal abad XX mungkin hanya sebatas cerita belaka. Kalau tidak malah menjadi mitos.

(Arizal Mutahir & Luthfi Makhasin)
======================================


[1] Kyai Raden Mochtar adalah Konsul NU wilayah Kedu-Banyumas asal Sokaraja dan pernah menjadi Kepala Jawatan Departemen Agama Kabupaten Magelang.

[2] Kyai Abu Dardiri adalah tokoh Muhammadiyah asal Purwokerto dan anggota Komite Nasional Daerah Banyumas yang berperan penting dalam mengusulkan pembentukan Departemen Agama pada sidang KNIP, 3 Januari 1946 di Jakarta.

[3] Bupati Banyumas pada periode waktu ini secara berturut-turut adalah R. Mohammad Kaboel Poerworedjo (1950-1953), R. Boediman (1954-1957), M. Miroen Prawirodiredjo (1 Januari – 15 Desember 1957), R. Bayi Noentoro (16 Desember 1957 – 1960), R. Soebagijo (1960-1966).

[4] Bupati berlatar belakang militer yang lain adalah Kol. Pudjadi Djaring Bandajuda (1972-1978), Kolonel Roedjito (1978-1988), dan Kol. Djoko Sudantoko (1988-1998).

*****

Sumber: http://tlatah.wordpress.com/2009/04/15/99/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar