Jumat, 21 Mei 2010

POTENSI KABUPATEN BANYUMAS

POTENSI KABUPATEN BANYUMAS

Arah kebijakan pembangunan di bidang ekonomi, salah satunya adalah dalam hal penanaman modal, dimana diharapkan nantinya akan dapat meningkatan investasi, terciptanya investasi yang berwawasan lingungan dan berkelajutan serta terwujudnya Kab. Banyumas sebagai daerah tujuan investasi.


PERTANIAN


Komoditi unggulan di Bidang pertanian di wilayah Kab. Banyumas sangat menjanjikan , karena di dukung luas lahan dan kondisi alam yang ada serta berbagai jenis komoditi yang bervariasi.
Secara umum, investasi di bidang pertaniaan yang di harapkan adalah - Alih tekhnologi - Bantuan modal kredit lunak - Kerjasama pemasaran


PETERNAKAN


Berdasarkan ketersediaan lahan dan tujuan pakan ternak yang tersedia, Kab. Banyumas mempunyai pakan yang cukup besar untuk pengibangan usaha pengimbangan sapi potong dan sapi perah.


PERIKANAN


Di bidang perikanan, Kab. Banyumas mengharapkan investasi sistem bagi hasil untuk budi daya ikan gurame. Sampai saat ini wilayah pemasaran baru mampu menjangkau Jawa Timur (Tulung agung - Blitar)dan Jawa Barat (Tasikmalaya)


KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

Adanya faktor alam dan iklim yang ada di Kab. Banyumas mendukung berkembangnya industri olahan hasil hutan yang mempunyai peluang investasi.


BAHAN GALIAN /PERTAMBANGAN


Kondisi alam yang ada menunjukan bahwa Kab. Banyumas merupakan daerah yang sangat potensial untuk pengembangan usaha penambangan bahan galian. Berdasarkan investarisasi, pemetaan dan kompilasi data yang ada, maka Kab. Banyumas memeiliki 15 jenis bahan galian yang berpotensi sebagai peluang investasi. Dengan kapasitas produksi /cadangan yang ada, dan fasilitas pendukung lainnya, maka potensi bahan galian di Kab. Banyumas mempunyai peluang investasi yang cukup menjanjikan.



PARIWISATA KABUPATEN BANYUMAS

Kabupaten Banyumas juga dikenal sebagai daerah tujuan wisata dengan fokus kunjungan wisatawan ke Baturaden.

Jumlah obyek wisata di Banyumas cukup banyak dan beragam, dan pada umumnya mudah di jangkau karena di dukung sarana dan prasarana yang memadai, sampai saat ini, masih ada beberapa obyek wisata yang belum tergarap secara optimal dan membutuhkan investasi untuk pengembangannya.


Baturaden

Lokawisata Baturaden terbentang di sebelah selatan di kaki Gunung Slamet pada ketinggian sekitar 640 m diatas permukaan laut. Baturaden terletak hanya 14 km dari Kota Purwokerto yang dihubungkan dengan jalan yang memadai. Di tempat wisata ini Anda dapat menikmati pemandangan indah & udara pegunungan yang segar dengan suhu 18'° Celcius - 25° Celcius. Sedangkan, Gunung Slamet dengan ketinggian 3.428 m, merupakan gunung berapi terbesar dan gunung tertinggi ke-2 di Jawa. Jika cuacanya bagus, Kota Purwokerto dapat terlihat dari Baturaden, begitu juga dengan Cilacap dan Nusa Kambangan Ketika kita melihat gunung Slamet, kita dapat melihat lereng gunung Slamet yang ditutupi oleh hutan Heterogen.


Taman Rekreasi Nirwala Manggala

Sebuah taman rekreasi dengan fasilitas wisata alam untuk mendukung obyek wisata curug cipendok. Luas lahan yang disediakan sekitar 5 ha dan bentuk investasi yang diharapkan berupa kerjasama bagi hasil.


Bendung Gerak Serayu


Dengan luas lahan + 5 hektar dan ber jarak hanya + 15 km dari pusat kota, sangat memungkinkan bagi pengembangan usaha taman rekreasi wisata air.


Pemandian KaliBacin


Terletak di Desa Tambak Negara kecamatan Rawalo 17 km dari Purwokerto. Objek wisata ini merupakan peninggalan sejarah jaman Belanda terbukti dengan prasastinya. Dikenal dengan nama Wisata Husada, karena wisatawan disamping dapat menikmati keindahan alamnya sekaligus dapat menyembuhkan penyakit kulit dan tulang.


Museum BRI

Museum Uang BRI adalah satu-satunya museum perbankan di Indonesia yang berada di Purwokerto. Bank Rakyat Indonesia untuk pertama kali didirikan oleh : Raden Aria Wirjaatmadja tahun 1895 dengan Nama : De Purwokertche Hulp en Spaarbank der Inlandche Bestuurs Ambtenaren.


Wana Wisata

Terletak 2 km dari lokawisata Baturaden. Di tempat ini dapat dinikmati keindahan alam hutan dilengkapi dengan tempat perkemahan yang dapat menampung 1000 tenda. Ditempat ini juga terdapat cagar alam dan pembibitan tanaman produksi seperti cemara, pinus, dan sebagainya.


Pancuran 3 (Telu)

Air panas yang mengandung belerang sangat diminati wisatawan, selain kehangatan juga khasiatnya untuk mengatasi berbagai penyakit kulit dan tulang.


Pancuran 7 (Pitu)

Terletak 2,5 km dari Lokawisata Baturaden. Tempat rekreasi ini menyuguhkan keindahan alam dan hutan yang didukung dengan adanya Pancuran 7 sebagai tempat wisata husada.


Goa Sarabadak


Beranjak dari pancuran 7 menelusuri jalan setapak wisatawan dapat menikmati kesegaran air hangat dan dingin di Goa Sarabadak, dengan bebatuan warna keemasan yang menakjubkan.


Telaga Sunyi


Telaga Sunyi terletak +/- 3 km di sebelah Timur Lokawisata Baturaden. Tempat rekreasi ini menyajikan telaga yang indah dan berair dingin, dan pada musim-musim tertentu dapat dijumpai aneka warna kupu-kupu dan capung yang beterbangan di sekitar telaga.


Curug Cipendok


Terletak di desa Karang Tengah kecamatan Cilingok, kurang lebih 25 km dari kota Purwokerto. Obyek wisata alam ini berupa air terjun dengan ketinggian 92 m yang dikelilingi pemandangan alam dan hutan yang indah.


Curug Ceheng


Terletak di kecamatan Sumbang 8 km dari kota Purwokerto. Obyek wisata ini menampilkan keindahan air terjun yang diselingi dengan maraknya satwa lawa yang beterbangan.

***



M A K A N A N K E C I L



KERIPIK TEMPE
Lokasi :Desa Rawalo, Desa Tamansari, Desa Karanggude.
Bahan dasar : tempe.



NOPIA
Lokasi : Kec. Banyumas.
Bahan dasar : terigu dan gula merah.



GETUK GORENG
Lokasi : Kec. Sokaraja.
Bahan dasar : Ketela pohon dan gula merah.




CERIPING PISANG DAN UBI

Lokasi : Kec. Karanglewas.
Bahan dasar : pisang dan ubi kayu.

***


K E R A J I N A N



Kerajinan Bambu

Lokasi : Kec. Ajibarang, Kec. Baturaden, Kec. Kedungbanteng dan Kec. Purwojati.


Pemintalan dan pertenunan Sutera Alam


Lokasi : Kec. Kemranjen, Kec. Kalibagor, Kec. Sumbang, Kec. Sokaraja, Kec. Pekuncen, Kec. Baturaden.



SARANA WISATA

Biro Perjalanan Wisata

Surya Wisata Tour & Travel
Pertokoan Satria Plaza No.2
Jl. Jend. Soedirman Purwokerto
Telp. (0281)6338896
Fax. (0281)635586

Daya Kerta Tour & Travel Service

Jl. KH. M. Syafei Blok F No.4
Kebondalem Purwokerto
Telp. (0281)631597
Fax. (0281)631557

Kharisma Tour & Travel
Pertokoan Satria Plaza Blok A No. 1 Lt. II
Jl. Jend. Soedirman Purwokerto
Telp. (0281)633322
Fax. (0281)633320

Rudiant Tour

Jl. HR. Bunyamin Purwokerto

Andes Tour

Jl. Gerilya Barat Purwokerto
Telp. (0281)636995

Mulia Tour
Jl. Suparjo Rustam No. 03
Berkoh - Purwokerto

***


H O T E L


BOROBUDUR*

Jl Yosodarmo No. 32 Kel.Kdg. Wuluh Kec. Pwt. Barat
Telp. (0281)635341:31:70:1,2,4,5,6,7,9

*****

Ke Cipendok Memadu Kasih

BANYUMAS memiliki tempat yang lebih menggetarkan hati ketimbang suasana feodal Kota Verona di Roma, Italia. Kota tempat Romeo dan Juliet memadu kasih itu, kalah indah dengan tempat dimana Raden Ranusentika menjalin kisah asmara dengan Dewi Mas Inten. Tidak percaya? Berkunjunglah ke Curug Cipendok, air terjun dengan ketinggian mencapai 100 meter.

Banyak kata yang digunakan Shakespeare, pengarang kisah Romeo-Juliet, untuk mengambarkan kota Verona, dan mencipta kisah rekaan Romeo-Juliet. Sebaliknya,pesona yang bisa dihadirkan kawasan yang masuk wilayah Kecamatan Cilongok itu justru sukar digambarkan dengan kata. Simponi musik yang dihadirkan lewat dentuman air terjun, gemericik sungai, kicau burung, desau angin di rimbunan hutan, dan sesekali celoteh kera liar, membuat kata-kata terasa tidak lagi memadai.

Bila sedang mujur, pelancong bisa menyaksikan “penampakan” salah satu hewan langka di dunia yaitu kera berdada abu-abu. Sementara di langit di atas hutan, sesekali burung elang Jawa melintasi udara dengan anggun. Kalau cukup bernyali, di sekitar kawasan Telaga Pucung masih ada harimau pemalu yang enggan memperlihatkan diri.

Kera berdada abu-abu dan harimau bisa ‘dipancing’ keluar dari persembunyian mereka lewat jasa pawang. Lewat sejumlah prosesi adat, pawang bisa mengundang raja hutan dan kawanan kera untuk keluar dari rimbunan hutan.


Situs Asmara


Hingga kini, masyarakat setempat mempercayai legenda berbalut kisah asmara dua sejoli, Raden Ranusentika dan Dewi Mas Inten. Kisah asmara mereka, meninggalkan sejumlah bukti fisik yang kini masih tersisa.

Nama Curug Cipendok bermula dari legenda yang masih berkaitan dengan sejarah Perang Diponegoro. Perang ini merupakan perang lima tahun (1825-1830) antara Pangeran Diponegoro melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Perang yang dimenangkan Belanda itu membuat seluruh wilayah Banyumas berada dibawah kekuasaan pemerintahan colonial.

Raden Ranusentika merupakan wedana (pemimpin) daerah Adjibarang, di dekat Banyumas. Belanda menugasinya memimpin kerja paksa membuka hutan belandara di sekitar lereng GunungSlamet untuk dijadikan perkebunan.

Delapan bulan memimpin pembukaan hutan, selalu terjadi keanehan. Pada saat pohon selesai ditebang, esoknya tumbuh lagi seperti semula. Seolah-olah seperti belum pernah ditebang sama sekali. Kejadian ini terjadi berulang-ulang, sehingga membuat bingung dan pusing Raden Ranusentika. Ia kemudian melakukan semadi memohon petunjuk Tuhan. Sayangnya, dia merasa tak mendapat petunjuk-Nya.

Raden Ranusentika pergi memancing di ikan di dekat air terjun. Saat itulah, ia merasa kailnya seperti ditarik-tarik oleh ikanyang besar, sampai-sampai gagang pancingnya melengkung. Saat ditarik, kailnya menyangkut sebuah cincin warangkakeris (pendok) yang bersinar kuning keemasan.

Ketika didekatkan, tiba-tiba Raden Ranusentika bisa melihat banyak sekali makhluk halus yang berada di hutan yang telah ditebang habis. Mereka semua yang selama ini menggagalkan pekerjaan Raden Ranusentika.

Atas usulan Breden Santa, seorang kepala pekerja, air terjun dimana Raden Ranusentika menemukan pendok keris, dinamakan Curug Cipendok. Berasal dari kata curug yang berarti air terjun dan pendok atau cincin dari bilah keris. Pendok keris yang ditemukan Raden Ranusentika.

Selain menemukan pendok, Raden Ranusentika juga ditemui seorang makhluk halus berujud peri, bernama Dewi Mas Inten. Karena bukan manusia, ia mendapat julukan Putri Sudhem. Julukan ini berasal dari kata ‘susu adhem’ artinya payudaranya dingin karena sebagai mahluk halus, dia tidak memiliki darah panas seperti manusia.

Keduanya menjalin asmara, dan bersama-sama menyelesaikan pekerjaan pembukaan hutan. Dewi Mas Inten diboyong ke Kadipaten Ajibarang, menjadi garwa padmi (selir) dari Raden Ranusentika.

Situs peninggalan Raden Ranusentika bernama “watu kunci” dan Dewi Mas Inten dinamai “watu gembok”. Dewi Mas Inten yang oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai siluman kera, kala itu membantu ritual babad alas mantan wedana Ajibarang, Raden Ranusentika. Keduanya berpisah ketika Ranusentika, atas keberhasilan membabat hutan, diangkat menjadi Bupati Purbalingga oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Sampai sekarang, jika ada orang yang bisa mencapai situs tadi, masyarakat percaya hubungan asmaranya bisa langgeng. (*)

*****


http://banyumasku.blogspot.com/

DABLONGAN SOPSAN

Komunitas Seni Banyumas

"Iwak emas diuntal teri, Lengger Banyumas tetep lestari"

Para pengunjung situs web Pemerintah Kabupaten Banyumas tentu tidak asing dengan lirik lagu Lengger di atas. Ya, itu salah satu yang sangat khas Banyumas dengan bahasanya, dengan keriangan musiknya, dengan isi atau lirik lagunya.

Tapi siapa yang berada di belakang terciptanya lagu tersebut? Siapa yang menyanyikannya dengan penuh nuansa Banyumas?
Pencipta lagu Lengger ini adalah Fajar Sopsan, dan dinyanyikan oleh Komunitas Musik

Dablongan yang berdiri di tahun 2000
. Pendirian gup musik ini tak lepas dari populernya jenis aliran musik campursari yang merupakan perpaduan musik diatonis dan pentatonis. Berangkat dari situ, maka didirikanlah Komunitas Musik Dablongan yang bermotivasi mengangkat Banyumas ke permukaan melalui musik dengan lagu-lagu

Banyumasan yang bersifat cablaka, riang, penuh canda, santai, dan kedablong-dablongan yang mampu melahirkan humor-humor segar serta mampu membangkitkan kerinduan dan kecintaan terhadap Banyumas. (*)

*****



http://banyumasku.blogspot.com/

Masjid Saka Tunggal

Masjid Saka Tunggal kiyé anané nang désa Cikakak kecamatan Wangon. Saka guru masjid kiyé mung siji, kabéh permukaan saka guru kiyé diukir. Mimbar karo lawang Mihrab uga digawé sekang kayu ukiran.

Nang sekitar komplék masjid kiyé ana taman sing cokan ditekani lutung. Pancén lutung akéh pisan nang alas sekitar désa kuwé.

Désa kiyé sabeneré dadi panggonan rékréasi ing tlatah Banyumas, nanging amarga ora diurusi dadi kurang kondhang.

Salah satu keunikan Saka Tunggal adalah keberadaan empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Menurut Sopani, empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan ”papat kiblat lima pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api, angin, air, dan bumi.

”Saka tunggal itu perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok, jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi manusia,” ujar Sopani.

Empat mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. ”Hidup itu harus seimbang,” kata Sopani.

Papat kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi watak manusia.

Keaslian lain yang masih terpelihara di masjid yang sejak tahun 1980 ditetapkan sebagai cagar budaya Banyumas tersebut adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imaman. Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.

Kekhasan masjid ini yang masih ada adalah atap dari ijuk kelapa berwarna hitam. Atap seperti ini mengingatkan atap bangunan pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu di Bali. Tempat wudu pun juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.

”Karena masjid ini adalah cagar budaya, keasliannya dijaga. Sejak tahun 1965 masjid ini sudah dua kali dipugar. Selain dinding tembok, juga diberi dinding anyaman bambu serta lapisan atap seng,” kata Sopani, salah satu juru kunci di sana.

Keunikan masjid ini juga terasa pada tradisionalisme keagamaan umat yang beribadah di dalamnya. Setiap akan shalat berjamaah selalu didahului dengan puji-pujian atau ura-ura yang dilagukan, seperti kidung Jawa. Beberapa jemaah menggunakan udeng atau ikat kepala biru bermotif batik.

Tata cara shalat jamaah di masjid kuno ini tak jauh berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya. Khusus pada jamaah shalat Jumat, jumlah muazin atau orang yang mengumandangkan azan ada empat. Selain itu, semua rangkaian shalat Jumat dilakukan berjamaah, mulai dari shalat tahiyatal masjid, khoblal juma’ah, shalat Jumat, ba’dlal jum’ah, shalat dzuhur, hingga ba’dlal dzuhur. Semua muazin mengenakan baju panjang warna putih dan udeng atau ikat kepala khas Jawa warna biru bermotif batik.

Lalu, pesan atau khotbah Jumat dilantunkan seperti berkidung. Demikian pula dengan pembacaan ayat-ayat suci.

”Ini sudah menjadi adat kami turun-temurun. Tugas kami hanya mempertahankan agar tidak punah,” ujar Sopani (*)

*****


Sumber: http://banyumasku.blogspot.com/

DURIAN BHINEKA BAWOR BANYUMAS

Instingnya terhadap durian begitu kuat. Cukup melihat bijinya, ia tahu jenis durian itu. Pengalaman semasa kecil menemani sang ayah mencari durian hingga ke pelosok desa membuat Sarno Ahmad Darsono terobsesi pada durian. Ia lalu ”menciptakan” pohon durian bhineka bawor, hasil okulasi 20 jenis durian varietas lokal dan luar. ”Begitu banyak jenis durian di negeri ini, kenapa kita kalah dari Thailand?” pikirnya.

Permenungan itu menantang Sarno, petani durian dari Desa Alasmalang, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, untuk mendapatkan kelebihan dan peningkatan produktivitas durian. Tahun 1996 ia berkeyakinan, pohon durian yang sebelumnya baru berbuah setelah berusia delapan tahun dapat dipersingkat menjadi empat tahun dengan okulasi.

Tetapi, ketika itu dia juga tak pernah berhenti berpikir, apakah okulasi adalah cara yang paling tepat? Sementara itu, ingatannya selalu kembali pada masa kecil, saat ia berjalan dari kebun satu ke kebun yang lain untuk mendapatkan buah durian berkualitas baik.

Pada usia tujuh tahun, Sarno sudah mampu membedakan durian berdasarkan jenisnya. Dengan memegang dan menimbangnya, ia tahu durian yang ada di tangannya telah matang atau belum, berkulit tebal atau tipis.

Ketajaman penciuman ikut membantu dia memilah durian yang puket (manis, berlemak, dan beralkohol) atau bukan. Dalam ingatan, dia menyimpan koleksi durian apa saja yang berkualitas baik. Sebut misalnya durian petruk, sunan, dan kuningmas. Kepekaannya itu telah membantu sang ayah mengumpulkan durian, dan menjualnya di pasar-pasar di Banyumas.

Namun, Sarno pun menyadari bahwa kepekaannya pada durian itu tak bisa menjawab pertanyaan yang selalu muncul di kepalanya, mengapa kita kalah dari Thailand? Ia lantas berusaha mendapatkan jawabnya, antara lain lewat buku-buku pertanian.

”Setelah memperoleh bahan informasi yang cukup, saya yakin okulasi bisa meningkat- kan produktivitas durian,” ucapnya.

Meskipun demikian, ia tak melakukan okulasi hanya pada dua pohon durian yang berbeda jenis. Pada percobaan pertama, Sarno langsung mencoba mengokulasi pohon durian montong oranye dengan 20 jenis durian lokal, seperti sunan, petruk, otong, cinimang, kereng, kuningmas, oneng, bluwuk, dan kumba karna.

Dalam percobaannya itu, ia membagi pohon primer, sekunder, dan tersier. Pohon durian montong oranye dijadikan pohon primer. Tubuh pohon itu dilukai pada beberapa bagian untuk menempelkan 10 tunas pohon durian lokal berkualitas baik, seperti petruk, kuningmas, dan kumba karna, yang menjadi pohon sekunder.

Setelah berselang tiga-empat bulan, okulasi pohon primer dengan sekunder mulai melekat. Sarno lalu mencoba membuat okulasi lagi pada pohon-pohon sekunder, dengan melukai pohon-pohon itu untuk menempelkan pohon durian lokal berkualitas sedang sebagai pohon tersier.

Banyaknya pohon durian yang digunakan untuk okulasi membuat pohon primernya tumbuh menyerupai pohon bakau yang akarnya mencuat dari tanah.

Menurut Sarno, tingkatan pada okulasi itu berguna untuk menjamin ketersediaan makanan yang lebih banyak untuk pohon primer. Adapun fungsi pohon sekunder adalah memengaruhi kualitas buah yang dihasilkan pohon primer.

Empat tahun kemudian atau tepatnya akhir tahun 2000, pohon hasil percobaannya sudah menghasilkan 30-40 buah durian montong oranye yang berbeda dari aslinya. Kulitnya tipis, daging lebih tebal, warna daging buah lebih merah seperti durian kuningmas, rasa lebih puket, dan beralkohol seperti durian petruk. Ukurannya sebesar durian kumba karna dengan berat bisa lebih dari 10 kilogram.


Menjaga erosi tanah

Batang-batang okulasi yang ditempelkan pada pohon primer, kata pria yang sehari-hari berprofesi sebagai guru SD Negeri Manggungan 1 ini, juga berfungsi untuk menjaga erosi tanah. Oleh karena itu, lebih dari lima tahun ini dia juga giat mengimbau para petani durian di sekitar Kemranjen, yang umumnya bermukim di kawasan perbukitan, untuk menanam pohon durian ”ciptaannya”.

Kini, setiap bulan Sarno tinggal menunggu pembeli dari Banyumas maupun Jakarta untuk mengambil durian dari pohon hasil ”ciptaannya”. Harganya per kilogram sekitar Rp 17.000, sedangkan bobot per buah 6-12 kilogram.

”Beberapa hari lalu saya menjual durian montong oranye seharga Rp 200.000 karena bobotnya sampai 12 kilogram,” ucapnya.

Tak hanya itu, setiap bulan Sarno juga memperoleh pesanan untuk memasok bibit okulasi bhineka bawor-nya ke Jawa Timur, Sumatera, dan Sulawesi. Untuk satu kali pengiriman bisa sampai 200 bibit. Bibit pohon durian itu dijualnya seharga Rp 75.000-Rp 150.000 per pohon, tergantung jumlah tunas pohon durian yang digunakan untuk okulasi.

Tentang nama bhineka bawor untuk durian ”ciptaannya”, kata Sarno, ”bhineka” diambil dari semboyan negeri ini, Bhinneka Tunggal Ika, yang bermakna keragaman budaya seperti keragaman jenis durian lokal di Indonesia. ”Bawor” diambilnya dari salah satu tokoh wayang yang menjadi simbol Kabupaten Banyumas, dengan ciri khas cablaka atau berbicara apa adanya.

Dengan semangat keragaman itu pula, pengurus Paguyuban Petani Durian Unggul Kemranjen ini menamakan duriannya Sarakapita yang merupakan akronim nama dirinya, sang istri, dan nama ketiga putrinya.

”Buah durian ini juga menjadi simbol kebersamaan keluarga kami,” ucapnya.


Kelas transisi

Namun, masih ada masalah yang mengganjal dalam pikiran Sarno, yakni bagaimana mengupayakan pohon durian bisa berbuah di luar musim. Seperti sekarang, petani durian di Kemranjen tak bisa memperoleh panen maksimal karena banyak buah yang rontok pada usia dini akibat curah hujan yang cukup tinggi.

”Untuk tahun depan, saya sedang mempersiapkan formulasi pupuk dan waktu yang tepat untuk memupuk pohon durian agar bisa berbuah sebelum bulan November,” ucapnya berharap.

Kompleksitas pemikiran Sarno tak hanya tecermin pada durian, tetapi juga pilihan lapangan tugasnya sebagai guru. Baginya, tak ada tantangan untuk mengajar siswa kelas tiga sampai lima karena siswa relatif sudah dalam kondisi stabil.

Kelas-kelas transisi bagi siswa merupakan pilihan dia, yakni kelas enam serta kelas satu dan kelas dua. Kelas enam, misalnya, menurut Sarno, merupakan lapangan tugas yang ”tiada akhir” lelahnya bagi guru sebab harus mempersiapkan para siswa sampai matang agar bisa lulus SD. Oleh karena itulah, sejak diangkat sebagai guru tahun 1988 hingga 2004, ia menjadi guru kelas enam.

Baru empat tahun belakangan ini dia pindah menjadi guru kelas satu dan dua. Kedua kelas ini, menurut Sarno, juga memiliki tantangan yang tak kecil karena siswa umumnya mengalami peralihan dari dunia bermain ke dunia belajar.

”Pada garis-garis berisiko inilah saya menemukan kenikmatan berkarya,”
kata Sarno

*****



Sumber: tulisan dan foto diambil dari kompas.com

Pak SARNO "Dokter Kincir" Cilongok

Masih lekat di benak Sarno Ichwani (51), gelapnya malam di kampungnya, Dusun Kali Pondok, Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, pada tahun 1980-an. Kalaupun ada terang, hanya nyala lampu minyak atau senthir sebagai penerang 29 rumah di dusun yang berada di lereng barat daya Gunung Slamet kala itu.

Namun, sejak usaha Sarno tak kenal lelah memperkenalkan kincir air sebagai pembangkit listrik sederhana, Dusun Kali Pondok kini pun menyala kala malam tiba. Bahkan, pada saat di banyak daerah—termasuk di Ibu Kota Jakarta—masyarakat dibuat jengkel dengan pemadaman listrik bergilir oleh PLN, listrik di Dusun Kali Pondok tetap menyala 24 jam.

• Lahir: Banyumas, 19 September 1958
• Pendidikan: SD Negeri Karanggondang (sampai kelas IV)
• Istri: Tuminah
• Anak: 3
• Pekerjaan: Petani



Sebagai dusun yang terletak di lereng gunung, Kali Pondok memiliki banyak aliran sungai. Hampir semuanya mengalir di tebing-tebing curam. Bahkan, ada 10 air terjun di sekitar dusun ini yang ketinggiannya rata-rata di atas 10 meter, selain puluhan grojogan sungai. Salah satunya adalah Curug Cipendok yang sekarang menjadi obyek wisata ternama di Banyumas.

Di Desa Karangtengah, khususnya Dusun Kali Pondok, terdapat banyak potensi pengembangan listrik kincir air atau mikrohidro. Saat ini terdapat sekitar 30 kincir air sederhana milik warga, yang menjadi sumber listrik bagi 59 keluarga di kampung yang berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut itu.

Satu kincir air dapat menyuplai 2-4 rumah dengan daya antara 400 watt sampai 900 watt. Kincir-kincir itu kini juga menjadi sumber listrik bagi sejumlah penginapan di obyek wisata Curug Cipendok.

Kestabilan aliran sungai-sungai dari lereng Gunung Slamet sepanjang tahun membuat kincir air selalu berputar. Listrik pun dapat dinikmati warga secara gratis selama 24 jam penuh.

Sebenarnya Dusun Kali Pondok bukan satu-satunya perdusunan di Banyumas, khususnya di lereng Gunung Slamet, yang mengembangkan kincir air sebagai sumber listrik. Di sejumlah dusun di Kecamatan Kedungbanteng dan Baturraden, hal tersebut juga dikembangkan.

Akan tetapi, di Dusun Kali Pondoklah teknologi alternatif sederhana ini masih terus berkembang. Di dusun-dusun lain telah mulai surut seiring mengecilnya debit air sungai dari tahun ke tahun.

Namun, kemudahan itu tak datang dengan sendirinya. Menjaga agar limpahan aliran sungai tetap stabil juga bukan kerja mudah.

Dusun Kali Pondok sebenarnya relatif baru. Dusun yang terletak sekitar 20 kilometer arah barat laut Kota Purwokerto itu baru dihuni tahun 1970-an. Kala itu sebagian besar wilayah dusun ini masih berupa hutan di bawah pemangkuan Perhutani.

”Waktu itu baru ada 20 keluarga. Rumah-rumahnya pun beratap lalang. Jalannya masih setapak dan penerangannya hanya lampu senthir. Jadi, gelap sekali,” tutur Sarno.


Sempat dicibir

Hingga tahun 1987, saat jumlah penghuninya 30 keluarga, keadaan tak banyak berubah. ”Dulu, sebelum ada kincir air, kami pernah mengajukan penyaluran listrik ke PLN. Itu sekitar tahun 1987. Tapi, bertahun-tahun tak pernah direalisasi karena memang lokasi dusun kami di atas lereng dan sulit dijangkau,” kata Sarno, yang dipercaya sebagai ketua RW setempat.

Ketiadaan listrik itu membuat potensi wisata Curug Cipendok di dusun tersebut pun terpendam. Kehidupan masyarakatnya pun juga sangat sederhana, apalagi untuk sampai ke pusat desa terdekat mereka harus berjalan kaki 2 kilometer karena tak adanya angkutan serta sulitnya medan.

Hingga suatu ketika pada tahun 1989 Sarno bertemu dengan temannya, Jono, asal Desa Semaya, Kedungbanteng, yang memperkenalkan teknologi kincir air. Di Semaya, kincir air lebih dahulu dikembangkan sebagai sumber listrik.

Sarno lalu pergi ke Pasar Wage di Purwokerto untuk membeli dinamo bekas motor Honda CB, dua balok magnet, kabel kumparan, tali karet hitam, dan kabel penghantar arus.

”Waktu itu saya belanja habis Rp 100.000. Lalu saya rangkai dengan roda kayu pemutar yang berjari-jari 50 sentimeter dan roda kecil berjari-jari 20 sentimeter,” kata Sarno.

Maka, jadilah kincir air percobaan Sarno, yang sekolah dasar saja tak lulus itu. Kincir air itu ditempatkan di tengah arus hulu Sungai Wadas. Pada percobaan pertama itu Sarno gagal, dia tak mendapatkan arus listrik.

Berhari-hari lamanya Sarno mencoba dan terus mencoba membuat kincir air itu berfungsi. Usahanya ini pada awalnya dicibir tetangganya. Tak ada bekal pendidikan memadai yang dimiliki Sarno. Selain itu, kincir air sebagai sumber listrik dianggap sesuatu yang mustahil bagi warga Dusun Kali Pondok yang hampir semuanya petani itu.

Hingga suatu ketika Sarno berhasil membuktikan, kincir airnya menghasilkan arus listrik. Sejak itu rumahnya menjadi terang oleh listrik.

Satu per satu tetangganya meminta dibuatkan kincir air. Dengan senang hati, Sarno membuatkannya, gratis. Hingga akhirnya kini ada 30 kincir air di desa itu sebagai pembangkit mikrohidro.

Seiring hadirnya listrik, Dusun Kali Pondok pun mulai menggeliat. Investor mulai melirik pengembangan wisata di Curug Cipendok. Jalan beraspal dibuat di dusun ini. Warung-warung dan industri rumah tangga bermunculan.

Setiap ada kerusakan pada kincir air Sarnolah yang pertama dipanggil warga untuk memperbaiki. Dengan senang hati, dia selalu melakukannya, tanpa memungut biaya. Tak heran, para tetangga menyebutnya ”dokter kincir”. ”Yang penting dusun ini tak kekurangan cahaya, saya sudah bahagia,” kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani ini.


Menjaga lingkungan


Sarno sadar, keberadaan pembangkit listrik mikrohidro di kampungnya sangat bergantung pada aliran sungai-sungai yang bersumber dari hutan di lereng Gunung Slamet. Kerusakan hutan akan membuat sungai-sungai itu surut airnya. Otomatis, malam yang suram bakal kembali terjadi di Kali Pondok.

”Desa-desa lain di lereng Gunung Slamet yang dulu pakai kincir air sebagai listrik banyak yang mulai surut. Debit air sungainya turun karena sebagai hutannya mulai dirusak,” kata bapak tiga anak ini.

Kesadaran itu yang membuat Sarno mengajak warga Dusun Kali Pondok untuk tak lelah turut menjaga kelestarian hutan di lereng Gunung Slamet, khususnya di atas dusun ini.

Sarno sering kali mengajak warga sekitarnya untuk ikut menanami kembali lahan yang telah digunakan untuk bercocok tanam dengan tanaman keras. Dengan cara itu, air tetap tersimpan di bumi Kali Pondok.

Satu harapan Sarno adalah adanya perhatian pemerintah untuk pengembangan teknologi yang lebih baik bagi pengembangan listrik mikrohidro di sekitar Kali Pondok. Dia yakin, dengan potensi berlimpah, tak hanya Kali Pondok yang dapat bersinar terang, tetapi juga listrik bertenaga air itu pun akan dapat menerangi satu kecamatan di Cilongok, bahkan Banyumas bagian barat.

*****


Sumber: www.kompas.com

JARINGAN TRAYEK DAN JUMLAH ANGKUTAN PEDESAAN YANG MELAYANI TRAYEK DI KABUPATEN BANYUMAS








*****


Sumber: http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:OIAonk4hWmEJ:images.wongedhewek.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/RnD03goKCmgAAAuviMI1 Trayek%2520Angkutan%2520Banyumas%25202007.pdf%3Fnmid%3D46118129+patikraja&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShU9ikrqOvcjCvEx-Qpp7FZgxph0ck7sMxc565liVeffu6R78ecTs5sChnO2wzdQvugThUnkV8gsvRMm8sxs-zT8ck4TFo7Oway4sHAGjeAzuN_WirZwWmh8jp-DO2oFN_EYpRN&sig=AHIEtbR9_VnqP7k64iZECazsPeHRBsJv_A

4 Rumah Rusak Dihantam Longsor

BANYUMAS - Longsor terjadi di tiga desa di Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (13/5/2010) malam sekitar pukul 23.00 WIB.

Hingga Jumat sore, kondisi longsor masih terlihat parah. Longsor yang melanda Desa Paningkaban, Desa Karang Endep, dan Desa Karang Kemojing terjadi akibat curah hujan yang tinggi.

Salah satu rumah warga Desa Karang Endep bahkan temboknya jebol pada bagian belakang. Beruntung, saat kejadian penghuni rumah sedang berada di bagian ruang depan, sehingga tidak ada korban luka. Rumah milik Sanwinarto (66) rusak cukup parah akibat tertimpa bukit batu cadas yang retak dan longsor. Bukit cadas dengan ketinggian sekitar 15 meter dengan lebar 20 meter ini tak kuat menahan gerusan air hujan.

“Saat hujan deras, tiba-tiba ada suara gemuruh, saya yang sedang berada di ruang depan langsung menengok ke ruang belakang tapi dicegah anak saya,” ujar Sanwinarto, warga Desa Karang Endep, Jumat (14/5/2010).

Sementara rumah milik warga lainnya juga rusak parah. Pada bagian pondasinya ambrol sehingga beberapa rumah terpaksa langsung dikosongkan pemiliknya. Dihubungi melalui telepon, Camat Gumelar, Agus, mengatakan jika kerusakan terjadi di tiga desa. Sementara sedikitnya ada 18 rumah warga lainnya yang terancam longsor.

Longsor juga mengakibatkan jalan desa ambles dan terputus total. Akses jalan yang biasa dilalui angkutan desa untuk anak-anak sekolah ini sudah tidak bisa dilewati kendaran roda dua dan roda empat. Hingga Jumat sore belum terlihat adanya bantuan dari pihak Pemerintah Kabupaten Banyumas.

(Saladin Ayyubi/Global/teb)

*****


http://news.okezone.com/read/2010/05/14/340/332694/4-rumah-rusak-dihantam-longsor

Hari Air Sedunia, Warga Ruwat Air Gunung Slamet

BANYUMAS - Berbagai cara dilakukan warga untuk memperingati Hari Air Sedunia. Di Banyumas, Jawa Tengah, warga memperingatinya dengan meruwat sumber air di kaki Gunung Slamet.

Ruwat yang dilakukan turun-temurun sejak nenek moyang mereka ini dimaksud agar warga selalu dekat dengan sumber air sebagai sumber kehidupan.

Ruwat ini dilakukan di sumber mata air yang berjarak sekira 500 meter di atas bukit pemukiman warga. Dengan berjalan kaki menaiki bukit di Desa Melung, Kecamatan Kedung Banteng, warga setempat melakukan ritual ruwat air.

Tepat di sumber mata air, warga yang dipimpin tetua adat desa melakukan ritual ruwat air. Ritual yang diawali dengan doa-doa ini, diikuti dengan khusyuk oleh warga Desa Melung.

Tetua desa yang memimpin doa di depan sumber mata air juga menaburkan bunga yang sudah diberi doa. Mata air di bukit Desa Melung ini sendiri disalurkan ke semua rumah warga di Desa Melung untuk keperluan hidup sehari-hari mereka.

Ritual yang sudah dilakukan secara turun-temurun dimaksudkan agar warga selalu mengingat bahwa air adalah sumber kehidupan. Dalam ruwat air ini warga berharap sumber air selalu terjaga agar tetap jernih. Selain itu, ritual ini juga sekaligus sebagai peringatan hari air sedunia yang jatuh beberapa hari lalu.

"Ruwat air ini dimaksudkan agar warga desa kami selalu menghargai akan arti pentingnya air sebagai sumber kehidupan manusia pada umumnya dan bagi warga desa kami pada khususnya. Sumber mata air di kaki bukit Gunung Slamet ini memang merupakan sumber kehidupan warga kami," ujar Dwi Fitriyono, panitia ruwat air, Minggu (28/3/2010).

Sebagai tanda syukur, dalam ritual ruwat air ini warga juga menyembelih seekor kambing berwarna coklat. Kambing selanjutnya di masak beramai-ramai untuk dihidangkan sebagai masakan gulai. Ritual berakhir setelah warga berdoa dan selanjutnya menyantap beramai-ramai masakan gulai kambing di dekat sumber mata air.

(Saladin Ayyubi/Global/lam)

*****


http://news.okezone.com/read/2010/03/28/340/316907/hari-air-sedunia-warga-ruwat-air-gunung-slamet

Kamis, 20 Mei 2010

INSTANSI PEMERINTAH - PURWOKERTO

Badan Kepegawaian Daerah :
Jl. Dr. Suparno no.25 Purwokerto telp.(0281)636079

Badan Kesatuan Bangsa, Politik & Linmas :

Jl. Prof. Suharso no.45 Purwokerto telp.(0281)633776

Badan Lingkungan Hidup :
Jl. Warga Bhakti no.3 Purwokerto telp(0281)637036

Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB :
Jl. Dr. Suparno no.24 Purwokerto telp. (0281) 625893

Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan :
Jl. Kawedanan ex. Kotip no.1 Purwokerto telp.(0281)627965

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah :

Jl. Prof.Dr.Suharso no.45 Purwokerto telp.(0281) 632116, 632548

Bapel Penyuluhan Pertanian,Perikanan,Kehutanan & KP :

Jl. Jend. Gatot Subroto no.108 Purwokerto telp. (0281)632288

Bupati Banyumas :
Jl. Kabupaten no.1 Purwokerto

Dinas Cipta Karya, Kebersihan dan Tata Ruang :

Jl. Gerilya Barat no.5 Tanjung Purwokerto telp.(0281)640359

Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral :
Jl. Kol. Sugiyono no.7 Purwokerto telp.(0281)632338

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil :
Jl. Jend. Sudirman no.320A Purwokerto telp(0281)621612

Dinas Kesehatan :
Jl. R.A. Wiryatmaja No. 4 Purwokerto telp(0281)632971

Dinas Pemuda, Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata :

Jl. Warga Bhakti no.2-4 Purwokerto telp(0281)625893 fax(0281)625279

Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keu. & Aset Daerah :

Jl. Kabupaten no.1 Purwokerto telp.(0281)637405

Dinas Pendidikan :
Jl. Perintis Kemerdekaan no.75 Purwokerto telp(0281)635220

Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika :

Jl. Margantara no.460 Tanjung Purwokerto telp(0281)637211

Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi :

Jl. Jend. Gatot Subroto no.102 Purwokerto telp.(0281)636018

Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan :
Jl. Prof. Suharso no.45 Purwokerto telp.(0281)641069

Dinas Peternakan dan Perikanan :
Jl. Achmad Yani no.30A Purwokerto telp.(0281)636149

Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi :
Jl. Pemuda no.24 Purwokerto telp(0281)636198

Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga :

Jl. Gatot Subroto no.III-5 Purwokerto telp.(0281)637038

DPRD Banyumas :

Jl. Kabupaten no.1 Purwokerto

Inspektorat :
Jl. Prof.Dr.Suharso no.45 B Purwokerto telp.(0281)633776

Kantor Pendidikan & Pelatihan :
Jl. Raya Baturraden Purwokerto telp.(0281)681025 fax.(0281)681024

Kantor Perpustakaan & Arsip Daerah :

Jl. Jend. Gatot Subroto Puewokerto telp.(0281)636115

RSUD Ajibarang :
Jl.Raya Ajibarang telp.(0281)657001

RSUD Banyumas :
Jl. Raya Banyumas telp.(0281)796511 fax.(0281)796182

Satuan Polisi Pamong Praja :

Jl. Prof. Suharso No. 45 Purwokerto telp.(0281)631596

Setda Kabupaten Banyumas :
Jl. Kabupaten no.1 Purwokerto

*****

Sumber : www.banyumaskab.go.id

PURWOKERTO [Transportasi, Hotel, Restoran, Sarana Pendidikan, Sarana Kesehatan, Sarana Olah Raga & Perbankan]

TRANSPORTASI :

Angkot A1 :
Trmnl–Adyaksa–Merdeka–Sugiri–Gatot Soebroto–Kesatrian–Dr.Angka–Wiryaatmaja–Soedirman–Yos Sudarso–Krlewas–Monumen Soedirman–Sugiono–Situmpur–Pramuka–Panjaitan–Katamso–Jl.Balai Desa–Trmnl

Angkot A2 :
Trmnl–KB.Suprapto–MT.Haryono–Jend.Soedirman – PsWage–Krlewas–Monumen Soedirman–RA. Wiryaatmaja–Gatot Subroto–Dr.Angka–Kesatrian–Jend. Gatot Subroto–Trmnl

Angkot B1 :
Trmnl–Sultan Agung–Wakhid Hasyim–S.Parman–Jend.Suprapto–Trmnl Angkot–Isdiman–HR.Bunyamin–M.Besar– Soemarto–A.Yani–Gatot Subroto–Wiryaatmaja–Soedirman–Sutoyo–Pahlawan–Gerilya–Suwatio–Trmnl

Angkot B2 :
Trmnl–SltAgung–Notosuwiryo–Gerilya–Pahlawan–Sutoyo–Sudirman–Jl.Masjid–A.Yani–Sumarto–M.Besar–HR.Bunyamin–Isdiman–Jtwinangun–Trmnl.Angkot–Tendean–Perintis K.–Situmpur–S.Parman–Gerilya–Suwatio–Trmnl

Angkot C1 :
Tml–S.Agung–Nt.suwiryo–Panjaitan–Wage–Katamso–Iksan–TmlAngk–Isdiman–Angka–Yani–Subroto–Pemuda–Sudirman–Sutoyo–Pahlawan–Gerilya–A.Salim–M.Yamin–LsPura–Pr.Teluk–S.Agung–Nt.suwiryo–Gerilya–Suwatio–Tml

Angkot C2 :
Tml-St.Agung-Prm.Teluk-Ls.Pura-Agus Salim-Gerilya-Pahlawan-Sutoyo-Soedirman-Pemuda-Gatot Subroto-Terminal Angkutan Kota-KB. Suprapto-MT. Haryono-Pasar Wage-Soedirman-DI. Panjaitan-Gerilya-Suwatio-Tml

Angkot D1 :
Tml-St.Agung-Ntsuwiryo-Panjaitan-Katamso-Suprapto-Haryono-Sudirman-Supriyadi-Ad.Mersi-Senopati-Martadireja I-Haryono-M.Iksan-TmlAkt-Adyaksa-Merdeka-Sudirman-Sugiono-Kongsen-S.Parman-Grilya-Suwatio-Tml

Angkot D2 :
Tml-St.Agung-Wakhid Hasyim-S. Parman-Sudirman-Merdeka-Gatot Subroto-Terminal Angkutan Kota-KB. Suprapto-Arcawinangun-Dukuhwaluh-Mersi-Sudirman-DI. Panjaitan-Gerilya-Suwatio-Tml

Angkot E1 :
Tml-St.Agung-Sunan Kalijaga-Sudirman-Suprapto-Tml Angkt-Adyaksa-Merdeka-Mardikenya-Sugiri-Gatot Subroto-Kesatrian-DR. Angka-A. Yani-Masjid-Sudirman-Sugiono-Perintis K-Patriot-Grilya-Suwatio-

Angkot E2 :
Tml-St.Agung –Moh. Yamin-Patriot-Perintis Kemerdekaan-Sudirman-Masjid-Gatot Subroto-Terminal Angkutan Kota-KB. Suprapto– MT. Haryono-Sudirman-Gerilya-Suwatio-Tml.

Angkot F1 :
Tmnl Angkot-Kapt. Pierre Tendean-Perintis Kemerdekaan-Gerilya-Tanjung-Raya Patikraja-Notog-kembali-Raya Patikraja-Pahlawan-Sutoyo-Sudirman-R.A. Wiryaatmaja-Gatot Subroto-Tmnl Angkot

Angkot F2 :
Tmnl Angkot-P.Tendean-Perintis Kemerdekaan-Situmpur-Pramuka-Sudirman-Berkoh-Sokaraja-kembali-Berkoh-Sudirman-Ps. Wage-Srimaya-Alun-alun-Masjid-Gatot Subroto-Terminal Angkot

Angkot G1 :
Tml-St.Agung-M.Yamin-Patriot-Perintis K.-Sudirman-Stasiun-Kober-Kamandaka-Unwiku-Beji-SPN-Riyanto-Bunyamin-Isdiman-Jatiwinangun-Tmnl Angkot-P.Tendean-Perintis K.-Situmpur-S. Parman-Grilya-Suwatio-Tmnl

Angkot G2 :
Tml-St.Agung-Wakhid Hasyim-S. Parman-Suprapto-Tmnl Angkot-OV. Isdiman-Unsoed-Sumampir-SPN-Beji-Unwiku-Bobosan-Kober-Stasiun-Sudirman-Sugiono-Perintis K.-Patriot-Moch. Yamin-St.Agung –Tmnl.

Angkot H1 :
Terminal Angkutan Kota-Adhiyaksa-Merdeka-Mardikenyo-Sugiri-Ksatrian-Karangkobar-Sumampir-Unsoed-Karangwangkal-SMEA-Kaliputih-Sudirman-Pasar Wage-Srimaya-Suprapto-T. Angkutan Kota.

Angkot H2 :
Terminal Angkutan Kota-KB. Suprapto-MT. Haryono-Wihara-Brigjend Katamso-SMEA-Karangwangkal-Grendeng-Sumampir-Karangkobar - SMUN II-Gatot Subroto-T. Angkutan Kota.

Angkot I1 :
Tml-St.Agung-Ntsuwiryo-Grilya-Pancurawis-Pramuka-Sudirman-Kaliputih-Dr.Suparno-Suharso-DR.Angka-SMAVeteran-Krkobar-Encung-KrJambu-Bobosan-KS.Tubun-Sudirman-Sutoyo-Pahlawan-Grilya-W.Hasyim-St.Agung-Tml

Angkot I2 :
Tml-St.Agung-Ntsuwiryo-Grilya-Pahlawan-Sutoyo-Sudirman-KS.Tubun-Bobosan-KrJambu-Encung-KrKobar-SMA.Veteran-Isdiman-Jtwinangun-Tml.Angkot-Suprapto-Penatusan-Sudirman-Pramuka-Pancurawis-Suwatio-Tml.

Angkot J1 :
Tml.Ak.-Adhyaksa-Merdeka-Md.kenya-Sugiri-Sugiono-Perintis-Grilya-Tml-S.Parman-Pramuka-Panjaitan-PsWage-Suprapto-Haryono-Sudirman-Berkoh-Margono-Ledug-Mersi-Mt.direjaI-Suparno-Suharso-GOR-Isdman-Tml.Ak

Angkot J2 :
Tml Akt-Isdiman-Suharso-Suparno-Martadireja I-Martadireja II-Mersi-Ledug-RSU Margono-Berkoh-Sudirman-S. Parman-Tml-Gerilya-Karangpucung-Perintis K.-Kalibener-Sugiono-Pos-Sugiri-SMU 2-Gatot Subroto-Tml

Angkot K1 :
Tml Akt-Isdiman-dr.Angka-A.Yani-Psr.Manis-Pemuda-Stasiun-Kober-Bobosan-Kr.salam-SMU 3-Pasir Wtn-Pasir Lor-Kr.lewas-Yos Sudarso-Veteran-Grilya-Tml-S.Parman-Pramuka-Panjaitan-Ps. Wage-M.Ikhsan-Tml Akt.

Angkot K2 :
Tml Akt-Kombas-Haryono-Ps.Wage-Sudirman-S. Parman-Tml-Gerilya-Tanjung-Veteran-Yos Sudarso-Krlewas-Pasir Lor-Pasir Wtn-SMU 3-Krsalam-Bobosan-Kober-Stasiun-Pemuda-Ps.Manis-dr.Angka-Jatiwinangun-Tml Akt.

Angkot L1 :
Tml Angkot-KB. Suprapto-MT. Haryono-Pasar Wage-Sudirman-S. Parman-Tml-Gerilya-M. Yamin-Karangklesem-Besole-Kedungwringin-Tanjung-Pahlawan-Sutoyo-Sudirman-Merdeka-Gatot Subroto-Tml Angkot

Angkot L2 :
Tml Angkot-P.Tendean-Sudirman-Sutoyo-Pahlawan-Tanjung-Kedungwringin-Bersole-Karangklesem-M. Yamin-Patriot-Perintis K.-Situmpur-Pramuka-DI. Panjaitan-Katamso-Ps.Wage-M.Ikhsan-Kebon Dalem Tml Angkot.

Angkot M1 :
Tml Angkot-Kombas-Haryono-Ps.Wage-Sudirman- Panjaitan-Gerilya-Suwatio-St.Agung-Martasayogo- Pamujan-Patriot-Wakhid H.-SMP 5-Agus Salim-Krpucung-Perintis K.-Kalibener-Sugiono-P.Tendean-Tml Angkot.

Angkot M2 :
Tml Angkot-P.Tendean-Sudirman-Sugiono-Kalibener-Perintis K.-Krpucung-Agus Salim-SMP 5-Wakhid Hasyim-Patriot-Pamujan-Martasyogo- St.Agung-Suwatio-Grilya-Panjaitan-Katamso-Ps.Wage-M.Ikhsan-Tml Angkot.

Angkot N :
Tml Akt-Tendean-Perintis-Krpucung-Grilya-Tanjung-Veteran-Jayadiwangsa-Krlewas-kembali-Jayadiwangsa-Veteran-Tanjung-Grilya-Perintis-Situmpur-Pramuka-Panjaitan-Katamso-Ps.Wage-M.Ikhsan-Tml.Akt

Angkot O1 :
Tml-St.Agung-Notosuwiryo-Panjaitan-Pramuka-S. Parman-Sudirman-Sugiri-Gatot Subroto-Sumarto-Riyanto-Bunyamin-S.Ampel-Grendeng-Suparno-Martadireja I-Bachroen-Berkoh- Margono-S.Kalijaga-Suwatio-Tml.

Angkot O2 :
Tml-St.Agung-S.Kalijaga-Margono-Martadireja I-Suparno-Grendeng-S.Ampel-Bunyamin-Riyanto-Soemarto-Krkobar-Gatot Subroto-Merdeka-Sudirman-Sugiono-Perintis-Situmpur-Pramuka-Panjaitan-Grilya-Suwatio-Tml.

Terminal Bus :
Jl. Terminal Baru

***


RESTORAN, HOTEL & TEMPAT HIBURAN :


Pondok Lesehan Kabayan :
Jl. Jend Sudirman 520 Pwt

RM Ayam Goreng Suka Niki :
Jl. Jend Sudirman 195 Pwt

RM Ciptarasa & Meeting Room :

Jl. Masjid II/2 Pwt

RM Indonesia :

Jl. Overste Isdiman 11 Pwt

RM Kalibogor :
Jl. Jend Sudirman Barat 34 Pwt

Rumah Makan Asiatic :
Jl. Bunyamin 375 Pwt

RM. Sate Martawi :
Jl. Kol Sugiono 54-B Pwt & Jl. Masjid 49 Pwt

Hotel Dinasty :
Jl. DR. Angka No. - Purwokerto

Hotel Rosenda :
Jl. Pariwisata 1 Pwt tlp. 681-570

Queen Garden Hotel :
Kompleks Wisata Baturaden tlp. 681-388

***

SARANA KESEHATAN :

RSUD Banyumas :
Jl. Raya Banyumas-Buntu

RSUD Banyumas Unit II :
Jl. Ragasemangsang Purwokerto

RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo :
Jl. Dr Gumreg 1 Purwokerto


RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo (Inst. Geriatri) :
Jl. Dr Angka 2-B Purwokerto

***

SARANA PENDIDIKAN :


Madrasah Aliyah Negeri 1 :

Jl. Senopati 1 Purwokerto

Madrasah Aliyah Negeri 2 :
Jl. Jend Sudirman 791 Purwokerto

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto :
Jl. Jend A Yani 40-A Purwokerto tlp. 628-250

SMA Negeri 4 Purwokerto :
Jl. OV Isdiman 9 Purwokerto

SMA Negeri 5 Purwokerto :
Jl. Gereja 20 Purwokerto

SMA Negeri 1 Baturaden :
Jl. Raya Rempoah Timur 786 Baturaden

SMA Negeri 1 Purwokerto :
Jl. Jend Gatot Subroto 73 Purwokerto

SMA Negeri 2 Purwokerto :
Jl. Jend Gatot Subroto 69 Purwokerto

SMA Negeri 3 Purwokerto :

Jl. Kamandaka Barat Purwokerto

SMA Negeri 3 Purwokerto :

Jl. Kamandaka Barat Purwokerto

Universitas Jendral Sudirman :
Jl. Prof DR Bunyamin 708 Purwokerto Telp . 635294

Universitas Muhammadiyah Purwokerto :

Jl. Raya Dukuh Waluh Purwokerto tlp. 624-318

Universitas Wijaya Kusuma :
Jl. Beji Karangsalam Purwokerto tlp. 635-889

***

SARANA OLAH RAGA


GOR Satria :
Jl. Prof. Dr. Suharso Kel. Grendeng Purwokerto

***

PERBANKAN :


Bank Danamon :
Jl. Jend Sudirman 183 Pwt

Bank Negara Indonesia :
Jl. Jend Sudirman 433 Pwt

Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah :
Jl. Jend Gatot Subroto 101 Pwt

Bank Permata :
Jl. Jend Sudirman Pertokoan Satria Plaza BI AB/1-2 Pwt

Bank Rakyat Indonesia :
Jl. Jend Sudirman 57 Pwt

Bank Tabungan Negara :

Jl. Jend Sudirman 431 Pwt

Bank Tabungan Pensiunan Nasional :

Jl. RA Wiryaatmaja 16 Pwt

BCA Pusat :
Jl. Jenderal Sudirman No.-

BKK Purwokerto Utara :
Jl. Prof.Dr H.Bunyamin 3 Pwt

BPRS Arta Leksana :
Komplek Pasar Wangon Ruko.No.7 Wangon


*****


Sumber : www.banyumaskab.go.id

Rabu, 19 Mei 2010

Kanca minangka Warangka, Angélé...

ATI-ATI golek kanca. Ora kabeh bisa dadi kanca, ora kabeh pantes dikancani. Kepara ora sethithik sing malah perlu diwaspadani. Luwih-luwih ing jagad sing ngyakini ‘’ora ana kanca sing langgeng, sing langgeng mung kepentingane’’. Ana kurang begjane, dudu rowang sejati sing dientuki, nanging satru munggwing cangklakan.


Aja kumpul kebo gupak! Kuwi unen-unen sing kaprah. Tegese, aja kumpul utawa kekancan karo wong sing kulina tumindak ala. Srawung karo wong ala bisa marakake dadi melu-melu ala. Kosok baline, srawung karo wong apik bisa ketularan apike. Awor karo kebo, bisa-bisa kena gupakane, yen ora malah tlethonge.

Ana maneh sing kandha, golek kanca ing meja mangan kuwi luwih gampang. Karepe, luwih mayar golek kanca kanggo seneng-seneng tinimbang kanca sing bisa diajak bareng ngrasakake lara lapa utawa melu susah nalika kancane nandhang kesusahan. Sing ideal, mesthi wae kanca sing bisa melu ngrasakake seneng nalika sing dikancani seneng, nanging uga bisa ngrasakake susahe lan tuwuh rasa simpati sarta empatine nalika sing dikancani lagi nandhang dhuhkita.

Nyatane, ora kurang uga kanca sing angele ora mung nalika diajak susah, nanging uga angel diajak melu ngrasakake bungah utawa melu seneng. Ora sethithik kanca sing malah dadi ora seneng nalika sing dikancani nampa kanugrahan luwih onjo tinimbang sing ditampa. Rumangsa kungkulan, banjur thukul rasa merine. Saka rasa meri iku, banjur tuwuh sikap lan tumindak sing asipat destruktif.

Kuwi mau sing njalari banjur ana wae sing maune kanca kenthel, malik grembyang dadi mungsuh bebuyutan. Ana sing memungsuhane ora ngetarani, nanging ana uga sing olehe memungsuhan nganggo front terbuka. Malah merga wis padha kenale, merga wis tau padha rakete, luwih angel olehe ngudhari memungsuhan.

Seleksi Rowang

Pancen, sajroning bebrayan, wong urip butuh kanca. Kuwi minangka salah sijine saka guru kanggo njejegake ‘’khitah’’-e minangka makhluk sosial. Tanpa kanca, wong bakal kangelan mratelakake cipta-rasa-karsane, uga mujudake gegayuhane.

Mulane nalika mbabad Alas Tarik, ngedegake Majapait, Raden Wijaya mbutuhake kanca saakeh-akehe. Para panguwasa lokal, wiwit saka Ranggalawe Tuban, Lembu Sora, Kebo Anabrang, nganti tekan Nambi, kaimpun minangka kanca rowang; ngancani nalika babad alas, uga dadi saka guru adege Majapait minangka negara anyar.

Nanging ngimpun kanca semono akehe kanthi latar belakang lan tujuwan sing bisa uga maneka warna iku, pranyata ora gampang tumrap Wijaya lan mesthi wae tumrap tokoh liyane. Kanthi kanca rowang mau, pancen satriya sing disiya-siya dening rezim Jayakatwang mau kasil nyulap bumi Tarik dadi negara Majapait. Nanging bareng kabeh wis padha saiyeg saeka kapti ngedegake praja, siji mbaka siji saya katon afiliasine, saya cetha target-targete lan komitmene.

Sepisanan, katon banget nalika jumenengan patih amangkubumi Majapait. Mleset saka pangira-irane para saka guru, jebul Nambi sing dituding dening Wijaya minangka warangkane. Kamangka, yen ditandhingake karo saka guru liyane, Nambi durung apa-apa. Semono uga ing babagan gedhene labuh labet nalika Wijaya kudu ngadhepi mungsuh-mungsuhe.

Jumenengan patih amangkubumi pranyata dadi momen tumrap Wijaya kanggo nyeleksi, sapa temene kang pantes dianggep minangka kanca sejati, saliyane kudu nuhoni sesanti ‘’sabda brahmana ratu sepisan tan kena wola-wali’’. Tumrap Nambi dhewe, nampa pangkat anyar mau mujudake kanugrahan gedhe sing sadurunge ora kenyana-nyana. Mula sing ana ya mung gedhene rasa panarima sarta tekad kanggo nindakake jejibahan minangka patih kanthi satemen-temene.

Kosok baline Ranggalawe. Dheweke ora narimakake marang jumenengan mau, marang kawicaksanan sing netepake Nambi minangka pepatih amangkubumi. Tanpa tedheng aling-aling, ing sitinggil Majapait, Ranggalawe mblejeti sapa satemene Nambi. Ranggalawe uga ngkritik para saka guru sing bisane mung padha gedhek anthuk lan nggah-nggih tanpa wani matur apa anane marang raja Majapait. Kabeh dianggep mung golek slamete dhewe-dhewe.

Ranggalawe wis nuduhake sikape, sing tundhone marakake dheweke dianggep mbalela, mbeguguk ngutha waton, gajah mbradhat tanpa srati. Dening Anabrang, Sora dianggep minangka sratine Ranggalawe, mula banjur disraya ngendhakake Adipati Tuban iku.

Pranyata mbalelane Ranggalane dadi kayadene pambukane warana tumrap para saka guru liyane malik tingal saka Pabu Wijaya. Ora mung Ranggalawe, nanging uga banjur Sora lan kepara Nambi. Saka kanca rowang malih dadi mungsuh, saka dadi warangka malih dadi satru munggwing cangklakan!

Pancen, kanca sejati iku pindhane warangka tumrap curiga. Warangka kang apik tansah bisa rumeksa marang curiga, tansah kuwawa madhahi, satemah sing temene landhep ora katon landhepe lan nyilakani, sing mlengkung lan mawa luk ora ketara luk lan mlengkunge.

Nanging nyatane ora gampang. Tumrap Anglingdarma, Bathikmadrim ora mung kepernah sedulur, nanging uga kanca lara-lapa mula banjur kapilih minangka warangka, warangka dalem narendra Malawapati. Nyatane, sesambungan antarane ratu-patih iku ngalami pasang surut lan kebak intrik.

Banjur, yen ngono sapa sing bisa dadi mitra sejati, sapa bisa dadi kanca kang tansah ngerti marang sing dikancani, sing bisa dadi warangka tumrap curiga? Panakawan! Kuwi model sing ideal dhewe.

Ing jagad pewayangan, representasi panakawan iku ana ing jasad lan jiwane Semar, Gareng, Petruk, lan Bagong tumrap ksatria bala Pandhawa —lumrahe Arjuna. Panakawan iku kebat ora nglancangi, dhuwur tan ngungkuli, apa maneh kok nyrimpungi lakune sing dikancane. Kepara jumurung laku: tutwuri andayani, dudu tutwuri anggondheli apa maneh anjegali. Asung pepadhang duk nalikane sing dikancani rumangsa peteng pikire, manehi panglipur nalika sing dikancani nandhang sungkawa. Uga bisa karyanak tyasing kanca. Mula uga disebut batur, sing kerata basane embat-embataning pitutur.

Nanging, sepisan maneh, pancen ora gampang nemokake kanca, apa maneh sing bisa didhaku minangka sedulur sinarawedi ñsaka tembung sinoroh wadi, tegese disorohake wadine. Luwih akeh sing mung bisa ngeler wadine kanca.

Mula, sing pinter olehe ngreksa kekancan. Kanca iku larang regane. Sawijining iklan rokok nyebutake ‘’teman sejati tak bisa dibeli’’. Nanging ‘’kanca dhewe’’ uga kerep dadi slogane para calon kampanye ing pemilihan kepungkur kanggo ngyakinake para calon pemilihe.

Satemene, golek kanca gampang. Sing luwih angel rumeksa marang kekancan. Lumantar face book, lumantar jagad maya, saiki sapa wae bisa golek kanca lan nyambung tali kekancan kapan wae kanthi jumlah tanpa winates. Nanging entuk lan ngreksa mitra sejati, kanca sing bisa lan gelem ngrangkani, angel setengah mati.

(Sucipto Hadi Purnomo/)

*****


Sumber: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2009/04/27/407/Kanca-minangka-Warangka-Angele

Selasa, 18 Mei 2010

JENDERAL BESAR SOEDIRMAN


Soedirman Kecil

Soedirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah
. Ayahnya bernama Karsid Kartawiradji, seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto. Ibunya bernama Siyem, berasal dari Rawalo, Purwokerto. Mereka adalah keluarga petani. Sejak masih bayi, Soedirman telah diangkat sebagai anak oleh R.Tjokrosunaryo, Asisten Wedana (Camat) di Rembang, Distrik Cahyana, Kabupaten Purbalingga, yang kawin dengan bibi Soedirman. Setelah pensiun, keluarga Tjokrosunaryo kemudian menetap di Cilacap. Dalam usia tujuh tahun Soedirman memasuki Hollandsche Inlandsche School (HIS) setingkat Sekolah Dasar di Cilacap. Dalam kehidupan yang sederhana, R. Tjokrosunaryo mendidik Soedirman dengan penuh disiplin. Soedirman dididik cara-cara menepati waktu dan belajar menggunakan uang saku sebaik-baiknya. Ia harus bisa membagi waktu antara belajar, bermain, dan mengaji. Soedirman juga dididik dalam hal sopan santun priyayi yang tradisional oleh Ibu Tjokrosunaryo.


Soedirman Remaja

Pada tahun 1930, Soedirman tamat dari HIS. Pada tahun 1932 Soedirman memasuki Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) setingkat SLTP. Setahun kemudian, is pindah ke Perguruan Parama Wiworo Tomo dan tamat pada tahun 1935. Di sekolah, Soedirman termasuk murid yang cerdas dan rajin mengikuti pelajaran yang diajarkan gurunya. Soedirman menunjukkan minatnya yang besar pada pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan, dan agama Islam. Demikian tekunnya Soedirman mempelajari agama Islam sehingga oleh teman-temannya diberi julukan "kaji".


Soedirman Menjadi Pandu

Ia juga aktif di organisasi kepanduan (sekarang Pramuka) Hizbul Wathon (HW) yang diasuh oleh Muhammadiyah. Melalui kegiatan kepanduan ini, bakat-bakat kepemimpinan Soedirman mulai kelihatan. Ia ternyata seorang pandu yang berdisiplin, militan, dan bertanggung jawab. Hal ini terlihat ketika Hizbul Wathon mengadakan jambore di lereng Gunung Slamet yang terkenal berhawa dingin. Pada malam hari udara sedemikian dinginnya, sehingga anak-anak HW tidak tahan tinggal di kemah. Mereka pergi ke rumah penduduk yang ada di dekat tempat tersebut,hanya Soedirman sendiri yang tetap tinggal di kemahnya.


Soedirman Guru Sekolah, Ketua Koperasi, Anggota Legislatif

Setelah lulus dari Parama Wiworo Tomo, ia menjadi guru di HIS Muhammadiyah. sebagai seorang guru, Soedirman tetap aktif di Hizbul Wathon. Pada tahun 1936, Soedirman memasuki hidup baru. Ia menikah dengan Siti Alfiah, puteri Bapak Sastroatmodjo, dari Plasen, Cilacap yang sudah dikenalnya sewaktu bersekolah di Parama Wiworo Tomo. Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai 7 orang anak.

Pada awal pendudukan Jepang, Sekolah Muhammadiyah tempat is mengajar ditutup. Berkat perjuangan Soedirman sekolah tersebut akhirnya boleh dibuka kembali. Kemudian Soedirman bersama beberapa orang temannya mendirikan koperasi dagang yang diberi nama Perbi dan langsung diketuainya sendiri. Dengan berdirinya Perbi, kemudian di Cilacap berdiri beberapa koperasi yang mengakibatkan terjadi persaingan kurang sehat. Melihat gelagat ini, Soedirman berusaha mempersatukannya, dan akhirnya berdirilah Persatuan koperasi Indonesia Wijayakusuma.

Kondisi rakyat pada waktu itu sulit mencari bahan makanan, sehingga keadaan ini membangkitkan semangat Soedirman untuk aktif membina Badan Pengurus Makanan Rakyat (BPMR), suatu badan yang dikelola oleh masyarakat sendiri, bukan badan buatan Pemerintah Jepang. Badan ini bergerak dibidang pengumpulan dan distribusi bahan makanan untuk menghindarkan rakyat Cilacap dari bahaya kelaparan. Ia termasuk tokoh masyarakat karena kecakapan memimpin organisasi dan kejujurannya. Pada tahun 1943, Pemerintah Jepang mengangkat Soedirman menjadi anggota Syu Songikai (semacam dewan pertimbangan karesidenan) Banyumas.


Soedirman Memasuki Dunia Militer

Pada pertengahan tahun 1943, tentara Jepang mulai terdesak oleh Sekutu. Pada bulan Oktober 1943, Pemerintah Pendudukan Jepang mengumumkan pembentukan Tentara Pembela Tanah Air (Peta). Soedirman sebagai tokoh masyarakat ditunjuk untuk mengikuti latihan Peta angkatan kedua di Bogor. Selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Daidanco (komandan batalyon) berkedudukan di Kroya, Banyumas. Disanalah Soedirman memulai karirnya sebagai seorang prajurit.

Sebagai komandan, Soedirman sangat dicintai oleh bawahannya, karena is sangat memperhatikan kesejahteraan mereka. Ia tidak takut menentang perlakuan buruk opsir-opsir Jepang,yang menjadi pelatih dan pengawas batalyonnya. Sesudah terjadi pemberontakan Tentara Peta Blitar pada bulan Pebruari 1945, Jepang mengadakan observasi terhadap para perwira Peta. Mereka yang bersikap menawan (recalcitrant), dikategorikan berbahaya.

Pada bulan Juli 1945, Soedirman dan beberapa orang perwira Peta lainnya yang termasuk kategori "berbahaya" dipanggil ke Bogor dengan alasan akan mendapat latihan lanjutan. Hanya kemudian ada kesan bahwa Jepang berniat untuk menawan mereka. Sekalipun mereka sudah berada di Bogor "Pelatihan Lanjutan" dibatalkan, karena tunggal 14 Agustus 1945 Jepang sudah menyerah kepada sekutu. Sesudah itu Soedirman dan kawan-kawannya kembali lagi ke dai dan masing-masing.


Pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandang
kan, Soedirman berada di Kroya. Esok harinya tanggal 18 Agustus 1945.


Jepang membubarkan Peta dan senjata mereka dilucuti, selanjutnya mereka disuruh pulang ke kampung halaman masing-masing. Setelah pengumuman pembentukan BKR, Soedirman berusaha mengumpulkan mereka kembali dan menghimpun kekuatan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Bersama Residen Banyumas Mr. Iskaq Tjokroadisurjo dan beberapa tokoh lainnya, Soedirman melakukan perebutan kekuasaan dari tangan Jepang secara damai. Komandan Batalyon Tentara Jepang Mayor Yuda menyerahkan senjata cukup banyak. Karena itu BKR Banyumas merupakan kesatuan yang memiliki senjata terlengkap.


Soedirman Memimpin Pertempuran Ambarawa


Ketika Brigade Bethel mendarat di Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945, selanjutnya pasukan menuju Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Sekutu. Di Magelang tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti TKR dan membuat kekacauan. TKR, Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana.

Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan kota Magelang menuju Ambarawa. Akan tetapi Batalyon A. Yani, Suryosumpeno dan Kusen mengejar pasukan Sekutu tersebut. Satu batalyon dari Divisi Purwokerto, dibawah Iman Adrongi menghadang gerakan Sekutu di Pingit. Sejak itu pertempuran semakin meluas. Bala bantuan datang dari Banyumas, Salatiga, Surakarta dan Yogyakarta. Dalam salah satu pertempuran, Letnan Kolonel Isdiman Suryokusumo, Komandan Resimen TKR Banyumas yang merupakan tangan kanan Panglima Besar gugur. Sejak gugurnya Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Divisi V, Kolonel Soedirman merasa kehilangan perwira terbaik dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran.

Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Dalam rapat tersebut Kolonel Soedirman menjelaskan bahwa posisi lowan sudah makin terjepit sehingga merupakan peluang yang tepat untuk menghancurkan lawan secepatnya dari Ambarawa.

Tepat pukul 04.30 pagi tanggal 12 Desember 1945 serangan mulai dilancarkan. Pertempuran segera berkobar di sekitar Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan yang menghubungkan Ambarawa dengan Semarang sudah dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik "Supit Udang" atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari 4 malam, akhirnya musuh mundur ke Semarang. Benteng pertahanan yang tangguh jatuh ke tangan pasukan kita. Tanggal 15 Desember 1945, pertempuran berakhir.

Kemenangan gemilang di medan Ambarawa telah membuktikan kemampuan Soedirman sebagai seorang panglima perang yang tangguh. Episode gemilang ini telah diabadikan dalam bentuk Monumen Palagan Ambarawa dan diperingati setiap tahun oleh TNI AD sebaaai Hari Infanteri atau Hari Juana Kartika.

Jenderal Gatot Subroto

Jenderal Gatot Subroto; Penggagas berdirinya AKABRI


Jend. Gatot Subroto lahir di Banyumas, 10 Oktober 1909. Sejak kecil diceritakan sang jenderal sudah menunjukkan watak seorang pemimpin. Beliau pernah menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL) pada masa pendudukan Belanda, anggota Pembela Tanah Air (Peta) pada masa pendudukan Jepang, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah kemerdekaan Indonesia.

Sejak kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI atau pada masa Perang Kemerdekaan yakni antara tahun 1945-1950, Gatot Subroto dipercaya memegang beberapa jabatan penting antara lain: Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya.

Bersamaan di saat dirinya menjabat Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pun bergolak yakni pada bulan September 1948. Pemberontakan yang didalangi oleh Muso itu akhirnya berhasil diatasi dengan gemilang.

Di kalangan militer, dia dikenal sebagai seorang pimpinan yang mempunyai perhatian besar terhadap pembinaan perwira muda. Menurutnya, salah satu cara untuk membina perwira muda adalah dengan menyatukan akademi militer setiap angkatan yakni Angkatan Darat, Laut, dan Udara, menjadi satu akademi. Gagasan tersebut akhirnya terwujud dengan terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).


Gatot Subroto wafat di Jakarta tanggal 11 Juni 1962, pada usia 55 tahun. Ia dimakamkan di desa Mulyoharjo, Ungaran, Yogyakarta. Atas jasa-jasanya yang begitu besar bagi negara, seminggu setelah kematiannya, Jenderal Gatot Subroto dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dikuatkan dengan SK Presiden RI No.222 Tahun 1962, tgl 18 Juni 1962.

*****


Sumber: http://www.kidnesia.com/Kidnesia/Indonesiaku/Tokoh/Jenderal-Gatot-Subroto

Ahmad Tohari; Menjenguk Tuhan Lewat Orang Kecil

Ahmad Tohari. Siapa yang tak kenal sosok yang satu ini. Ngetop lewat novel Ronggeng Dukuh Paruk, ia kini rutin mengisi kolom Resonansi di Republika, tiap hari Senin. Novel itu ia tulis saat ia masih muda, di tahun 1981. Novel ini, terakhir ia terbitkan dalam versi bahasa Banyumasan. Versi ini mendapat penghargaan Rancage dari Yayasan Rancage, Bandung, pada 2007. Yayasan Rancage yang dimotori sastrawan Ajip Rosidi rutin memberi penghargaan kepada penulis-penulis sastra berbahasa daerah setiap tahun.

Dekade 1990 dan awal dekade 2000, ia tak sering muncul ke permukaan, meski Ronggeng Dukuh Paruk masih terus mengalirkan uang ke sakunya. Maka, ketika ia menulis Resonansi di Republika, sejumlah koleganya bertanya kepadanya. ''Ada yang bilang, 'Kamu kan belum mengenalkan diri, kok tiba-tiba-tiba muncul di Republika. Apa ada orang tahu, siapa kamu?','' ujar Tohari kepada wartawan Republika di Purwokerto, Indra Wisnu Wardhana, dalam wawancara di rumahnya, di Desa Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, awal Mei 2007.

Tohari tak menggubris soal masih dikenal atau sudah tidak kenalnya diri dia. ''Terus saya bilang, itu bukan urusan saya, itu urusan redaksi,'' ujar dia disusul dengan tawa yang renyah.

Dari desanya, ia mengirimkan naskah lewat e-mail, meski ia mengaku masih gagap teknologi. ''Saya punya e-mail, tapi saya tidak tahu menggunakannya. Kalau ada naskah yang harus dikirim, anak atau cucu saya yang mengerjakan,'' ujar suami Samsiah, pegawai negeri sipil. Di rumahnya, ada beberapa komputer dan tiga laptop. ''Tapi saya tidak bisa mengoperasikannya. Saya bisa word hanya membuka dan menyimpan,'' kata pria kelahiran 13 Juni 1948 itu.

Kalau ia menerima e-mail, ia pun akan meminta bantuan untuk membukanya. ''Saya punya ATM, tapi saya tidak tahu nomor PIN-nya. Sebetulnya memalukan, tapi bagaimana lagi. Saya masih lumayan karena ada yang jauh lebih parah dari saya,'' ujar Tohari, lantas mengumbar tawa. Ia mengisi Resonansi menggantikan Gus Mus (KH Mustofa Bisri) yang, karena kesibukannya, tak bisa aktif menulis. Resonansi Gus Mus termasuk yang difavoritkan pembaca. Resonansi Ahmad Tohari --yang mengambil tema-tema yang senapas dengan tema-tema yang diambil Gus Mus-- juga digemari pembaca.


Mengapa tulisan Anda lebih banyak menyoroti realitas sosial?


Saya ingin di Republika muncul tulisan dari orang-orang yang memandang agama sebagai kebudayaan. Karena hal ini pasti lain. Sangat sedikit orang yang memandang agama sebagai kebudayaan. Karena sebagian besar orang melihat agama adalah wahyu. Sedang saya dan Gus Mus memandang agama adalah penafsiran terhadap wahyu, bukan wahyu itu sendiri, sehingga kerja penafsiran adalah kerja budaya. Agama adalah kebudayaan dan agama pun harus dibudayakan. Dalam bahasa lain, agama harus menjadi perilaku nyata di bumi, tidak hanya menjadi ajaran-ajaran normatif. Jadi, saya beranggapan kalau kita mengupayakan kearifan-kearifan sosial atau pengabdian sosial, etika sosial itu tidak kurang dari faktor pembumian terhadap agama atau pembudayaan terhadap agama. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai kejamakan atau pluralitas internal maupun eksternal agama mendapat ruang. Dan, hal ini jarang dipikirkan orang. Makanya, sayang kalau Gus Mus meninggalkan ruangan di Republika, karena sangat sedikit yang mendengungkan agama sebagai kebudayaan.


Apakah keinginan mengajarkan agama sebagai kebudayaan juga ikut memengaruhi novel-novel Anda?

Betul. Saya terus terang sejak kecil hidup di alam pesantren, dari ngaji ke sana - ke mari, dari membaca buku ini atau itu, saya menemukan hasil bahwa peribadatan manusia itu harus berbuah untuk manusia. Dalam ilmu kalam atau teologi dikatakan salah satu sifat Tuhan adalah Alqiyam Binafsih artinya Tuhan itu Mahamandiri. Maha tidak butuh apa pun dari umatnya. Jadi, persoalannya, buah ibadah kita lalu untuk siapa? Apa untuk Tuhan yang Alqiyam Binafsih itu? Tidak masuk akal kan?
Jadi, saya simpulkan, kesalehan kita setelah beragama Islam itu harus berbuah kebaikan untuk kemanusiaan, dengan orientasi Ketuhanan. Orientasi adalah menyebut nama Tuhan itu, jadi kita berbuat baik karena demi Tuhan, bukan untuk humanisme universal. Sekarang bisa saleh di bumi dengan alasan humanisme universal itu, tapi kita tidak di sana. Kita berbuat kesalehan itu demi Allah, bukan humanisme universal, walaupun dalam taraf tertentu keduanya sesungguhnya berjalan bersama-sama.


Ada kesulitan tidak dalam menuangkannya?

Itu menjadi ruh. Semua tulisan saya di Resonansi atau novel itu kan tentang orang miskin, tentang orang kesulitan, menderita. Karena saya mendapat pelajaran dari Hadis Qudsi, bahwa kalau kita tidak menjenguk orang-orang yang menderita itu sama dengan kita tidak beribadah kepada Tuhan. Ajaran itu sangat jelas. Ini sabda Allah, 'Kalau kamu tidak menjenguk tetanggamu yang sakit, samalah kamu tidak menjenguk Saya'. Artinya apa? Kalau kita menyapa, memihaki, memberikan empati kepada orang sakit, baik sakit ekonomi, sosial, politik, atau tergusur, dan sebagainya, kemudian kita tidak menjenguk, maka sama dengan kita tidak beribadah kepada Tuhan. Ini sangat sosialistik iman saya, jadinya. Tapi, bukan tanpa dasar. Dasar tersebut sangat banyak dilupakan orang. Jadi, tidak ada kesulitan ketika dituangkan menjadi tulisan.

Menurut Ahmad Tohari kini mulai tumbuh gerakan anak-anak muda --baik di NU dan Muhammadiyah-- yang ingin menarik agama sebagai agama yang mencerahkan dan fungsional. ''Fungsional di sini artinya orang-orang beragama itu nyata-nyata lebih baik dari pada yang tidak beragama,'' ujar Tohari yang memilih tinggal di desa, mengasuh pondok pesantren dan bergaul dengan masyarakat kecil.
Meski tinggal di desa --sekitar 25 km di sebelah barat Purwokerto-- ia bukannya tak mengikuti perkembangan di Jakarta, tempat dulu ia pernah mencari rezeki sebagai wartawan. Ia menganalogikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai sopir yang telah mempunyai SIM. Tapi, sopir bisa menjalankan kendaraan dengan baik jika semuanya dalam kondisi baik. Ya keneknya, ya busnya, ya penumpangnya. ''Pantas, seperti Hatta Radjasa, Aburizal Bakrie, tidak mundur, karena mereka menganggap yang memegang tanggung jawab adalah yang memerintah mereka seperti pada zaman raja dulu,'' ujar dia. Ia mengaku sedih, Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim, sebagai negara terkorup. ''Musuh besarnya adalah pengkhianatan terhadap syahadat,'' tegas dia. Pengkhianatan itu, menurut dia, telah memunculkan tindakan memuja harta, tahta, dan wanita.


Ceritakan dong pengalaman tinggal di kampung....

Wah, kalau bicara itu saya kelihatan muluk ngomong-nya. Sebetulnya kalau saya mengakrabi dan hidup bersama orang-orang miskin itu sebetulnya tarikan atau dorongan iman saya. Seperti tadi saya katakan, kalau kita tidak menjenguk orang sakit sama dengan kita tidak menjenguk Tuhan. Jadi, saya ingin berdekat-dekat dengan Tuhan, tapi Tuhan yang hakiki kan tidak mungkin didekati, maunya dengan orang-orang yang dikasihi ya orang sakit itu seperti miskin, teraniaya, tidak terdidik, terampas hak-haknya, petani yang jasanya lebih besar dari perolehannya. Beda dengan orang kota yang jasanya lebih kecil dibanding perolehannya. Alasan lainnya, saya kan pecinta alam. Bagaimanapun, hidup di kampung menyebabkan saya punya halaman rumah, punya kebun. Kalau di kota mana mungkin. (Di daerah penghasil gula kelapa itu, ia tinggal di sebuah rumah yang sangat asri seluas 3.000 m2 tepat di pinggir jalan utama yang menghubungkan Purwokerto-Bandung. Halaman depannya dipenuhi tanaman).


Anda sekarang aktif di BMT....


Sebenarnya bukan BMT saja. Saya punya tiga lembaga keuangan, tapi bukan berarti saya punya uang. Lucu kan? Saya ketua Koperasi Pasar Sahabat Umat di Wangon, saya berhasil mendatangkan dana bergulir Rp 500 juta dari Departemen Koperasi. Alhamdulillah, dikatakan sebagai koperasi yang sehat. Kemudian BMT berhasil menggandeng BMI dan sudah menyalurkan kredit yang sebagian besar untuk pedagang kecil. Terus, setengah tahun ini saya mendirikan BPRS Artha Leksana yang melayani pedagang kecil dan mempekerjakan 22 anak buah. Dan, untuk itu semua, saya sudah menjaminkan tanah, rumah, kendaraan yang saya miliki. Dijaminkan untuk memperoleh dana supaya lembaga-lembaga mikro itu jalan.


Di Resonansi Anda menceritakan pedagang pasar yang suka menitipkan uangnya pada Anda. Mengapa demikian?

Ya itulah profil masyarakat desa yang percaya pada figur. Tapi, sekarang ini sudah saya arahkan agar jangan percaya pada figur, tapi pada institusi. Saya ingin membangun koperasi, BMT, dan BPRS itu lembaga-lembaga yang amanah. Orang jangan melihat saya, tapi lihat lembaga. Saya kan mau meninggal, umur saya sudah 59 tahun. Mudah-mudahan lembaga itu dapat mencapai tujuan untuk membangun ekonomi umat. Saya sendiri, Alhamdulillah belum dapat penghasilan dari situ, karena tidak ingin. Penghasilan saya dari royalti buku, seminar, dan sebagainya. Alhamdulillah, cukup.


Anda pernah menulis di Resonansi, judulnya 'Belum Haji Sudah Mabrur'. Siapa orang itu dan bagaimana dia sekarang?

Dia dulu tinggal di belakang rumah saya, karena tidak punya tanah. Tapi, dia sangat bagus. Dapat uang BLT Rp 1,2 juta, kemudian dia serahkan sebagian uangnya Rp 650 ribu untuk berkurban. Jadi, menurut saya dialah haji yang sebenarnya. Karena, haji kan disyariatkan dalam satu hal untuk menjadi orang yang dermawan. Nah, dia sudah dermawan. Sekarang dia sakit-sakitan dan beberapa hari lalu habis operasi ambeien. Saya tidak ikrar, tapi insya Allah kehidupannya saya tanggung.


Saya dengar Anda mau membikin novel tentang nelayan?


Sebetulnya saya kepengin menulis lagi, mungkin karena sering mancing atau pergi ke kampung laut. Muncul inspirasi untuk menggandengkan kehidupan pantai dengan persoalan besar negeri ini. Nah, ambisi saya untuk menulis novel baru itu mengalami kendala pertama, yakni kemapanan sosial. Ternyata penulis yang hidupnya mapan justru menjadi repot. Saya di sini sudah jelas sebagai ketua Badan Perwakilan Desa (BPD), ayah yang setia, warga masyarakat yang terkenal. Ini membebani saya kalau saya melangkah menjadi novelis. Karena novelis perlu sedikit 'liar'. Misalnya, kalau saya duduk di pantai satu hari tanpa pekerjaan, orang akan bertanya kenapa dia. Dulu ketika saya menulis Ronggeng kan liar sekali, karena pada waktu itu saya bukan siapa-siapa. Nah, sekarang musuh saya adalah kemapanan, tapi mudah-mudahan ada kompromi setelah anak saya yang ragil selesai kuliah. Saya berharap energi dan perhatian dapat tercurah kembali pada dunia sastra.


Oh ya, Ronggeng Dukuh Paruk tanpa sensor telah diterbitkan. Bisa diceritakan?

Pada masa Pak Harto berkuasa, penerbit tidak berani memuat hal-hal yang sensitif. Seperti situasi di kamp-kamp konsentrasi, penahanan PKI. Kalau berani menerbitkan ya pasti diambil. Jadi, hal-hal seperti itu ditunda. Setelah ganti pemerintahan saya coba dekati penerbit, apa tidak berani mencetak yang lebih lengkap dan memasukkan hal-hal yang dulu dilarang. Dalih saya waktu itu toh edisi bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman sudah lengkap. Jadi, masak kita mau membohongi pembaca kita sendiri. Ternyata mereka menerima dan sekarang buku tersebut menurut laporan penerbit, booming lagi, bahkan sudah cetakan kedelapan. Saya mendapat berkah dari buku itu, dari tahun 1981 hingga sekarang buku tersebut masih menghasilkan uang buat saya. Bukti yang paling nyata adalah saya bisa menyekolahkan anak-anak.


Untuk versi Banyumasan berapa Anda cetak?


Kalau yang versi Banyumasan, saya hanya mencetak 1.500 eksemplar. Sekarang sudah laku 1.200 eksemplar. Itu memang agak mengecewakan, karena masih sedikit. Tapi, saya memaklumi, jangankan ke dalam bahasa dialek lokal yang orang Banyumas sendiri sudah kesulitan, yang bahasa Indonesia pun sesungguhnya novel Ronggeng Dukuh Paruk kalah dengan novel-novel chick lit. Ini artinya bahwa pembaca kita belum dapat menikmati teks-teks yang mengandung pemikiran atau mengandung perasaan mendalam. Maunya yang populer, menghibur, dan yang ringan-ringan. Sebetulnya saya ingin novel versi Banyumasan ini dibeli pemerintah kabupaten untuk dijadikan semacam dokumentasi bukan sekadar buku bacaan, tapi sebagai dokumentasi budaya untuk anak-anak sekolah. Tapi, memang budaya baca di kita sangat rendah, orang masih menomorsatukan kebendaan bahkan urusan buku seperti bukan tanggung jawab orang tua.


Kesulitan apa yang muncul ketika menerjemahkan ke dalam bahasa Banyumasan?


Terus terang, dialek Banyumas belum pernah menjadi teks sastra. Itu masalah pertama. Kedua, struktur bahasa Indonesia banyak berbeda dengan struktur bahasa Banyumas. Kemudian tingkat logika, bahasa Indonesia lebih tinggi dari bahasa Banyumas yang lebih mengutamakan rasa. Itu kesulitannya. Jadi, boleh dikatakan penerjemahan ke dalam dialek Banyumas mengorbankan beberapa segi kualitas. Boleh dibilang tingkat kecerdasannya, keilmiahannya menjadi sangat terganggu. Akhirnya kata itu diwakili dalam beberapa kalimat. Fungsi kata tersebut diwakili dalam kalimat panjang. Repotnya, ada orang yang menyejajarkan Ronggeng Dukuh Paruk dalam dua versi itu dan kemudian menyamakan. Ya pasti tidak akan jadi, karena sangat banyak kalimat yang diterjemahkan bukan kalimat per kalimat, tapi pengertiannya yang dipahamkan. Ada yang membuka novel tersebut dalam teks bahasa Indonesia, Belanda, dan Banyumasan. Mereka mendapat kesulitan, dan yang sudah mencoba Dubes Belanda, Nicolaos van Dam.


Apa yang dulu mendorong Anda menulis novel Ronggeng, padahal latar belakang Anda santri?

Saya kalau sok-sokan begini, kesantrian saya kan sudah lewat yang syariah, jadi sudah membantu kiai. Landasan saya menulis novel tersebut adalah dari ayat Kursi yang salah satu ayatnya adalah Lahuumaa fissamaawaati wa maa fil ardl (kepunyaan Allah lah apa yang ada di langit dan bumi). Jadi, apa yang di bumi adalah kepunyaan Allah, semuanya. Lha, sekarang ada tidak ulama yang bilang ronggeng, pelacur, maling atau yang jahat-jahat itu keluar dari kalimat maa? Jadi, ronggeng adalah salah satu kepunyaan Allah. Satu hal yang harus dipatuhi dalam membaca, menghayati, dan memasuki dunia ronggeng, jangan lupa syaratnya Bismirabbikalladzii khalaq (atas nama Tuhanmu yang menciptakan). Jadi, ketika kondisi kita pegang, baca apa saja boleh karena akan mendatangkan hikmah. Jadi, pemahamannya harus pada tingkat sufi bukan tingkat biasa.


Waktu Anda melihat tarian ronggeng, apa yang Anda rasakan?


Saya memang penikmat ronggeng, jadi betul-betul saya nikmati, lirikan matanya, lenggak-lenggoknya, dan sebagainya. Pada waktu itu di deretan kursi ada beberapa kiai yang ikut hadir dan ketika saya lihat ternyata dia hanya menunduk, tidak berani menatap. Saya sempat tanya kenapa hanya menunduk. Dia hanya tersenyum dan menjawab ada perintah untuk menundukkan pandangan yang mengandung maksiat. Tapi, menurut saya ada pemberitaan lain yang sama-sama di muat di Alquran bahwa apa yang kamu lihat itu tidak lain adalah bukti kekuasaan Allah. Ini harus dipahami secara sufistik. Saya sempat tanya pada kiai muda itu dengan pertanyaan yang provokatif, 'Anda lihat tidak bukti kebesaran Allah pada payudara lengger'. Dia makin kecut saja tersenyumnya.
Saya jelaskan, kalau kita melihat payudara dengan sensasi, maka kemungkinan maksiat sangat besar. Tapi, coba kita berpikir menggunakan akal. Faktanya, payudara, pantat ronggeng, yang sensasional itu, tidak lain cuma air, protein, fosfor, dan zat-zat kimiawi lain yang dibentuk Tuhan sehingga seperti itu. Nah, itu kemudian tertangkap indra kita, jadi tergantung Anda, mau pakai sensasi akan terjadi maksiat. Kalau pakai akal, maka kita akan membaca 'lha wong cuma air, protein, fosfor kok bisa seperti itu dan bisa bergerak'. Apa itu tidak menjadi bukti kekuasaan Tuhan? Saya kagum dengan kekuasaan Tuhan. Saya tidak melihatnya dengan sensasi, karena itu akan mendorong pada rangsangan birahi.


Karya:

- Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Cina, dan Jepang), Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala.

- Bekisar Merah.

- Mas Mantri Gugat.

- Lingkar Tanah, Lingkar Air.

- Kubah.

- Di Kaki Gunung Cibalak.

- Orang-orang Proyek.

- Senyum Karyamin.


*****


Sumber: http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=293048&kat_id=85&kat_id1=&kat_id2=