Sabtu, 21 Agustus 2010

Asal Muasal Nama AJIBARANG (antara Legenda & Mitos)

Negeri Galuh Pakuan sedang dilanda cobaan berat. Musim kemarau yang berkepanjangan menimbulkan kesengsaraan rakyat. Wabah penyakit dan tindak kriminal meningkat. Sementara punggawa dan hulu balang belum mampu menghadapinya. Arya Munding Wilis yang menjadi Adipati kala itu memang sedang diuji. Belum selesai mengatasi kesulitan yang satu timbul masalah yang lain. dalam kesedihan menghadapi negeri yang sedang terancam itu, isterinya yang sedang hamil menginginkan daging kijang berwarna putih. demi cintanya kepada Sang Isteri, berangkatlah Sang Adipati Munding Wilis dengan Kuda Dawuk Ruyung kesayangannya. Hanya ditemani dua pengawalnya, berhari-hari Sang Adipati tak mengenal lelah dalam mencari buruannya itu. Namun sudah sampai sebulan belum juga nampak hasilnya.

Ketika mereka berburu kearah timur menyusuri Sungai Citandui sampailah Sang Adipati beserta dua pengawalnya di suatu grumbul. ternyata Adipati beserta dua pengawalnya itu sampai di sebuah perkampungan para brandal yang sering mengacau di seluruh kadipatennya. di Grumbul Gunung Mruyung tersebut sang adipati terpojok dan dirampok oleh dedengkot grumbul itu yaitu Abulawang. seluruh bawaan bahkan kuda sang Adipati dirampas dan sang dedengkot mengancam akan merampok dan menghancurkan kadipatennya. Adipati yang sedang kecewa karena tidak mendapat buruannya pulang dengan kesedihan yang lebi mendalam ke kadipatennya.

Peta Kecamatan Ajibarang

Sampainya di kadipaten, kesedihan sang Adipati terobati karena putera yang ditungu tungu sudah lahir kedunia. Semakin gembiralah ia setelah ditunjukkan adanya tanda hitam di lengan kiri bayi itu, yang konon merupakan "toh wisnu". Artinya bayi ini kelak akan menjadi seorang yang besar yang berbudi luhur dan bijaksana.

Ternyata kegembiraan di Kadipaten itu tak berlangsung lana. Pada malam keempat kelahiran sang jabang bayi. Perampok gerombolan dari gunung mruyung dedengkot abulawang bener bener datang dan menghancurkan Kadipaten. Prajurit dan pengawal tidak bisa melawan gerombolan tersebut. Semua barang dirampok dan Kadipaten dibakar.

Untunglah sang Adipati dan Gusti putri selamat. namun nasib bayi yang ditunggui oleh dua orang emban tidak demikian. bayi itu dibawa oleh salah seorang perampok ke Gunung Mruyung tempat markas mereka. Adipati dan gusti putri lemas, bahkan gusti putri pingsan.

Suatu Ketika, adipati Munding Wilis dan istrinya menyamar sebagai petani kecil, pergi meninggalkan Kadipaten. semula mereka bertekad ke gunung mruyung, tempat perkampungan para perampok pemberontak untuk mencari bayinya. Namun niatnya diurungkan karena terlalu bahaya, merekapun berjalan ke arah lain.

Bayi yang masih merah itu, sudah sampi di Gunung Mruyung. Bertahun tahun Bayi tersebut tumbuh menjadi pemuda gagah dan tampan, sifatnya baik berbeda dengan orang tua angkatnya yang perampok. pemuda itu dinamai Jaka Mruyung. Karena tidak senang dengan sikap dan tingkah laku orang tuanya makadia pergi meninggalkan Gunung Mruyung.

Jaka mRuyung
pergi dengan Kuda Dawuk Ruyung,yang dimiliki orang tua angkatnya, kuda tersebut sebenarnya adalah kuda milik ayah kandungya adipati Wilis. Jaka Mruyung tiba disuatu kampung di kawasan "Dayeuhluhur" dan bertemu seorang kakek. Ternyata kakek tersebut bukan kakek sembarangan. Dia adalah Ki Meranggi, seorang bekas prajurit sakti Kerajaan Majapahit dan kini menjadi seorang MRanggi (pembuat rangka keris). Jaka mruyung mengabdi di rumah Ki Meranggi, dan selama pengabdiannya dia banyak mendapat pengalaman yaitu baca, tulis, membuat keris dan ilmu keprajuritan serta kedigdayaan. semua ilmu dikuasainya dalam empat tahun. Pada tahun ke enam, Jaka Mruyung seolah mendapat Ilham agar meneruskan perjalan ke Timur, dan disana dia menermukan pohon pakis aji dan kelak hutan pakis aji tersbut ditebangi dan dijadikan negeri. Jaka mruyung pun pamit dan berpesan pada Ki Meranggi agar pedukuhan ini sepeninggalnya kelak diberi nama Dukuh Penulisan karena ditempat inilah dia belajar menulis.

Setelah menempuh perjlanan jauh, sampailah dia di perbatasan Kadipaten Kuta negara. Ditempat itu iapun melepas lelahnya. Sambil memuji Kebesaran TUhan ia menyaksikan keindahan lam sekitarnya. Si Dawuk Ruyung, kudanya yang sudah tua itu makan rumput sekenya-kenyanya. Jaka mruyung memandang rumput hijau itu bagaikan permadani yang Gumelar (digelar dalam bahas Jawa). Tempat itu kemudian nantinya disebut DUkuh Gumelar. Di tempat ini dia bertemu dengan pemuda dari Dukuh Cilangkap. Dari pemuda ini dia akhirnya tahu letak Hutan Pakis Haji yang ada dalam ilhamnya. Stelah dia melakukan prjalanan dan singgah sejenak di Dukuh Cilangkap, dia terus memburu keluar, ke Hutan Pakis Aji. Hutan tersebut ternyata berada di Selatan Kuta negara dan sebelah timur Dukuh Cilangkap.

Kiyé tek 'scan' sumberé, saka buku sing judulé: BANYUMAS WISATA DAN BUDAYA, karya: M. KODERI, cetakan 1991).


Sementara itu, perjalanan Adipati Munding Wilis dan istrinya yang menyamar menjadi Ki Sandi tiba di DUkuh Penulisan, Daerah Daeyuhluhur . Kebetulan keduanya singgah pula di rumah Ki Meranggi. Mereka bertukar pengalaman. Langkah gembiranya kedua tamu mendengar cerita Ki Meranggi, merka yakin yang diceritakan Ki MEranggi itu ciri-ciri anaknya( dengan Toh WIsnu di Tanggannya). mereka semakin gembira karena Ki Meranggi juga mengatakan kemana arah peginya anak mereka Jaka Mruyung. Semenjak Pergi dari Negerinya Galuh Pakuan, Adipati Wilis dan Istrinya memang selalu bedoa agar bisa dipertemukan dengan anaknya. Dan Memang sudah digariskan mereka berdua pun sampai di Dukuh Cilangkap dan bertemu dengan orang tua Tlangkas ,pemuda yang pernah memberikan petunjuk kepada Jaka Mruyung.

Ki Sandi alias Adipati Wilis pun tambah gembira karena harapanya semakin dekat terkabul. Sedang Jaka Mruyung kini sudah sampai di kaki bukit sebelah barat Hutan Pakis Aji. di sebelah situ ia terus ke Selatan dan menyebarangi Kali yang airnya Racak-racak, kali itu kemudian dinamai Kali Racak. dipinggir bukit itu ia melihat pohon yang berbuah sangat banyak, lalu ia bertanya pada orang yang lewat, Apa nama buah itu pak??orang itu malah menjawab dengn basa sunda, "Ie mah Gondangamis" artinya ini buah gondang yang manis. Kelak tempat itu menjadi Desa Gondangamis.

Dari situ dia terus menyusuri pinggiran hutan ke timur. ternyata tempat yang disinggahinya banyak dihuni burung Jalak. tempat Itu nantinya diberi nama Pejalakan. lalu dia sampai dibelokan kali datar, dia menemukan sebuah kedung, diatasnya banyak burung serwiti, Kedung itu kemudia di beri Nama Kedung Serwiti. setelah mengelilingi Hutan Pakis aji, sampailah dia dipinggiran utara, ia melihat orang-orang sedang membuat tambak ikan. Jaka Mruyung segera meminta Bantuan orang-irang untuk bersam-sama membabat hutan Pakis Aji. Kelak Dusun itu menjadi Dusun Tambakan.

Di tengah hutan muncul Ular Raksasa, namun berhasil dibunuh oleh Jaka Mruyung dan orang-orangnya dan dibakar. namun akibatnya hutan Pakis aji menjadi terbakar, kebakaran begitu hebatnya sehingga membuat resah kadipaten Kutanegara. Jaka Mruyung sang biang keladi pun ditangkap dan dihukum disekitar Kadipaten. Pada Masa hukumannya itu ternyata Jaka Mruyung yang tampan, sopan, baik hati di sukai oleh putri kedua sang Adipati yaitu Putri Pandanayu. setelah beberapa lama,Jaka Mruyung pun dibebaskan.

Kemudian dia mengikuti sayembara di Kadipaten Kutanegara tersebut. Sayembara itu untuk mencari Senopati Utama yang baru. Jaka mruyung ikut sayembara, dengan kesaktiannya dia memenangkan banyak pertarungan dan pada akhirnya dia harus melawan musuh terkuat yaitu Duta dari Kadipaten Kutaliman, bernaman Ki Kentol. Perseteruan antara Jaka Mruyung dan Ki Kentol Yang berlarut larut, nantinya menjadi momok yaitu siapa saja Pejabat yang datang ke Kutaliman pasti akan lengser. Jaka Mruyung yang memenangkan sayembara dijadikan Senopati Utama dan dinikahkan dengan putri kedua Adipati yaitu Pandanayu.

Berita tersebut ahirnya sampai ke Tlangkas dan orang tuanya. dan kemudian sampai ke telinga tamu mereka Ki Sandi yang tak lain adalah Adipati Munding Wilis ayah Jaka MRuyung., Raja atau Adipati Besar dari Galuh Pakuan. Adipati lalu membuka jati dirinya. dan menemui Adipati Kutanegara. Betapa senangnya Adipati Kuta negara, ternyata calon mantunya adalah anak Adipati Besar dari Galuh Pakuan.

Haru dan Bahagia pun berkecamuk diantara mereka. Acara Pernikahan segera dilakukan, namun di saat berlangsung nya pernikahan terjadi kehebohan. Hal ini kaerna putri pertama Adipati Kutanegara yaitu Dewi Pandansari minggat, karena malu telah dilangkahi. DIa bertapa disebuah kali, dia bertapa merendam, yang tentu saja tubuhnya yang indah itu tidak ditutupi oleh apapun. Tidak Heran Banyak Lelaki berdatangan ingin melihat i. Putri lalu berkata pada biyung embannya agar disampaikan ke ayahnya, supaya Kali tersebut dinamai Kali Luwih laki, yang kemudian berubah menjadi Kali Wilaki. Dewi Pandansaru, maaf Pandansari itupun meninggal dikali, dan dikuburkan disawah. Kuburan itu terkenal dengan sebutan Kuburan Pandansari.

Bertahun tahun dari kejadian itu, Adipati Kutanegara, Adipati Nglangak itupun semakin lanjut usia. Jaka mruyung pun menggantikannya dan diangkat sebagai adipati Kuta negara. Namun Jaka Mruyung yang tinggal di Kadipaten Kutanegara itu tidak Kerasan di kadipaten Kutanegara. Dia Menginginkan pindah, lalu dia pun teringat ilham yang diperolehnya saat dia muda. Dia kemudian pindah ke Hutan yang telah ia Babat yaitu Hutan Pakis Aji. Hutan yang kini menjadi Ibukota Kadipaten Kutanegara itupun lalu disebut AJIBARANG dan Kadipaten tersebut disebut Kadipaten AJIBARANG.

*****

Versi Lain nama AJIBARANG


Perjalanan Dari Mataram

Diawali dari mangkatnya Raden Mas Rangsang yang bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman atau yang masyhur disebut dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma pada tahun 1645, tepat enam tahun setelah berhasil menaklukan Blambangan tahun 1939. Sultan Agung telah berhasil melakukan ekspansi ke deluruh daerah di Jawa dan Madura (kecuali Banten dan Batavia) dan beberapa daerah luar Pulau Jawa, seperti ; Palembang, Jambi dan Banjarmasin. Mangkatnya Sultan Agung membuat sang putra mahkota Pangeran Arum didaulat untuk memimpin Mataram, dengan gelar Sunan Amangkurat I. Sejak kepemimpinannya, wilayah Mataram berangsur-angsur menyempit karena aneksasi yang dilakukan oleh Belanda. Perpecahan tersebut disamping atas peran Belanda, juga akibat adanya kegusaran masyarakat atas ekspansi yang dilakukan oleh Mataram yang menjelang mangkatnya Sultan Agung. Pemberontakan-pemberontakan terhadap kekuasaan raja banyak dilakukan, antara lain dari ; keturunan Sunan Tembayat, keturunan Kadilangu, Wangsa Kajoran, keturunan Panembahan Rama dan Panembahan Giri.

Atas gencarnya aksi pemberontakan tersebut, mengakibatkan posisi Sunan Amangkurat I terpojok (yang dalam versi ini diindikasikan menjalin kerjasama dengan VOC - Verenidge Indische Oast Compagnie, sebuah organisasi monopoli perdagangan milik Belanda di Batavia) sehingga ia berinisiatif untuk menyelamatkan diri dan hendak meminta bala bantuan kepada Gubernur Jenderal De Cock.


Penamaan Ajibarang

Perjalanan Sunan Amangkurat I dikawal para prajurit keratin dengan mengambil route perjalanan Kedu-Banyumas-Tegal untuk kemudian singgah di Kadipaten Carbon atau Caruban atau Cirebon. Singkat cerita, sesampainya di suatu daerah barat Banyumas, Rombongan Gusti Sunan kehabisan perbekalan. Kemasygulannya bertambah setelah ia harus menerima kenyataan bahwa ia harus kehilangan puluhan prajuritnya yang ma ti akibat jarak tempuh perjalanan secara infanteri dengan medan yang berat dan sangat jauh.

Di daerah tersebut, abdi setia Sunan Amangkurat I, bernama Kyai Pancurawis yang juga bertindak sebagai sais kereta kencananya, kemudian berusaha menjual barang-barang bawaan yang masih tersisa demi untuk kemudian ditukar atau dibelikan kembali dengan bahan-bahan makanan pokok sebagai perbekalan untuk meneruskan perjalanan yang masih jauh. Usaha Kyai Pancurawis beserta para Ponggawanya ternyata berhasil. Baik barang yang memiliki nilai jual tinggi ataupun rendah semuanya terjual dan tertukar habis sehingga berhasil mendapatkan perbekalan yang dikehendaki.
Bukan main senangn ya hati Gusti Sunan melihat usaha abdi-abdinya. Sebagai wujud rasa syukurnya, ia menamakan daerah tersebut dengan AJIBARANG, yang berarti barang apapun yang dijual didaerah tersebut “ana ajine” atau ada harganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar